Bab 15

75 3 1
                                    

Hamdan menghela napas panjang perlahan diembuskan dengan hati yang begitu berat, tetapi jika dipikirkan lagi Roni tidak salah sama sekali hanya berusaha membantunya dari keterpurukannya hidup dalam kemiskinan.

Hamdan bergeming begitu juga dengan Roni dia masih diam seribu bahasa, mereka larut dalam pikirannya masing-masing. Berulang kali Hamdan meneguk air mineral ia merasakan seperti kehausan dalam waktu lama.

"Apa kamu menyesalinya?" tanya Roni seolah ia tahu kegundahan yang dipikirkan temannnya itu.

"Tidak," jawab Hamdan sembari melempar senyum seolah sedang menyembunyikan kegundahannya.

Bukan untuk mencari alasan menyesalinya yang telah terlanjur terperosok dalam ritual pesugihan. Teringat tak ada yang peduli dengan keluarganya, bagaimana bisa ia harus menyesal telah mengikuti proses demi proses yang sebentar lagi mendapat balasannya. Hanya karena menunggu waktu yang dianggapnya tanpa kepastian kapan harapan itu akan datang.

"Sudahlah, jangan dipikirkan tentang keraguanmu. Ingat kamu harus yakin sama diri kamu sendiri."

Roni terus memberi semangat kepada Hamdan atas keraguannya akan hasil yang ia dapatkan. Puluhan pertanyaan terlontar di benaknya, kapan dan di mana ia akan mendapatkan uang hasil ritual pesugihan itu?

"Jika dibandingkan kesuksesanku dalam memberi tumbal, lebih beruntung kamu dalam ritual penumbalan." Ucapan Roni terus menguatkan Hamdan agar tidak gampang menyerah dengan keputusan yang telah diambilnya secara nekat.

.

Satu bulan telah berlalu, di waktu Subuh Hamdan terbangun dengan perasaan bahagia tiada tara. Ia mencoba membuktikan tentang mimpinya semalam, yang telah didatangi raja jin mengatakan Hamdan harus segera mengambil imbalannya di bawah bantal yang ia tiduri. Dengan hati-hati ia mencoba mengangkat bantalnya, dan memastikan Mae yang masih tertidur lelap. Saat bantal telah terangkat nyaris sempurna, membuat Hamdan terkesiap tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Uang," lirihnya setengah berbisik.

Tanpa pikir panjang ia segera mengemasi tumpukan kertas merah itu, lalu dimasukkannya ke dalam sarung bantal dan buru-buru ia simpan di tas lusuhnya. Menghindari diketahui oleh istrinya, ia pun berniat datang lagi ke rumah Roni setelah beberapa Minggu tak lagi menyambangi rumah tersebut.

Gegas Hamdan pergi meninggalkan secarik surat di bantal tempat ia tidur, pasalnya tidak mungkin membangunkan Mae yang masih tertidur pulas karena ia tidur paling akhir. Di jalan setapak ia bertemu beberapa orang yang akan pergi ke ladang, dalam keadaan cahaya remang-remang tak ada seorang pun yang bertanya kepadanya. Ia berpikir mungkin tak ada yang mengenalnya, disebabkan cahaya yang kurang begitu terang.

.

Dua orang berbadan kekar sedang berdiri di depan pintu utama rumah Roni memakai seragam yang sama, Hamdan berniat menyelonong masuk seperti biasanya, tetapi dihadang oleh kedua penjaga tersebut.

"Saya temannya pemilik rumah ini," ucap Hamdan memberi penjelasan.

"Maaf rumah ini hampir sebulan kosong," jawab salah satunya.

"Apakah pemiliknya sedang pergi?" tanya Hamdan penasaran.

"Rumah ini hanya ditempati oleh pembantu," jawabnya lagi.

"Anda pasti sedang berbohong," tuduh Hamdan tak percaya.

Mereka berdua saling berpandangan.

"Kami serius," ungkapnya dengan sorot mata tajam dari keduanya.

Seketika nyali Hamdan sedikit menciut.

"Lebih baik pergi dari sini dan jangan pernah datang lagi ke mari!" teriaknya memekakkan telinga.

Setelah itu didorongnya tubuh Hamdan nyaris terjatuh, ia tak bisa melakukan perlawanan seorang diri, sedangkan mereka tenaganya cukup kuat. Tak mungkin Hamdan mampu mengalahkannya dengan mudah. Tujuan berikutnya Hamdan akan pergi ke pasar untuk menyewa tempat yang benar-benar aman untuk dirinya selama beberapa minggu ke depan.

Ia termenung di pos dekat parkiran, tak habis pikir dengan kepergian Roni secara tidak masuk akal. Masih teringat jelas tiga minggu lalu ia bertemu dengannya, ia berpikir mustahil rumah tersebut hanya di tempati oleh pembantu. Dan rumah tersebut sudah kosong sejak sebulan lamanya, sungguh sulit dipercaya dengan nalar.

"Ayo, ikut saya masih ada ruko kecil di ujung sana," ajak pengawas pasar Cimanuk.

Hamdan segera beranjak mengikuti lelaki setengah abad itu, dengan lunglai seolah dirinya membawa beban berat di pundaknya. Padahal ia berniat ingin mengucapkan terima kasih kepada temannya itu atas keberhasilan dalam melakukan ritual pesugihan. Setidaknya ia tidak merasa berhutang budi selama hidupnya, tetapi ia malah mendapat kabar kurang menyenangkan.

"Ini tempatnya, silakan dilihat-lihat dulu," ucapnya sembari menyerahkan kunci. Hamdan langsung menerimanya dengan ramah, karena ia sudah mengenalnya sejak bekerja di pasar tersebut.

Dibukanya 𝘳𝘰𝘭𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘰𝘰𝘳 tersebut, lalu ia melihat sekelilingnya ruang ukuran 3x3 meter cukup untuk dirinya bernaung di sana. Ia bisa menyimpan barang-barang berharga dengan aman dan leluasa tidak takut ketahuan oleh istrinya atas ritual pesugihan yang sedang ia lakukan. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di sana, Hamdan segera membayar uang sewa ruko untuk satu bulan. Setelah dirasa aman dan pintu masuk dalam keadaan terkunci, Hamdan segera mengeluarkan isi dari tas lusuh tersebut.

Dihitungnya lembar demi lembar tak ada yang terlewat, ia benar-benar teliti dalam menghitung yang berkaitan dengan keuangan. Hamdan mencoba mencubit pipinya bahkan sampai memukul kepalanya seolah merasa mimpi, rasa penyesalannya kini lenyap begitu saja. Ketika ia sudah mendapatkan imbalan usahanya tak sia-sia untuk terus semangat dan memberi tumbal dalam kurun satu tahun.

.

Ia berdiri di depan rumah bekas kedua orang tuanya, termasuk tempat kelahirannya di tanah itu. Kini hanya tersisa rumah yang kumuh tak terawat, ilalang memenuhi pekarangan, cat tembok yang mulai mengelupas di mana-mana. Pohon mangga di belakang rumah sudah menjulang tinggi, saat terakhir ditinggalkan masih berukuran sepinggang orang dewasa.

"Kamu," ucap seseorang menepuk pundaknya.

Hamdan tersentak, lalu membalikkan badannya ke arah suara tersebut.

"Mang Jajang," ucapnya terbata, antara sedih dan senang bisa bertemu dengan Mang Jajang.

"Sedang apa kamu di sini?" ia bertanya basa-basi.

"Aku hanya kangen suasana ini," jawab Hamdan sedih.

"Sekarang kamu tinggal di mana?"

"Masih di gubuk kumuh itu," jawabnya.

"Wah, kebetulan rumah ini sudah lama kosong. Setahun setelah ditinggal ayahmu," ungkapnya memberi tahu.

Hamdan bergeming, pikirannya menerawang jauh ke masa lalu. Bagaimana tangis kesedihan di sore itu, jika seandainya ia tidak meninggalkan tempat kelahirannya, mungkin rumah tersebut tak akan menjadi seperti sekarang dengan bentuk rumah sedikit terlihat angker.

"Ke mana pemiliknya pergi setelah kepergian ayahku?" Hamdan melemparkan tanya yang cukup serius.

Mang Jajang terlihat menghela napas panjang dengan berat.

"Satu keluarga mereka menjadi gila," jawab Mang Jajang.

"Gila."

Mang Jajang mengangguk.

"Jika kamu mau tinggal di sini lagi, cukup merenovasi. Warga di sini tak ada yang berani memakai jalan lewat rumah ini," terangnya.

Hamdan semringah tiada terkira dengan penuturan dari Mang jajang. Bagaimana tidak kini tempat kelahirannya bisa ia miliki dengan utuh secara gratis.



















PesugihanWhere stories live. Discover now