Bagian 15

48 4 0
                                    

Agam dibantu oleh Rizwan memapah tubuh Rizhan yang tak sadarkan diri ke ruang istirahat di lantai atas. Di belakangnya Doni membututi, wajahnya tampak cemas. Kemudian disusul oleh Nabila yang melangkah dengan tergesa.

Begitu mengenali sosok Doni, Nabila membelalakkan mata. Baginya, ini merupakan sebuah mimpi buruk. Ia tak pernah berharap dipertemukan lagi dengan lelaki yang sudah menghancurkan hidup sahabatnya itu. Ia saja tak siap untuk bertemu apalagi Rizhan.

Nabila mengajak Doni untuk menjauh, sekadar untuk berbincang. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan. Namun, selama sepuluh tahun ini hanya tertahan dalam benak. Tatapan gadis itu cukup tajam, raut wajahnya pun tampak tak bersahabat. Ada kilatan kebencian yang terpancar dari bola mata cokelat itu.

"Untuk apa Anda datang ke sini?  Memastikan bahwa Rizhan sengsara atau memastikan dia masih sama hancurnya seperti sepuluh tahun lalu?" sentak Nabila.

Doni menunduk dalam, tak berniat menjawab pertanyaan itu. Kata-kata Nabila tepat menghujam jantung. Bagaimanapun ia memang bersalah dan mengakui itu. Meskipun, sudah membayarnya dengan tinggal di hotel prodeo selama sepuluh tahun terakhir. Namun, itu masih belum cukup untuk menebus kesalahannya di masa lalu. 

"Anda secara nggak langsung juga membunuh Rizhan perlahan. Lukanya sama sekali tak pernah pulih sejak kejadian itu. Setiap hari dia dihantui oleh mimpi buruk dan penyesalan. Bahkan, hingga detik ini semua masih tak berubah. Bahkan, lukanya lebih menganga lebar," lanjut Nabila. 

"Bukan hanya Rizhan yang menderita, tapi saya juga. Kamu pikir selama ini saya bisa hidup damai dan tenang, nggak! Saya juga hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah." Doni buka suara. 

Nabila terkekeh mendengar pernyataan itu, membuat Doni mengernyitkan kening. Tatapan gadis bertubuh mungil itu seketika berubah menjadi tajam. Hal yang membuat Doni merinding seketika. 

"Untuk apa mengeluh? Bukannya semua itu konsekuensi dari apa yang sudah Anda lakukan di masa lalu?  Membunuh istri dan menghancurkan hidup putramu sendiri. Hebat, bukan? Bahkan, semua itu tak pernah sebanding dengan kelakuan buruk Anda di masa lalu!"

Nabila berlalu pergi, meninggalkan Doni yang masih terpaku. Ia lebih memilih menunggu Agam di depan pintu ruang istirahat. Bukannya tak khawatir pada Rizhan, tetapi ia masih cukup waras untuk tidak menerobos masuk tanpa izin.

Sementara, di dalam ruangan itu Rizhan masih tak sadarkan diri. Agam pun membalurkan minyak angin di hidung mancung pemuda itu. Butuh waktu cukup lama untuk membuat pemuda itu membuka matanya.

"Zhan, alhamdulillah kamu udah sadar. Kalau nggak sadar-sadar juga, kita bakalan bawa ke rumah sakit."

"Nggak perlu, aku baik-baik aja. Cuma agak pusing dikit. Mungkin karena tadi pagi nggak sempat sarapan." Senyum tipis terukir di bibir pucatnya.

Agam menghela napas, tetapi tetap memilih untuk percaya. Ia yakin bahwa Rizhan punya alasannya sendiri dan sekarang memang lebih baik memberikan waktu pemuda itu untuk berpikir kembali.

"Gam, maaf karena acaranya berantakan gara-gara aku," lirih Rizhan.

"Acaranya cuma tertunda sebentar, aku kasih waktu ke tamu undangan buat menikmati pemandangan di sekitar sini dulu. Nanti masih bisa dilanjutkan lagi. Jadi, kamu nggak perlu merasa bersalah."

Rizhan berniat bangun, tetapi tubuhnya kembali jatuh terhentak. Ia memejamkan mata dengan kening yang mengernyit dalam.

"Istirahat di sini dulu aja, Zhan. Nanti biar Rizwan yang nemenin kamu."

"Aku sendiri aja, nggak apa-apa kok.  Rizwan, kan, masih harus ngisi acara sampai selesai. Kamu nggak usah khawatir." Rizhan meyakinkan. 

Agam berpikir sejenak, tetapi keputusannya tetap tak diubah. Masalah tentang pembawa acara, ia masih bisa melakukannya ataupun meminta bantuan yang lain. Namun, untuk meninggalkan Rizhan seorang diri tentu bukan keputusan yang tepat. Ia sengaja memilih Rizwan karena karyawannya itu telah akrab dengan sang sahabat. Yakin bahwa situasinya tak akan canggung. 

"Masih ada yang bisa gantiin Rizwan, kok. Kamu istirahat di sini atau  diantar balik ke hotel aja?" Agam memastikan. 

"Aku di sini dulu aja, nanti kalau udah mendingan baru balik ke hotel. Lagian sama-sama istirahat kok. Ntar aku balik sendiri aja," tukas Rizhan. 

Agam mengangguk, kemudian pamit untuk melanjutkan acara yang tertunda. Meninggalkan Rizwan dan Rizhan di ruangan itu. 

"Wan, nitip dia, ya. Jagain bener-bener, jangan sampai kenapa-napa," kekeh Agam. 

"Dikira aku anak kecil apa? Lagian nggak sakit parah ini," sahut Rizhan kesal. 

Agam hanya tersenyum tipis, kemudian berlalu keluar.  Langkahnya terhenti ketika sosok Nabila menghadang jalan.

"Rizhan baik-baik aja, cuma butuh istirahat. Kamu nggak usah khawatir tentang dia, sekarang biarkan istirahat dulu. Di dalam ada Rizwan yang nememin kok. Jadi, nggak usah khawatir." Agam menjelaskan.

Nabila mengangguk, tak jadi menemui Rizhan. Memilih ikut turun bersama Agam, membiarkan sang sahabat untuk beristirahat. Selain itu, juga memberinya ruang untuk sendiri.

Usai memastikan bahwa Agam dan Nabila telah pergi, Doni keluar dari tempat persembunyiannya. Sebagai seorang ayah, tentu ia khawatir pada Rizhan. Sepuluh tahun, ia menantikan untuk bertemu kembali dengan putra semata wayangnya. Namun, ketika waktu itu tiba keadaan justru tak berpihak padanya.

Sementara itu, Rizwan keluar dari kamar yang ditempati Rizhan. Membiarkan pemuda itu untuk beristirahat, sedangkan ia sendiri memilih duduk di ruang tengah sembari memainkan ponsel ditangan. 

Suara pintu yang berderit, membuat Rizwan menoleh. Di ambang pintu tampak sesosok lelaki yang tak dikenalnya, bahkan ini pertemuan pertama baginya.

"Mohon maaf, Bapak nyari siapa?" Rizwan menghampiri.

Doni tak menjawab, tetapi tampak celingak-celinguk seperti mencari seseorang. Pandangannya terhenti pada pintu kayu bercat cokelat tua di ujung ruangan. Begitu menyadari arah pandang Doni, Rizwan mulai memahami.

"Kalau Bapak mau ketemu Mas Rizhan, sekarang udah tidur. Lebih baik nanti saja, soalnya baru aja terlelap. Kasihan kalau harus dibangunkan." Rizwan menjelaskan. 

Doni mengangguk pelan, tetapi kedua matanya tak lepas memandang pintu kayu yang tertutup rapat itu. Ada sorot penuh kerinduan yang berhasil ditangkap oleh Rizwan di kedua bola mata hitam lelaki itu.
  
"Kalau boleh tahu, Bapak ini siapanya Mas Rizhan?"

"Bukan siapa-siapa, hanya kenalan lama saja. Apa dia baik-baik saja?"

Rizwan tersenyum tipis, kemudian menggiring Doni untuk turut duduk. Rasanya tidak sopan, berbincang sembari berdiri di depan pintu. Apalagi, berbincang dengan yang lebih tua. 

"Mas Rizhan baik-baik aja, kok, Pak. Hanya perlu istirahat sebentar."

"Syukurlah kalau begitu, saya bisa tenang sekarang. Saya titip Rizhan, ya, Nak. Saya permisi dulu," pamit Doni. 

Rizwan mengangguk, kemudian mengantar Doni hingga ke depan pintu. Namun, sebelum Doni beranjak lebih jauh, sebuah suara menginterupsi.

"Apa masih belum cukup, luka yang Anda torehkan ke dalam hidupku? Menghancurkan masa kecil yang indah, bahkan merusak masa depan yang kuharap akan mengesankan," sentak Rizhan dari ambang pintu kamar.








Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Titian Takdir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang