Keping 13 : Air Mata Bahagia

23 3 0
                                    

Kayla pov

Mentari hadir dengan malu-malu menyapa mesra di celah jendela sedang aku di sini menata hati dengan saksama, insyallah cinta tak salah bermuara. Netra itu menatap tajam menghujam jiwa.
Aku tau semua akan mencair bersama waktu yang bersahaja. Seperti diriku yang telah karam dalam rasa. Biarlah cukup dia dan aku yang tetap berahasia hingga ikrar suci menggema menutupi rasa yang tersisa.

Dekorasi gading keemasan memenuhi gedung pernikahan Kakak dan Kak Gibran. Kak Lyla sangat cantik dengan balutan gaun berwarna gading keemasan dan di sampingnya lelaki itu menggandeng mesra dengan jas senada. Mereka bak ratu dan raja, sempurna. Kebahagiaan menguar ke seluruh penjuru aula, ayah dan ibu tampak berbinar-binar dalam suka cita saat menyambut para tamu yang berdatangan.

Kuperhatikan keluarga Kak Gibran juga tampak bahagia, aku tertuju pada sosok Bang Gio, Abang Kak Gibran yang pernah dia ceritakan padaku, dia tampan dan penuh wibawa seraya menggandeng istrinya dengan mesra bak pengantin baru. Padahal usia pernikahan mereka sudah berjalan tiga tahun dan di karuniai seorang putri yang sangat cantik dan lucu.

Semalam saat Kak Gibran mengucap ijab qobul terselip perasaan lega yang menyelimuti hatiku yang bimbang. Cinta masa lalu antara aku dan Kak Gibran biarlah abadi dalam kenangan indah kami berdua.

"Kayla Sayang ke mari nak bantu ibu," ucap ibu yang seketika membuyarkan lamunanku. Aku terlarut dalam lamunan hingga melupakan bahwa saat ini aku sedang berada di gedung tempat resepsi pernikahan Kakak dan Kak Gibran berlangsung.

"Iya bu," balasku singkat lalu segera menghampiri ibu dengan senyum riang. Setelah beberapa saat beramah tamah dengan para tamu kakiku mulai terasa pegal dan nyeri karena tidak terbiasa memakai sepatu high heels. Namun, tiba-tiba sebuah genggaman di jemariku membuatku terhenyak lalu menatap si pelaku dengan tersenyum.

"Aku sudah tidak sabar menunggu moment spesial seperti ini Sayang," bisik Kak Rendy lirih dengan melempar senyum kepada kedua mempelai.

"Sabar Kak Rendy, dua tahun lagi," balasku sembari menatap Kak Rendy dengan senyuman menggoda.

"Tapi sepertinya aku sudah tidak sabar," balasnya dengan menyeringai jail. Sikap itulah yang terkadang membuatku merindukan Kak Rendy, dia selalu mampu menghiburku diwaktu yang tepat.

Dari kejauhan kulihat Bang Ferri memeluk Kak Gibran cukup lama. Seolah ada kerinduan yang mendalam dari dua sahabat tersebut. Mereka tertawa lepas kemudian disusul teman-temannya yang lain. Aku sengaja memilih menjauh, membuat jarak dari kedua mempelai pengantin. Sedangkan Kak Rendy tengah asyik bercanda bersama teman-teman sekelasnya, Kak Lyla sengaja mengamanati Kak Rendy sebagai terima tamu acara pernikahannya.

"Adek ayo Kakak kenalin sama teman-teman kakak," ajak Kak Lyla yang tiba-tiba menarik tanganku dan aku tidak sempat menolaknya. Kakak mengajakku bergabung dengan semua temannya. Dalam hati aku berdoa, semoga Bang Ferri tidak mengatakan sesuatu yang akan membuat gempar seisi gedung ini.

"Ini kenalin adikku, Kayla. Dia sekarang pacaran sama si Rendy loh!" jelas Kak Lyla yang disambut sorai dari teman Kak Lyla tetapi tidak dengan Bang Ferri yang tampak terkejut menatapku lalu berpindah ke arah Kak Gibran. Aku tersenyum getir pada Bang Ferry, seandainya bisa menghilang maka sekaranglah waktu yang tepat.

"Gimana kabar Dek Kayla? Lama nggak bertemu, kamu sudah gede aja dan tambah cantik!" puji Bang Ferri sembari mancubit pipiku lalu mengusap puncak kepalaku yang terhalang jilbab dengan sayang.

"Aduh Bang Ferri nih, kan pipiku udah nggak chubby lagi kayak dulu," balasku dengan memegangi pipiku.
Tak kusadari semua pasang mata menatap kami dalam keheranan. Aku memang sudah menganggap Bang Ferri seperti Kakakku sendiri. Jadi, perasaan canggung di antara kita seolah menguap begitu saja, dulu kami sudah terbiasa saling menggoda setiap kali bertemu. 

Menyadari menjadi pusat perhatian Bang Ferri seketika melontarkan pertanyaan.

"Penasaran semua ya? Kayla ini dulu sahabat adikku Febby waktu masih di bangku sekolah, dulu dia sering apel ke kosku, nggak nyangka banget kalau sahabatku Alfa ternyata menikah dengan Kakaknya Kayla. ucap Bang Ferri memecah keheranan semua orang sedangkan aku hanya mampu tersenyum sebagai tanggapan.

Kulirik sekilas Kak Gibran masih dengan ekspresi datar untuk menutupi rasa gugupnya. Namun, sejurus kemudian dia tampak tersenyum lega. Dan disaat bersamaan Kak Rendy datang lalu menggenggam jemariku erat tanpa mengalihkan perhatiannya dari teman-temannya.

"Kak aku ke belakang dulu ya?" bisikku pada Kak Rendy dan disambut anggukan olehnya.

"Lepasin dulu! bisikku lirih seraya mengarahkan ekor mataku pada kedua tangan kami yang masih bertautan.

"Nggak mau!" balas Kak Rendy menggodaku.

"Udah ah!" Paksaku melepas genggamannya dan tanpa kuduga netraku bertabrakan dengan netra Kak Gibran yang entah sejak kapan ia memperhatikan kami berdua.

Aku berhasil melepaskan genggaman tangan Kak Rendy dan segera pergi menuju arah kamar mandi tanpa menghiraukan sorai teman-temannya.

****

Lega rasanya berhasil menjauh dari semua orang, berlama-lama di sana bisa berakibat fatal, dan tak menutup kemungkinan aku terserang jantung koroner mendadak. Kutelisik wajahku yang tampak layu dari balik cermin, "Tolong hamba ya Rabb, rasanya hamba sudah tak sanggup bila harus berlama-lama di sini," gumamku lirih. Namun, hampir saja aku pingsan saat tiba-tiba Kak Gibran sudah berdiri tepat di belakangku dan kedua netra kami bertemu.

"Kayla maaf ya atas ketidaknyamanan yang aku ciptakan, aku tidak pernah tahu akan serumit ini keadaannya," ucapnya tulus seraya masih menatapku dari balik cermin. Ia bersandar pada sisi tembok dengan tangan kanan masuk ke dalam saku celana. Pandangannya tertuju padaku dengan ekspresi yang tidak bisa kuterka.

"Iya Kak Alfa aku paham," jawabku singkat seraya masih menikmati wajah tampannya dalam cermin. Sekilas ia tampak terkejut saat aku memanggilnya Alfa tetapi sedetik kemudian senyuman tulusnya mengurai dari kedua sudut bibirnya.

"Terimakasih Dek Kayla!" ucapnya masih menamatkan pertemuan netra kita, seolah-olah ucapan perpisahan. Tak lama ia berlalu meninggalkanku yang masih mematung di depan cermin.

Kucengkeram kuat dadaku yang terasa sesak lalu menyeka dengan kasar air mata yang hampir jatuh dengan punggung tanganku seraya menyakinkan diri bahwa aku bahagia.

Rahasia Antara Aku dan Kakak Ipar (End) Where stories live. Discover now