Bagian 2

48 6 12
                                    

Hadirmu membawa seberkas cahayaCahaya yang bahkan tak pernah kubayangkan Menerangi hidupku yang terasa lebih kelam dari malamTerima kasih untuk setiap rengkuhan dan sentuhan ketika aku terpuruk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hadirmu membawa seberkas cahaya
Cahaya yang bahkan tak pernah kubayangkan
Menerangi hidupku yang terasa lebih kelam dari malam
Terima kasih untuk setiap rengkuhan dan sentuhan ketika aku terpuruk

Dalam hidup, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai pilihan. Tinggal bagaimana cara ia memilih dan menjalani setiap pilihan itu sendiri. Namun, terkadang sulit untuk menerima ketika apa yang terjadi tak sesuai ekspektasi. Sama halnya dengan Rizhan.

Sejak kejadian nahas yang menimpa sang ibu bertahun-tahun silam, pemuda berlesung pipi itu memilih menutup diri. Saat itu, ia masih berusia 13 tahun. Namun, harus menjadi saksi mata atas kematian wanita terhebat dalam hidupnya yang  tragis. Sang ibu dibunuh oleh lelaki yang ia sebut Ayah di depan matanya. Dunianya hancur sejak kejadian itu.

Pemuda 23 tahun itu harus menjalani sisa hidupnya dengan rasa bersalah karena tak bisa melakukan apa pun saat itu. Bertahun-tahun ini memilih bersembunyi di balik topeng tegar, tetapi nyatanya ia sudah hancur sejak dulu.

Rizhan berdiri di balik jendela kamar, netra hitamnya menerawang jauh. Di luar sana tampak gelap, ia melirik arloji di pergelangan tangannya. Di sana menunjukkan tengah malam. Ia terbangun usai kembali memimpikan kejadian nahas itu, seluruh tubuhnya bahkan basah oleh keringat. Kali ini, matanya tak lagi mau diajak terpejam. Jadi, ia memilih menikmati kelamnya malam tanpa bintang. Tak jauh berbeda dengan hidupnya, bukan?

"Zhan, sampai kapan kamu akan terus  terjebak? Mengapa rasanya terlalu sulit untuk berdamai dengan semuanya?" tanyanya pada malam.

Hening, tak ada satu pun yang menjawab pertanyaannya. Hanya deru angin malam, gemerisik dedauan serta suara hewan malam yang terdengar. Namun, meskipun mereka memberikan jawaban yang diinginkan. Pemuda bertubuh ringkih itu juga tak mampu menerjemahkan.

Setelah puas menyaksikan langit malam, ia melangkah keluar dari kamar. Perlahan menuruni satu per satu anak tangga menuju ruang keluarga. Namun, lagi-lagi hanya kosong yang ia temui. Keluarga yang selama ini ia harapkan, nyatanya telah hilang sejak lama. Ibunya telah tiada, sedangkan sang ayah tinggal di hotel prodeo untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. 

Secara ekonomi, keadaan Rizhan memang baik. Namun, dari sisi yang lain; ia mungkin yang terburuk. Pemuda berkacamata itu bahkan tak sekali pun menjenguk sang ayah. Ah, ia bahkan tak ingat jika lelaki itu masih ada di dunia ini. Benci? Marah? Kecewa? Jangan ditanyakan lagi, lebih dari sekadar semua itu. 

Rizhan duduk di sofa biru di tengah ruangan, diraihnya figura yang tergeletak di meja. Foto kedua orang tuanya tampak telah lusuh, terutama potret sang ayah yang tak lagi terlihat karena coretan pena dan spidol. Pelakunya, tentu ia sendiri.

"Bahagiakah Bunda di sana? Rizhan rindu Bunda, tapi sekarang hanya mampu memeluk bayang aja," bisiknya.

Dulu, ketika ia rapuh selalu ada sang bunda yang merengkuh ke dalam dekapan. Namun, sekarang hanya hawa dingin yang memeluknya dengan erat. Kehangatan itu tak bisa lagi ditemukan, semuanya telah lenyap sejak saat itu. 

"Bun, semua orang memintaku memaafkan pembunuh itu. Kenyataannya, mereka bukan hanya membunuh Bunda. Lebih dari itu, dia juga membunuh jiwaku tanpa sengaja. Membuatku hidup dalam belenggu nestapa selama bertahun-tahun, bahkan hingga detik ini."

Rizhan menangkup wajahnya dengan tangan, meredam isak yang mulai kentara. Ia hanya ingin mengungkapkan semua beban dalam hatinya agar merasa lega setelahnya. Jadi, bercerita seorang diri dalam keheningan malam merupakan salah satu cara paling ampuh baginya. Tentunya, selain mengadu pada Sang Pemilik nyawa dalam sujud panjang di sepertiga malam.

"Mereka bilang, aku harus ikhlas. Sementara aku sendiri nggak tahu apa itu ikhlas. Bun, tolong ajari Rizhan bagaimana caranya ikhlas!"

Diusapnya foto sang ibu dengan pelan dan ditatap cukup lama. Namun, tetap tak mampu menguaraikan rindu yang tersimpan selama satu dasawarsa ini. Ia masih belum berani untuk kembali ke kampung halamannya dan menziarahi makam sang ibu. Mungkin, ia memang terlalu pengecut untuk kembali. Lebih tepatnya, masih belum mampu berdamai dengan dirinya sendiri. 

Rizhan menyandarkan kepalanya di sofa sembari memeluk figura. Perlahan, ia memejamkan mata. Namun, hanya sebentar kemudian kembali terbuka sempurna. Kejadian hari itu masih tampak nyata di pelupuk mata, bak sebuah film yang terputar pada layar.

Ia masih bisa mencium bau anyir yang menyebar ke seluruh ruangan pun mengingat darah yang menggenang dan membasah di kaos birunya usai memangku kepala sang ibu. Tak terkecuali, wajah pucat dan tubuh dingin sang ibu malam itu.

Pemuda berlesung pipi itu menarik napas dalam, mencoba mengurai sesak yang menghimpit dadanya. Namun, nyatanya tak berhasil. Dadanya seolah tersumbat beban puluhan kilogram. 

"Mas Rizhan, belum tidur?" Suara lembut Bi Surti mengusik lamunan pemuda itu. 

"Kebangun, Bi. Mau tidur lagi juga nggak bisa, makanya ke sini." Rizhan tersenyum tipis.

Bi Surti mengangguk, kemudian berlalu ke dapur untuk mengambil jus alpukat. Tak lama, kembali menghampiri sang atasan dengan membawa segelas jus alpukat dingin dengan toping es krim cokelat di atasnya. Tinggal seatap dengan pemuda itu, membuatnya sedikit– banyak mengerti tentang kebiasaan tuan mudanya. 

"Jusnya diminum dulu, biar pikirannya jauh lebih tenang. Siapa tahu nanti bisa tidur lagi."

"Makasih, Bi. Bibi istirahat lagi aja."

Bukannya kembali ke kamar, Bi Surti justru duduk di seberang. Ia merasa khawatir karena melihat raut cemas di wajah tuannya. Baginya, Rizhan bak putra kandungnya sendiri.

"Mas Rizhan mimpi buruk lagi?" Bi Surti membuka percakapan.

"Aku harap semua itu memang hanya sekedar mimpi buruk, tapi kenyataan  mengatakan sebaliknya. Terkadang, aku capek terus dihantui mimpi itu. Hanya saja, aku juga nggak bisa berbuat apa pun," ucap Rizhan.

Bi Surti menghela napas, ia sendiri tak tahu harus membalas apa. Jadi, memilih diam dan mendengarkan. Mungkin, pemuda itu hanya sekadar butuh teman untuk bicara.

"Mungkin, seharusnya aku lebih berani. Bukan malah terus bersembunyi dan lari dari kenyataan.  Nyatanya, sejauh apa pun berlari tetap saja terkejar. Bi, gimana caranya biar aku bisa lebih berani?"

Bi Surti terdiam, memikirkan jawaban yang tepat atas pertanyaan itu. Namun, ternyata sulit menemukan jawabannya. Apalagi ia tak pernah berada di situasi yang sama. Membayangkan saja, rasanya terlalu sulit.

"Ketika aku memilih menyerah, semua orang memintaku untuk untuk lebih berani. Namun, keberanian yang seperti apa yang harus kulakukan? Sementara, sejak kecil aku terus hidup dalam ketakutan. Tak seorang pun mengajariku untuk menjadi pemberani," lirihnya.

Sejauh yang bisa Rizhan ingat, yang orang-orang sebut sebagai rumahnya hanyalah tempat di mana keributan selalu terdengar. Barang-barang di rumah itu selalu saja ada yang pecah setiap harinya. Ia yang dulu, memilih bersembunyi di dalam lemari ketika teriakan dan umpatan mulai terdengar. Jadi, bagaimana ia tahu apa arti sebuah keberanian? 

 Jadi, bagaimana ia tahu apa arti sebuah keberanian? 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Day 2
Anfight Homebattle
Kulon Progo, 5 April 2022

Titian Takdir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang