Bab 27

57 1 0
                                    

Hamdan hanya terdiam sejenak maksud dari ucapan Mbah Marijan tentang ancamnya kepada raja jin. Selebihnya ia hanya manggut-manggut mencerna satu per satu perkataan dari kuncen tersebut. Hamdan pamit pulang dengan perasaan senang berharap raja jin segera menghentikan terornya kepada Mae.

"Terima kasih, Bah."

Mbah Marijan hanya tersenyum simpul tanpa menjawab, hanya memberi selembar kertas di tangan kanannya. Hamdan langsung menyambarnya dengan mata menyipit, tetapi Mbah Marijan sigap memasukkan kertas tersebut ke saku celana Hamdan.

.

Dua hari tinggal bersama kedua orang tuanya seolah Mae seperti terlahir kembali, terbersit ingin menemui Ustaz Zaki guru mengajinya waktu ia SD. Kabar yang beredar sudah menjadi pemimpin Pesantren Al-Fatah di Desa Haur Wangi, membuat Mae ingin bertanya lebih lanjut kepada ibunya.

"Bu, apakah Ustaz Zaki masih ada?" tanya Mae hati-hati.

Lilis hanya melirik sekilas ke arah sang anak, lalu menjawab pertanyaan dari Mae.

"Untuk apa kamu mau menemui Ustaz Zaki?" Lilis malah balik bertanya.

"Tiba-tiba aku ingin menemuinya," jawab Mae dingin.

"Jika kamu ingin ke sana biar, Ayah antar," timpal Kardi

Lilis yang sedang duduk menatap tajam ke arah suaminya, tetapi tidak membuat Kardi takut seperti biasanya jika Lilis menatap tajam. Kardi membalas dengan senyum semringah, 𝑐ℎ𝑒𝑚𝑖𝑠𝑡𝑟𝑦 yang sempat hilang kini seolah telah kembali meski belum sepenuhnya membaik.

Tanpa menunggu lama Kardi segera memanaskan mesin mobilnya, ia dengan semangat empat lima menggendong tubuh gempal Nina. Mae mengajak ibunya untuk ikut, hanya mendapat jawaban ketus. Meskipun begitu ia tetap tenang menghadapi dengan santai.

"Yakin, Ibu tidak ikut jalan-jalan langka?" goda Kardi sembari terkekeh.

"Ibu, belum siap," jawabnya sinis lalu masuk rumah.

"Sepertinya Ibu masih marah," ucap Mae lirih.

"Jangan pikirkan perkataan ibumu," imbuh Kardi memberi semangat.

Kehangatan di antara keduanya mulai sedikit cair, banyak hal yang mereka bicarakan di sepanjang jalan menuju Pesantren Al-Fatah yang berjarak 10 kilometer dari rumah Kardi. Berulang kali Mae mengucap kata terima kasih kepada ayahnya, jika selama ini Kardi selalu merindukannya. Mendoakan Mae pulang ke rumah masa kecilnya, yang kini doanya telah terkabul.

"Maafkan Ayah yang membiarkanmu hidup sengsara selama lima tahun," ucapnya diiringi isak tangis.

"Ini semua bukan salah Ayah, aku sendiri yang termakan hasutan Ibu," jawabnya sembari menyodorkan selembar tisu ke arah Kardi.

"Saat itu Ayah juga takut dengan ibumu, karena Ayah terlalu menyayanginya."

Mae tersenyum simpul sembari mengusap pundak sang ayah, yang mengenang masa terpuruknya kehidupan Mae terasing di tengah perkebunan karet. Kardi teramat menyesali semua perbuatannya karena menuruti perintah dari Lilis. Kini setelah Mae kembali rasa takut yang dimiliki Kardi mulai memudar, ia akan memilih pasrah jika Lilis mengusirnya.

.

"Pak Kardi," ucap Ustaz Zaki semringah.

"Iya, saya Kardi," jawabnya tak kalah senang.

"Ini, Nak Mae dan ini anaknya," ujar Ustaz Zaki tak kalah ramah.

Mae yang melihat Ustaz Zaki segera menangkupkan tangannya di atas dada, Ustaz Zaki yang tidak pernah berubah. Di usianya yang hampir setengah abad ia masih terlihat gagah dengan wajah bersih terawat. Membuat Mae kagum kepada guru ngajinya itu.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Ustaz Zaki.

"Maafkan saya, ustaz, maksud kedatangan saya ke sini ingin minta tolong."

"Silakan ungkapkan jangan ragu, mudah-mudahan saya bisa membantu," ucapnya.

Mae menyerahkan buku harian miliknya selama dua minggu terakhir atas kejadian yang menimpa dirinya yang ia tulis kembali di rumah Lilis--ibunya.

Mae memohon kepada Ustaz Zaki untuk merahasiakan peristiwa yang telah dialami oleh Mae. Ustaz tersebut hanya mengangguk, Mae sangat yakin bahwa guru ngajinya bisa dipercaya dengan baik. Mae dan ayahnya segera pamit meninggalkan Pesantren Al-Fatah setelah bertukar nomer telepon. Dengan harapan bisa membantu dirinya dari penampakkan jin yang kerap mengganggu di dunia nyata ataupun di alam mimpi.

.

Ustaz Zaki dibuat geleng-geleng atas cerita Mae yang ditulis di buku hariannya, ia merasa prihatin dengan apa yang dialami oleh muridnya itu. Dari cerita tersebut membuat dirinya penasaran ingin menyambangi rumah yang ditempati oleh Mae selama dua tahun, yang sebelumya kosong selama empat tahun.

Ustaz Zaki pun meyakini bahwa rumah tersebut sudah banyak penghuninya yaitu makhluk astral. Jangankan di rumah yang telah lama kosong, di luang lingkup pesantren pun sudah pasti ada makhluk halusnya pikir Ustaz Zaki. Ia yang lebih tahu tentang keberadaan jin yang berdampingan hidup dengan manusia di dunia nyata. Bedanya jin ada yang terlihat dan ada yang tidak terlihat oleh pandangan manusia jika di ukur sesuai ilmu kebatinan.

"Jangan ikut campur urusanku," bisiknya di telinga Ustaz Zaki, hanya suara itu yang terdengar tanpa terlihat sosoknya.

Ustaz Zaki hanya tersenyum, semakin penasaran dengan apa yang terjadi kepada Mae setelah ia pindah ke kampung Cimanuk.

.

Hamdan telah kembali ke rumahnya untuk istirahat bc dari perjalanan jauh selama kurang lebih dua hari lamanya. Ia segera terlentang di atas kasur menutupi tubuhnya dengan selimut sampai dada, hawa yang dingin di malam hari membuatnya ingin segera memejamkan mata. Menit berikutnya Hamdan berada di alam mimpi, lagi-lagi ia harus bertemu dengan raja jin.

Meminta tumbal dengan ngotot kepada Hamdan lewat mimpi tersebut, ternyata ritual permohonan yang dilakukan oleh mbah Marijan tak membuahkan hasil yang maksimal. Kini ia sendiri yang harus berhadapan dengan raja jin yang meminta tumbal berikutnya di bulan purnama tepat di malam Jumat Kliwon.

"Aku masih berpegang teguh dengan ikatan perjanjian saat ikrar di awal melakukan pesugihan," ucap Hamdan dengan dada yang kembang kempis, menahan gejolak panas di otaknya.

"Jangan kufur nikmat dengan harta yang kamu miliki sekarang, apa kamu tidak ingat dari mana harta kekayaan itu berasal?" sindir raja jin, menatap tajam ke arah Hamdan memainkan kuku runcingnya.

Hamdan merasa dipojokkan dengan perkataan raja jin yang memang benar adanya, tetapi ia tidak melakukan hal fatal dalam memberikan tumbal di bulan Suro setiap tanggal dua belas di malam Jumat wage.

"Aku akan menunggu di bulan purnama di malam Jumat kliwon," ucap si raja jin.

"Aku tidak akan memberi tumbal di luar perjanjian saat ikrar," balas Hamdan menahan hawa panas dari kepalanya.

"Maka aku tidak akan berhenti mengganggu istrimu," ucapnya sembari tergelak seolah mengejek.

"Jika raja tidak akan berhenti meneror istriku, maka jangan salahkan jika aku berhenti memberi tumbal untukmu," ancam Hamdan.

Raja jin malah semakin tertawa keras menggelegar memekakkan telinga bagi siapa yang mendengarnya. Hamdan menutup kedua telinganya dengan kedua tangan, lalu raja jin menghilang dari pandanganya, membuat Hamdan langsung terbangun dari mimpi buruknya. Tenggorokannya yang terasa panas ia buru-buru mengambil air dua gelas penuh sekaligus, tetapi seolah tak mampu mendinginkan tenggorakan yang semakin panas seperti terbakar.

PesugihanWhere stories live. Discover now