Bab 6

85 3 1
                                    

“Aku serius,” ucap Mae sembari cemberut.

“Hari ini aku akan pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan,” ucap Hamdan.

Terlihat Mae hanya mengangguk.

“Kamu tidak apa-apa aku tinggal di sini sendirian?”  tanya Hamdan ragu.

“Aku tidak apa-apa,” jawab Mae dingin.

“Doakan aku semoga dapat pekerjaan.”

Hamdan segera berlalu menyusuri jalan setapak dengan berjalan kaki sampai jalan raya, ia pun menunggu kendaraan apa saja yang kebetulan mau pergi ke pasar. Setiap orang yang lewat membawa kendaraan akan ia tanya, untuk mendapatkan tumpangan ternyata tidak mudah orang percaya begitu saja. Memang tak ada seorang pun yang Hamdan kenal, membuat ia hampir putus asa ketika tidak ada orang yang memedulikan dirinya.

“Bapak mau ke mana?” saat motor pembawa sayur diberhentikan Hamdan.

“Mau pergi ke pasar,” jawabnya.

“S—saya boleh ikut nggak, Pak?” Hamdan bertanya hati-hati.

“Hm, ayo ikut saja,” ucap bapak itu, tanpa pikir panjang mungkin karena merasa kasihan kepada Hamdan yang sudah mandi keringat akibat menunggu sejak lama.

Hamdan pun mengucap terima kasih, meski orang tersebut hanya menjawab dengan anggukan. Dalam hati Hamdan bertekad akan kerja apa saja yang terpenting mendapatkan uang pikirnya. Setelah sampai di pasar Hamdan pun ikut membantu menurunkan sayuran dari atas motor yang ia menumpang.

“Saya butuh pekerjaan, Pak. Apakah bisa membantu saya?” tanya Hamdan sopan.

“Nanti biar saya bantu ngomong sama yang lain, siapa tahu ada rezeki buat kamu,” jawabnya.

Tanpa malu Hamdan pun menawarkan jasa kuli panggul kepada orang-orang yang kebetulan berbelanja cukup banyak, tetapi tak seorang pun yang mau memakai jasanya. Hingga sore menjelang, Hamdan belum mendapatkan uang sepeser pun untuk dibawa  pulang. Sampai akhirnya pasar bubar, ada seorang ibu-ibu sejak tadi memerhatikan Hamdan ia segera menghampiri.

“Ini ambil,” ucapnya ramah sembari menyodorkan satu kantong plastik kecil.

Serta merta Hamdan menolak dengan halus, karena ia tidak memberikan jasa apa pun untuk ibu tersebut sebagai pemilik warteg.

“Ambil saja, ini masih bangus, Nak,” ucapnya lagi meyakinkan.

Akhirnya Hamdan menerima bingkisan tersebut dengan berkali-kali mengucap terima kasih. Hamdan segera pamit setelah mendapat tumpangan untuk pulang, kebetulan ada mobil pembuang sampah yang hendak ke TPU yang tak jauh dari tempat gubuk yang kini Hamdan tempati.

Setela menempuh perjalan kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya Hamdan sampai di gubuk tersebut bermodalkan remang cahaya bulan purnama. Dari kejauhan sudah terlihat Mae duduk di depan gubuk yang di kelilingi beberapa obor cukup besar pikir Hamdan bahwa Mae sedang menunggu kepulangan dirinya.

“Siapa yang memberi kita obor?” tanya Hamdan.

“Tadi aku bertemu rombongan,” jawab Mae datar.

“Rombongan,” ucap Hamdan sembari menautkan alisnya.

“Mana hasil kerja kamu hari ini,” ucap Mae mengalihkan topik pembicaraan.

“Aku hanya dapat ini.”

Mae segera mengambil bungkusan tersebut dari tangan Hamdan, lalu membukanya dengan perasaan semringah. Mae sudah bisa menebak isi dalam bingkisan tersebut dari wanginya jelas cukup menggoda perutnya untuk segera diisi.

“Alhamdulillah malam ini kita bisa makan ayam goreng,” ucap Mae diiringi binar bahagia.

Hamdan pun ikut terharu, saat melihat  bingkisan tersebut ternyata lebih sekadar cukup untuk dirinya berdua. Membuat ia semangat ingin memberikan jasanya kepada ibu warteg tersebut yang dengan mudahnya memberi ia makanan dengan cuma-cuma.

“Besok bawa lagi makanan yang enak lagi,” ucap Mae.

“Iya,” jawab Hamdan singkat.

Dalam hati Hamdan sebenarnya ia tidak ingin mengecewakan Mae, ia ingin menangis atas apa yang terjadi kepada dirinya. Memikirkan hari esok belum tentu mendapatkan apa yang seperti sekarang, Hamdan merasa bimbang.

“Kenapa tidak dimakan?” tanya Mae sembari menyenggol lengan Hamdan.

Hamdan buru-buru makan dengan perasaan yang sedikit kacau balau, seakan-akan otaknya terus berputar. Hingga larut malam matanya belum bisa terpejam dengan sempurna. Padahal Mae sudah sejak tadi tertidur pulas.

.

“Bu,” panggil Hamdan kepada ibu warteg dengan senyum semringah.

“Saya mau kerja di warteg ibu.” Hamdan masih bisa sabar ketika ucapannya belum dijawab. Karena pemilik warteg sibuk melayani pembeli, jadi Hamdan hanya berdiri di sisi gerobak.

“Tadi ngomong apa, Nak?” tanya pemilik warteg.

“Saya mau kerja di warteg ibu, kalau boleh mencuci piring juga tidak apa-apa,” jawab Hamdan.

Pemilik warteg membalas dengan semringah kemudian menarik lengan Hamdan untuk mengikutinya ke arah belakang tepatnya dapur. Ibu tersebut menunjuk pada tumpukan piring yang menggunung di atas 𝘸𝘢𝘴𝘵𝘢𝘧𝘦𝘭, mata Hamdan membeliak. Beberapa kali mencubit pipinya berharap semuanya hanya mimpi, tetapi ini adalah nyata kehidupan yang ia hadapi sekarang.

“Bagaimana?” pemilik warteg bertanya kepada Hamdan.

“Semua ini harus saya bersihkan,” jawab Hamdan sambil menunjuk ke arah tumpukan piring.

“Iya, saya mau ke depan lagi. Kalau sudah selesai tolong rapikan di rak piring besar itu,” perintahnya.

Hamdan menarik napas panjang, meski ada perasaan jijik dengan tumpukan piring kotor tetsebut. Akhirnya ia kerjakan juga demi sesuap nasi dan tanggung jawabnya kepada Mae, walaupun terpaksa harus ia lakukan dengan hati ikhlas.

Tahun pertama pernikahan, sudah di karunia seorang anak perempuan Hamdan hanya bekerja di warteg sebagai buruh cuci piring kadang membantu melayani pembeli.

“Eh, kamu di sini,” ucap Lilis kepada Hamdan.

“Bu Lilis kenal dengan pegawai saya, “ ucap pemilik warteg yang dikenal bernama Nin Asih orang-orang menyebutnya.

“Tentu, dia yang membawa kabur anak gadisku.”

“Ah, yang bener, Bu,” jawab Nin Asih tak percaya.

Hamdan mengepalkan telapak tangannya seakan-akan dadanya terasa nyeri dengan tutuhan dari mertuanya yang tidak sesuai fakta.

“Lebih baik hati-hati dengan dia,” ucap Lilis sembari menunjuk ke arah Hamdan. Setelah itu ia berlalu meninggalkan warteg Nin Asih.

Nin Asih termakan hasutan dari Lilis, yang akhirnya ia memecat Hamdan secara paksa padahal Hamdan hampir setahun bekerja di wartegnya tanpa berbuat ulah. Hanya karena Hamdan tak pernah menjelaskan kebenaran yang diucapkan oleh mertuanya. Hamdan pun dengan sedih harus menerima semuanya terlebih Mae baru saja melahirkan.

“Aku dipecat,” ucap Hamdan.

“Kok, bisa. Jangan-jangan kamu melakukan kesalajan,” tuduh Mae.

“Ini semua gara-gara ibumu!” teriak Hamdan kesal.

“Ibu ... kamu bertemu dengan dia.”

Hamdan mengangguk lalu menceritakan semua perkataan ibunya kepada Mae, mereka saling berpelukan menguatkan satu sama lainnya. Tak disangka Lilis tega memutuskan jalan rezeki anak dan menantunya hanya karena rasa benci yang mendominasi.

Di tahun kelima anak kedua Hamdan lahir otomatis ia memerlukan biaya yang banyak. Terlebih Mae selalu mengeluhkan penghasilan Hamdan tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Bang kerja itu yang semangat!” teriak Mae.

“Aku sudah lebih dari semangat,” ucap Hamdan santai.

“Aku sudah capai hidup kita begini,” cibir Mae.











PesugihanWhere stories live. Discover now