24. Sebuah Pengakuan

2.8K 489 40
                                    

UAS dua mata kuliah sudah Tara lewati. Sisa satu lagi di jam setelah dua. Selama menunggu kelas ia dan Ghiselle memilih untuk makan siang di depan ruang teori.

"Nah, ternyata Kak Arji itu nggak punya pacar, Ghis. Dia udah nikaaah." Dengan semangat Giselle bercerita, mulutnya terus mengunyah chicken katsu yang tinggal setengah. "Gue denger langsung dia nyariin istrinya di backstage setelah shooting weekly music."

Tara mengangguk, ia belum ada niatan untuk mengeluarkan suara. Paket ayam geprek 10 ribu lebih menarik daripada cerita Giselle. Hati dan pikirannya juga sedang berdebat tentang membongkar rahasia atau menahan sedikit lebih lama.

Beberapa hal-hal buruk sudah menghantui Tara. Ia takut Giselle marah dan tak mau lagi berteman dengannya. Hanya itu yang membuat Tara sampai sekarang tidak berani berkata jujur.

"Sayangnya gue nggak liat istri Kaka Arji, ternyata dia pergi duluan," lanjut Giselle masih terus bercerita. "Gue sempet interogasi Sinan, sih. Gue nanya nikahannya kapan, teris muka istrinya kayak gimana. Tapi, Sinan bilang dia nggak dateng ke acara nikahan Kak Arji."

"Lo lagi deket sama Sinan?" tanya Tara lebih terdengar menuduh. Ia sedang berusaha mengalihkan pembicaraan. "Sejak kapan ,Gi?''

Giselle terlihat salah tingkah, ia berusaha menahan senyumnya. "Udah lama gue deketin dia, tapi baru akhir-akhir ini mulai dinotis. Itu juga berkat bantuan Kak Arji. Penyiar tengil itu ternyata baik tau, Ra."

"Gue kira lo suka sama Kak Jioon--"

"Dih! Jangan asal ngomong ya! Gue suka sama siaran radionya, bukan sama penyiarnya." Giselle memotong cepat perkataan Tara. Dengan sewot ia lanjut menjelaskan, "Cara Kak Arji ngomongin hal-hal berat dengan ringan itu yang gue suka, bukan orangnya. Gila aja gue suka sama manusia yang setiap ngomong selalu nyulut emosi. Gue bahkan pengen ketemu istrinya, Ghis."

"Ngapain?" Wajah Tara seketika panik. "Lo mau labrak dia?"

Giselle mengumpat pelan. "Gue mau peluk itu perempuan, kasih kekuatan karena harus hidup sama laki-laki yang mulutnya lebih pedes dari sambel geprek yang lo makan," jelasnya menggebu-gebu.

"Tenang aja, ceweknya kuat pedes. Mulut Arjioon dia telen bulat-bulat," jawab Tara asal sembari merapikan styrofoam bekas makannya. "Tapi, emang kadang kesel juga, sih."

"Lo kenal ceweknya?" Mata Giselle sedikit menyipit. Memorinya tiba-tiba bekerja lebih keras. "OH IYA! DULU KAK ARJI PERNAH BILANG KALO BOKAP LO SAMA BOKAPNYA TEMENAN YA? LO DATENG KE ACARA NIKAHAN KAK ARJI? JAHAT LO KAGAK NGASIH TAU BERITA BESAR INI!"

Tara sedikit menjauh saat Giselle berubah menjadi heboh. Niatnya untuk mengaku tiba-tiba saja sirna. Dituduh menjadi tamu undangan dan tidak memberitahu tentang pernikahan Jioon saja Giselle sudah murka, apalagi jika ia bilang yang sebenarnya.

"Eh, tapi Kak Arji pernah bilang. Gue kenal sama ceweknya. Emang iya, Ghis? Dia anak sini?"

"Cantik kagak Ghis?"

"Anaknya aktif? Lo kenal baik sama itu cewek? Instagram-nya apa?"

Masih banyak lagi pertanyaan lain yang Giselle keluarkan. Ia bahkan sudah duduk dengan serius, menatap penasaran pada Tara yang terpojokkan hingga menempel dengan tembok pembatas di lantai 3.

"Ceweknya anak sini, lo kenal dia. Kalo masalah cantik, gue nggak tau."

"Anak fakultas mana?" Giselle semakin penasaran. "Satu angkatan sama kita atau senior kita?"

Tara mengehela napasnya. Sudah lah, bairkan Giselle tahu, semoga saja tidak marah. "Temen sekelas lo--"

"HAH? SIAPA?"

Si Julid ARJIOON✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang