Rasa sedih sekaligus amarah Talisha tak terbendung lagi. Dia mengunci dirinya di kamar, menancapkan earphone di telinganya, berpura-pura tidak mendengar apa pun. Tangisannya menjadi-jadi. Dia sudah tidak peduli lagi dengan outfit dan segala macamnya itu. Lagi pula, ini bukan masalah outfit-nya, tapi masalah persiapan yang sudah dia lakukan sejak jauh-jauh hari, juga masalah orang tuanya yang marah tanpa mau melihat perkara sebenarnya. Di mana letak keadilan? Apa karena Talisha gemuk, jadi dia dijadikan anak pungut seketika?

Saat itu, Esa bicara lebih dulu bahkan tanpa dipanggil. "Ada apa, Talisha? Ada yang mau kamu ceritakan denganku?"

Talisha tidak menjawab, yang terdengar hanyalah bunyi sesenggukan.

"Tenanglah, Talisha. Aku ada di sini. Berceritalah padaku, aku akan mendengarkan."

Mengenang semua itu, Talisha memejamkan matanya. Terlalu pahit dan sakit untuk diingat-ingat lagi. Dan, betapa Esa membuat kehadirannya begitu dibutuhkan. Andai hari itu Esa tidak bicara dan menemaninya, entah seberapa hancur perasaan Talisha. Membayangkannya saja, Talisha hampir menangis lagi.

Tidak, dia tidak mungkin membuang Esa. Kini dia sudah menemukan alasannya. Dan kalau si pelatih Wushu--yang masih belum bisa Talisha ingat namanya--itu ternyata adalah penyuara di balik Esa, maka Talisha harus segera melakukan sesuatu. Karena, itu artinya si pelatih Wushu--yang Talisha lupa namanya--adalah orang yang selalu menemaninya setahun belakangan ini!

***

"Ta, udah ada berapa peserta?" Bima mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Dia kelewat gugup sejak pendaftaran anggota UKM dibuka. "Kok gue deg-degan, ya," desisnya.

"Sans, Bro. Video kita kemarin kece gempa bumi. Gue yakin banyak yang tertarik," sahut Rama sambil menepuk bahu Bima, kemudian menepuk-nepuk dada. "Gue, lho, modelnya. Kok lo masih ragu aja."

"Justru karena lo modelnya, gue jadi ragu, Ram." Garuda yang sedang bertarung dengan patung Wing Chun, ikut-ikutan menimbrung. Segala sesuatu yang berhubungan dengan membuat Rama emosi belakangan ini menjadi kesukaannya, ada kesenangan tersendiri setiap melihat Rama mulai ngegas.

"Bacot lo, Bang! Lagian, elo disuruh tampil malah kagak mau. Ya, terpaksa guelah."

"Excuse, me? Something's wrong?" Resta tersenyum simpul. Jari-jari tangannya yang lentik dengan gemulai membelah poninya yang sebenarnya sudah terbelah itu. "Kak Gar nggak nolak buat jadi model, it's just not what he supposed to do, bestie." Dia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Dan, bisa-bisanya lo bilang 'terpaksa', Ram? Parah!"

Rama mengembuskan napas kasar. Dia lupa ada Resta di ruangan ini. "Nyenyenye, pembela nomor satu Garuda. Garuda di dadaku. Garuda kebanggaanku. Dasar bulog."

"Bulog apaan?" bisik Bima.

"Bucin goblog."

"Anjay, istilah dari mana tuh?"

"Nggak tau, temen SMA gue, si Bayu yang ngajarin."

"Nice."

Resta mendekati Bima dengan memeluk laptopnya yang setengah ditutup. "Lo tadi nanyain berapa yang daftar, kan? Mending liat sendiri, Bim. Hati gue udah crack, tambah sakit kalau lo minta gue spill the truth." Dia membuka kembali laptopnya, menunjukkan hasil isian Google Form yang menampilkan data-data pendaftar UKM Wushu dua hari setelah dilaksanakannya roadshow.

Tidak ada yang salah dari isinya. Bima mengerutkan kening, mencari-cari apa yang sebenarnya dimaksud Resta. "Are you kidding me, Res? Lo gila? How did this good news crack your heart?" Sudah ada dua puluh tujuh nama yang berbaris di data itu. Lebih banyak dari perkiraan awal!

"No, I mean." Resta menghela napas panjang. "Nggak ada ceweknya, anjrit! Mau sampai kapan gue betina sendiri di sini?"

"Oh, kalau itu gue setuju." Rama ikut menimbrung. "Kita perlu lebih banyak cewek, nggak, sih?"

"Ramaaa! Inget-inget nama, woi! Lo Rama, bukan Rahwana. Ceweeek mulu pikirannya," teriak Garuda, masih bercampur dengan suara yang berasal dari tangannya dan patung Wing Chun.

"Paan sih lo, Bang! Ikut-ikutan aja urusan anak muda."

Bima mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, menggoyang-goyangkan ujung kaki, lalu memandangi teman-temannya satu persatu. "Kalian punya adik tingkat di fakultas masing-masing, kan? Gaet, dong. Ajakin masuk sini." Bima menaik-turunkan alisnya.

"Gue sempet di-chat sama satu adik tingkat, sih. Tapi dia belum ngabarin lagi." Resta mengedikkan bahu.

"Chat lagi aja, Res. Siapa tau, kalau sesama cewek yang ngajakin, mereka jadi lebih mau, gitu."

"Nah, bener. Jangan suruh si Rama. Yang ada adik-adik tingkat malah kabur."

Rama berdeham, lalu cepat-cepat menyusul tempat Garuda sambil berteriak, "Bang, lo kalau bosen main sama Wing Chun bilang, gue ready!"

Mendengar itu, Garuda seketika bersemangat. "Serius? Ayo!"

"Nggak, deng. Ngeri ngelawan lo mah. Ampun, Bang."



***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***


With love,

Dhea Dusak




.

Find Me through Your EarsWhere stories live. Discover now