Bagian 13

69 4 4
                                    

Agam sert Rizhan telah tiba di lokasi, sehari sebelum acara pembukaan resto baru milik Agam. Keduanya memastikan bahwa semua konsep dan ruangan yang akan digunakan telah rampung sesuai rencana. Kali ini, bukan hanya akan ada mereka berdua. Namun, Nabila juga akan turut serta.

Keduanya segera memasuki tempat acara yang telah disulap sedemikian rupa. Lampu hias menggantung di tengah ruangan, menambah kesan elegan tempat itu. Di sisi depan panggung, terdapat beberapa tanaman hias serta sebuah air mancur buatan sebagai pelengkap.

"Sesuai ekspektasi nggak,Gam?" Rizhan membuka percakapan.

"Alhamdulillah sesuai. Jadi, kita nggak perlu menambahkan apa-apa lagi. Makasih atas bantuannya." Rizhan tersenyum manis.

Suara dering ponsel Rizhan mengalihkan perhatian keduanya. Pemuda berkacamata itu tersenyum tipis begitu menyadari siapa yang menghubungi. I mengaktifkan loud speaker.

"Zhan, kamu udah ke lokasi, ya? Nggak asyik, ah. Aku, kan, pengen ikut ke sana. Bilangin ke Mas Agam, ya, kalau aku pengen nyusul."

"Males banget, kamu bilang sendiri ke orangnya. Lagian kemarin pas ketemu diam aja, giliran sekarang geger pengen ikut," sindir Rizhan.

Terdengar helaan napas dari seberang sana, membuat Agam serta Rizhan terkekeh pelan. Namun, Agam masih memilih bungkam. Menikmati setiap interaksi manis dari sang sahabat dan Nabila.

"Ih, jangan gitu, Zhan. Aku malu kali kalau ngomong langsung sama Agam, bantuin kenapa? Zhan, tolonglah!" Nabila terus membujuk.

Rizhan melirik Agam yang menggeleng pelan, ia memberi kode agar menjawab pertanyaan Nabila. Ia merasa tak berhak karena hanya sebatas tamu aja, bukan pemilik acara.

"Nabila boleh nyusul kalau mau, tapi Mas Agam nggak bisa menyediakan akomodasi apa pun." Agam menyahut.

Gadis di seberang sana hampir saja terjungkal ketika suara lembut Agam menyapa telinga. Tak bisa dipungkiri, jantungnya berdetak karuan, rasa panas pun turut menjalar di wajah, ia yakin bahwa pipinya sekarang memerah.

"Ah, makasih Mas Agam. Bila nyusul besok pagi aja, biar nggak perlu cari penginapan. Cuma, Bila nggak tahu alamat lengkapnya. Kalau bisa Mas Agam atau Rizhan bisa jemput."

Rizhan terkekeh mendengar suara bernada pelan dari sang sahabat ketika berbicara pada Agam. Padahal, tadi suara itu terdengar melengking ketika berbicara padanya. Hal itu semakin membuatnya tertampar, bahwa gadis beralis tebal itu hanya menganggapnya sebagai sahabat. Mungkin, selamanya akan tetap begitu.

"Nggak usah modus,Bil. Ntar kita kirim sopir ke rumah buat jemput kamu. Kita sibuk persiapan kali, Bil." Rizhan kembali buka suara.

"Ah, Rizhan, mah, gitu. Nggak perlu sopir juga aku, share lokasinya aja. Ntar aku juga bisa nyampe sana tanpa hambatan. Bye, Zhan." Nabila mematikan panggilan sepihak.

Rizhan berdecak kesal, semua itu tak luput dari perhatian Agam. Namun, pemuda berwajah oval itu hanya menggeleng pelan sebagai respon. " Kalian itu kalau bareng, hobinya berantem mulu. Cuma kalau jauh, saling merindukan," goda Agam.

Rizhan terpaku, entah kenapa kata itu justru terasa menusuk jantungnya. Bukan apa-apa, itu semakin menyadarkannya bahwa gadis itu tak pernah menganggapnya istimewa. Ia tahu betul bahwa Agam lah yang sudah merebut perhatian sqng sahabat.

"Nggak ada cocok-cocoknya, Gam. Gadis petakilan kayak dia tuh susah diaturnya, kecuali sama pawangnya," kekehnya.

Keduanya terkekeh bersamaan, gadis itu memang tampak unik. Tanpa disadari, Agam turut tersenyum tipis kala mengingat sosok Nabila beberapa tahun silam. Ketika ia masih berstatus sebagai pelajar.

****
Nabila sudah bersiap sejak jam empat pagi, berkali-kali mematut diri di depan cermin. Kamar itu bahkan tampak berantakan dengan berbagai macam baju yang tergeletak begitu saja di ranjang. Ia tengah memilih busana yang sekiranya bisa dikenakan untuk pergi, tetapi merasa bahwa kekurangan pakaian.

Satu per satu baju dicoba lalu dilempar ketika merasa tak cocok dengan tubuhnya. "Pakai baju yang mana, nih, enaknya? Ya kali aku ke acara Mas Agam pakai celana jeans sama kaos." Nabila frustrasi sendiri.

Perhatiannya teralih pada sebuah gamis berwarna merah muda yang tergantung di lemari. Satu-satunya pakaian normal yang bisa dikenakan untuk datang ke acara itu. Sejujurnya, acara itu tak penting baginya. Baginya, hal yang lebih penting adalah bertemu dengan Agam. Ia jadi punya alasan untuk kembali bertemu.

Nabila mengenakan gamis itu, kemudian kembali mematut diri. Terlihat sangat pas membalut tubuh dengan jilbab panjang yang mencapai perut. Wajahnya yang kecil, tampak semakin mungil ketika mengenakan itu.

"Ternyata aku cantik juga," kekehnya.

Nabila merias diri dengan tipis karena tahu bahwa Agam menyukai perempuan sederhana yang anggun. Meskipun sikapnya terkadang terkesan pecicilan, tetapi ia akan berusaha untuk tampil lebih lembut demi sang pangeran impian.

Tepat jam lima pagi, ia telah selesai bersiap. Kemudian bersiap untuk menyusul ke lokasi. Acara akan dimulai jam delapan pagi, hal yang membuatnya bersiap lebih awal agar tak terlambat. Setidaknya, saat ini jalanan masih sepi.

Selain bertemu dengan Agam, ia juga penasaran dengan sosok Rizhan yang katanya juga pernah menjadi hafiz. Saat bertanya kemarin, sama sekali tak mendapatkan jawaban yang diinginkan. Jadi, dengan datang ke sama akan membuatnya mengetahui fakta yang tersimpan itu. Apalagi sang sahabat akan membuka acara dengan lantunan ayat suci, semakin membuatnya dilanda penasaran.

Sementara itu, sejak tadi Rizhan bergerak gelisah. Keringat dingin membanjiri wajah serta telapak tangan, hal yang biasa dialami ketika gugup. Berkali-kali berusaha menenangkan diri dengan zikir, tetapi nyatanya belum berhasil.

Sebuah tepukan lembut di pundak membuatnya menoleh, pelakunya tak lain adalah Agam. Pemuda bertubuh kekar itu tersenyum tipis, "Santai aja, Zhan. Aku yakin kamu pasti bisa. Nggak usah gugup gitu, anggap aja di sini hanya ada aku dan kamu. Anggap para tamu undangan itu sebagai patung bernyawa,"nasihat Agam.

Rizhan terkekeh mendengar itu, bagaimana bisa menganggap demikian. Sementara ia tahu bahwa acara itu cukup berarti untuk sang sahabat. Ia sendiri tidak tahu kenapa perasaannya begitu tak karuan.

"Gam, terima kasih untuk semuanya. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku belum bisa seperti sekarang."

Agam hanya tersenyum tipis sebagai jawaban. Ia hanya berharap yang terbaik bagi sahabatnya yang satu itu. Ia melirik ke arah ruangan kosong di sisi panggung. Di sana telah berdiri sesosok lelaki bertubuh pendek dengan wajah keriput dimakan usia. 
Pemuda itu memberi kode agar lelaki itu bersabar dulu, sekarang bukan waktu yang tepat untuknya muncul di hadapan sang putra.

Pemuda itu memberi kode agar Doni kembali bersembunyi. Namun, ketika lelaki itu berbalik tatapan Rizhan mengarah ke sana. "Apa lelaki itu benar-benar telah bebas?" bisiknya.

Agam yang mendengar itu menoleh, "Siapa, Zhan?"

"Orang yang telah menghancurkan masa kecilku dan masa muda yang kumiliki." Rizhan menerawang jauh.

Arena Homebattle
Kulon Progo, 18 April 2022



Titian Takdir Where stories live. Discover now