Bagian 1

87 9 5
                                    

Kupikir seiring waktu berjalan,Luka-luka itu akan pulih dengan sendirinya, Namun, siapa yang menyangkaSemua itu justru menjelma menjadi trauma

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kupikir seiring waktu berjalan,
Luka-luka itu akan pulih dengan sendirinya,
Namun, siapa yang menyangka
Semua itu justru menjelma menjadi trauma

Rizhan berjalan santai di area taman, suasana di sana pun sangat ramai. Maklum saja karena hari ini adalah weekend. Pemuda bertubuh jangkung itu yakin bahwa mereka yang berkunjung hari ini sengaja meluangkan waktu demi bisa menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ia tersenyum ketika netranya menangkap raut-raut bahagia dari pengunjung lain yang datang bersama keluarganya masing-masing. Hal yang selalu ia harapkan sejak dulu, tetapi tak pernah mampu terealisasikan.

Langkahnya berhenti di sudut taman, ia memilih duduk di trotoar sembari mengamati sekitar. Sesekali ia mengusap wajahnya yang berkeringat dengan handuk kecil. Pemuda berkacamata itu menunduk, mengingat kembali setiap kenangan yang tersisa dalam memorinya. Tak banyak yang bisa diingat karena semua telah berlalu terlampau lama.

"Sampai kapan? Aku harus tenggelam dalam kisah tragis itu. Melupakan saja rasanya tak cukup untuk mengobati setiap luka yang pernah tertoreh begitu dalam. Dari seluruh kenangan, kenapa justru kenangan pahit itu yang harus kuingat hingga sekarang?" ucapnya pada diri sendiri.

Pemuda itu mengusap wajah dengan kasar serta mengacak rambutnya frustrasi. Tujuannya datang ke taman untuk menghibur diri, tetapi lagi-lagi ingatan sialan itu mengusiknya.

"Andai aku diberi pilihan bagian mana yang ingin kuhapus. Kupastikan akan menghapus setiap hal yang terjadi di hari paling kelam itu. Hari di mana lukaku yang masih menganga disiram dengan air garam." Rizhan menghela napas.

Pemuda 23 tahun itu tertunduk cukup lama. Seluruh tubuhnya terasa lemas setiap kali kenangan menyakitkan itu kembali mencuat ke permukaan. Ia sendiri tak menemukan cara untuk keluar dari situasi rumit yang mengungkungnya bak dalam penjara.

"Aku tahu, satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah berdamai dengan diriku sendiri. Hanya saja, aku nggak tahu gimana caranya berdamai. Sementara, hatiku masih tertawan."

"Zhan, mungkin semuanya memang berat untuk dilewati. Namun, percayalah bahwa tak ada ujian yang melebihi batas kemampuan kita sebagai manusia."

Rizhan menoleh, ia tersentak kaget ketika mendapati sesosok gadis berjilbab biru muda telah duduk manis di sampingnya. Sementara, gadis itu tertawa kecil hingga menampilkan gigi gingsulnya.

"Sejak kapan duduk di situ, Bil? Kok aku nggak nyadar."

"Gimana mau nyadar kalau kerjaanmu melamun mulu? Awas ntar kesambet setan taman, kan, bahaya." Nabila terkekeh sembari menampar pelan pipi tirus Rizhan.

Rizhan menggeleng pelan, sahabatnya yang satu ini selalu punya cara tak terduga untuk menghiburnya. Ia memandangi wajah bulat itu hingga membuat kedua pipi Nabila merona.

"Awas ntar jatuh cinta sama wajahku yang imut dan cantik jelita ini."

"Jangan kepedean! Tapi, bener juga. Emang imut kok, kayak tikus putih peliharaan di rumah." Kali ini Rizhan tertawa lepas.

Titian Takdir Where stories live. Discover now