Keping 7 : Secret Love 2

35 5 0
                                    

"Aku berharap kamu tidak salah faham tentang hubunganku dan Lyla. Aku sungguh nggak sengaja kenalan dengan Lyla di suatu seminar yang diadakan kampus 6 bulan lalu, awalnya aku memang tertarik karena dia memiliki kemiripan wajah denganmu, tapi dengan berjalannya waktu, lambat laun sebuah rasa baru hadir dalam hatiku dan aku bertekad untuk menikahinya secepat mungkin. Kay, aku juga sangat terkejut saat mengetahui ternyata kamu adalah adik kandung Lyla dan itu artinya sebentar lagi hubungan kita berubah menjadi saudara ipar. Aku tahu kita sama-sama terluka, tetapi inilah jalan terbaik yang telah kita pilih dan tentu saja kita harus mengikuti suratan takdir," terangnya dengan pandangan lurus ke depan.

Hatiku mulai bergerimis mendengar semua perkataannya bersamaan dengan embun yang mulai mengabut pada penglihatanku. Mengapa pengakuannya begitu terasa menyakitkan? Tak berdarah memang, namun sakitnya tak bisa didefinisikan. Apalagi aku hanya seorang gadis labil yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta.

Katanya, ikhlas adalah obat penawar dari segala luka tapi kenyataan yang kudapatkan ternyata salah. Aku masih berhenti di sini, mengkhianati janji yang telah terpatri.

"Kak Gibran tahu nggak rasanya jadi aku? Sakit Kak! Rasanya aku ingin menyerah karna harus slalu bersandiwara di hadapan keluargaku sendiri, terutama pada Kak Lyla, aku merasa sangat jahat," balasku sembari menahan laju air mata yang mulai merembes di pipiku.

"Maafkan aku Kayla, aku nggak pernah bermaksud menyakiti hatimu, aku sendiri sangat bingung dengan situasi ini, a..aku juga masih mencintai kamu..." Kak Gibran menjeda ucapannya seraya menarik nafas panjang lalu menatapku dengan sendu.

Deg...

"Mengapa kata sakral itu harus terucap di waktu yang salah?"

"Tapi aku juga nggak sanggup kehilangan Lyla, aku tidak akan mungkin egois dengan menyakiti hatinya. Aku pun yakin kamu nggak akan melakukan itu pada Rendy. Dan sekarang, sebaiknya kita belajar menetralkan semua rasa yang kita miliki saat ini," sambungnya masih dengan memandangku penuh harap, menyakinkan jika semuanya akan baik-baik saja seiring berjalan waktu.

"Iya Kak, hanya itu jalan terbaik, dengan gitu nggak akan ada lagi hati yang terluka, biarlah semua menjadi kenangan kita berdua. Aku sangat menyayangi Kak Lyla, apapun akan aku lakukan, Kak Gibran nggak perlu khawatir padaku." Kubalas ucapannya dengan suara bergetar seraya menyeka buliran bening di pipiku dengan kasar. Aku beranjak dari tempat dudukku lalu mengulas senyuman sebelum meninggalkannya.
 
"Maaf aku Kayla," ucapnya lirih yang seketika berhasil menghentikan langkah kakiku sejenak. Tanpa menoleh ke belakang aku menyusuri sisa koridor kampus menuju parkiran motorku dengan air mata yang kubiarkan mengalir seenaknya.

***

"Sayang, kenapa teleponku dari tadi nggak diangkat?"

"Lagi di mana? hang out sama teman-teman kamu kah?"

"Balas dong Sayang jangan buat aku khawatir."

"Aku telepon Lyla katanya kamu belum pulang?"

Serentetan pesan singkat dari Kak Rendy hanya aku baca sekilas lalu tanpa ingin membalasnya kumasukkan kembali benda pipih itu ke dalam tas, kuhela nafas dalam-dalam sembari mereda emosiku sebelum menstater motor matic milikku, keinginanku hanya satu, pulang dan menenggelamkan diri di balik selimut. Membiarkan mimpi menyeretku pergi jauh dari kenyataan ini.

***

"Dek, dicari Rendy tuh, kamu kenapa? marahan sama si Rendy?" cecar kakak yang tanpa kusadari sudah duduk di tepi ranjang sambil membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhku.

"Nggak papa kak, aku cuma capek banget hari ini, biasa mendekati jadwal tamu bulanan," jawabku asal seraya menutup kembali wajahku dengan selimut. Kakak tergelak lalu menarik kembali selimut yang menutupi tubuhku dan melemparkannya ke lantai.

Dengan kesal aku terbangun lalu meraih cardigan rajut yang teronggok di sembarangan tempat. Tanpa memakai jilbab aku ke luar, aku tidak peduli karena dulu juga Kak Rendy sudah terbiasa melihatku tanpa jilbab.

"Sayang kamu nggak papa kan?" tanyanya dengan panik lalu tanpa aba-aba ia meraih tubuhku dengan kasar, membawa ke dalam pelukannya.

"Jangan membuat aku khawatir seperti ini lagi, mulai besok kuliah nggak usah bawa motor. Aku aja yang antar jemput kuliah. Pokoknya ke manapun kamu ingin pergi biar aku aja yang antar," ucapnya semakin mengeratkan pelukannya. Perlahan kuurai pelukan Kak Rendy lalu menatap kedua netranya sejenak sebelum membalas pelukan laki-laki itu.

Kuhidu aroma maskulin tubuhnya yang selalu mampu menenangkan kekacauan hatiku. Dada bidang inilah yang selalu mengkhawatirkanku setiap waktu. Dan dua tangan kokoh inilah yang selalu berusaha menyadarkan aku dari terpaan keegoisanku.

"Aku ingin kita segera nikah Sayang. Rasanya aku sudah nggak sabar pengen peluk kamu setiap saat seperti ini, menghalalkan dirimu untukku tanpa takut berbuat dosa," ujarnya dengan tatapan penuh cinta yang seketika membuatku speechless.

"Ingat janji sama Ayah dan Ibu, menunggu sampai aku lulus kuliah," godaku sembari mengerlingkan mata manja.

"Iya ya, ingat! Tapi kalau misal mereka tahu aku peluk-peluk kamu kek gini pasti mereka langsung nikahin kita Sayang," balasnya dengan santai lalu melepaskan pelukannya dan menarik tanganku untuk duduk di sofa di sebelahnya.

"Oya Ini tadi kubelikan jajan kesukaan kamu, ayo dimakan bareng." Ia ke luarkan dua es cream coklat dari kantong kresek yang berada di atas meja lalu membuka bungkus dan menyodorkan ke tanganku.

"Kak?" Gumamku sambil memagut nikmat es creamku. 

"Hm," jawabnya tanpa kata.

"Kok hm aja?" Tanyaku dengan memajukan bibirku pura-pura merajuk.
 
"Kamu ini gemesin deh, jangan menggoda terus nanti aku khilaf...," balasnya dengan tatapan tak terbaca seraya mencubit pipiku yang chubby.

"Kakak yakin milih aku?" sontak Kak Rendy berhenti menikmati es creamnya  lalu meletakkannya di atas meja.

"Aku kan masih semester 4 Kak,  terus Kak Rendy sudah izin Ibu Kakak belum? Dari pada nanti kita sudah berencana jauh eh keluarga Kak Rendy yang nggak setuju sama aku? Bukannya aku ngebet ingin cepet nikah Kak, tapi aku hanya tidak ingin menjalani hubungan tanpa masa depan yang jelas," terangku yang seketika berhasil menerbitkan senyuman di bibirnya.

"Kenapa kamu jadi baperan gini? Aku nggak pernah main-main dengan hubungan ini, jika orang tua kamu mengizinkan, keluargaku akan segera datang untuk melamar kamu, dua bulan lagi aku wisuda dan itu artinya aku siap menikah," balasnya dengan serius. Aku tergelak karena melihat ekspresi wajah seriusnya yang terlihat sangat lucu.

"Sudah, stop stop tambah ngelantur aja ngomongnya." Aku acuhkan ekspresi kesalnya sembari menyuapi bibirnya hingga penuh dengan es cream.

Setelah es cream kami habis suasana tiba-tiba menjadi hening. Jemarinya terulur perlahan lalu mengusap bibirku lembut dengan seringai tak terbaca, wajah Kak Rendy mendekat hingga kurasakan hangat nafasnya menyapu wajahku. Entah dorongan dari mana kedua mataku menutup perlahan, membayangkan bibir kenyal itu melumat bibirku.

"Astaghfirullah..," ucap Kak Rendy yang seketika membuatku membuka kedua mata, sempat kurasakan sekian detik lalu hidung kami sempat bertabrakan.

Segera aku tersadar dan segera menjauh dengan wajah memanas. "Maaf Sayang, hampir aja aku khilaf," ucapnya dengan kedua tangan mengusap wajah dengan kasar. Sedangkan aku hanya bisa membeku dengan debaran yang bertalu.

Rahasia Antara Aku dan Kakak Ipar (End) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora