Bab 18

63 1 1
                                    

Keduanya tertawa lepas, seolah Lilis memiliki jasa besar telah  membuat Hamdan berjuang sejauh ini akibat rasa sakit hatinya menjadi cemoohan ibu mertuanya di tempat umum. Waktu terus bergulir hingga sampai di tahun pertama Hamdan dalam melakukan ritual pesugihan, usaha mebelnya yang kini semakin ramai oleh pengunjung.

Lilis semakin menjadi, ketika tak sengaja mereka bertemu di toko pakaian milik kepala desa. Meski saling mengetahui, seolah menjadi kaku di antara satu sama lainnya. Tak ada pembicaraan barang sepatah kata pun, atau sekadar hanya basa-basi belaka. Setidaknya melepas kerinduan yang ada di pikiran masing-masing, hanya rasa gengsi yang menguasai diri seakan malu untuk mengakui.

Mae buru-buru menarik pergelangan tangan Hamdan untuk segera membayar belanjaannya, seakan-akan ia tidak menginginkan berpapasan secara langsung. Ia merasakan sesak di dada yang seolah menghimpit, kepalanya semakin panas umpama sebuah boom atom yang akan meledak.

.

Hampir semalaman Mae gelisah, mata yang tak bisa diajak kompromi untuk segera terpejam. Pertemuannya bersama sang ibu di toko milik kepala desa, awalnya ia ingin bertanya hanya karena gengsi terlebih perseteruannya diketahui oleh warga Kampung Cimanuk. Bagaimana dirinya menahan malu pada waktu itu, beberapa pandang mata seolah mengintimidasi kesalahan yang ia lakukan.

Hamdan yang melihat kegelisahan istrinya mengusap-usap pundak untuk menenangkan, ia juga merasakan hal yang sama persis seperti sang istri tak bisa tidur. Pertemuannya bersama ibu mertua yang sekuat tenaga ia hindari seolah seperti membuka luka lama untuk dirinya, tetapi di sisi lain ingin menyatukan kembali antara ibu dan anak.

“Ayo, segera tidur tidak baik untuk kesehatan,” ajak Hamdan kepada istrinya.

Mae menggeleng, Hamdan menarik napas dalam-dalam membiarkan sang istri tenang dengan sendirinya. Jika dirinya ada di posisi Mae tentu tidak mudah untuk dilupakan semua peristiwa tersebut, walau sudah terjadi selama bertahun-tahun.

.

Setelah kepergian Hamdan, Mae lupa menutup pintu karena panggilan dari anak sulungnya yang merengek minta diambilkan mainan. Sampai ia anteng ikut dalam permainan tersebut, secara tidak sadar seseorang menyelonong masuk tanpa mengucap salam kepada  pemilik rumah.

Hal tersebut belum Mae sadari, ia masih fokus mengajak bermain anaknya dengan riang gembira. Tanpa sengaja Lilis menjatuhkan pas bunga di ruangan tamu, Mae buru-buru bangkit untuk melihat apa yang telah terjadi di ruang tamu. Keduanya saling bertaut cukup lama, sama-sama merasa kaget.

“Untuk apa Ibu ke sini!” seru Mae seperti tidak suka.

Lilis menyeringai, ternyata sang anak seberani itu terhadap dirinya, setelah sekian lama terpisah dan kini dipertemukan kembali. Itu pun atas keingintahuannya terhadap usaha sang menantu yang dulu ia temui masih dalam keadaan menghawatirkan.

“Sekarang kamu sudah menjadi orang kaya, apa salahnya ibu berkunjung menemuimu, yang telah lama tidak pulang ke rumah,” kata ibunya Mae.

Mae menghela napas sedikit jengkel, seakan lupa pada kerinduannya.

“Bukankah Ibu sudah tak mau lagi mengakui aku anak?”tanya Mae lantang.

“Itu dulu saat kamu miskin, beda lagi dengan sekarang,” ucapnya tanpa dosa.

Mae tak mampu mencegah ibunya yang hampir seperti setrikaan mondar mandir memerhatikan semua ruangan yang tak lepas dari jangkauannya. Membuat Nina ketakutan dengan orang yang tak dikenalnya, selama ini mereka hanya tinggal berempat bahkan jarang bertemu dengan orang sekitar.

Lilis mencoba mendekati Nina yang sedang ketakutan di balik tubuh Mae, ada perasaan ingin mengelus lembut cucunya itu, tetapi ia urungkan terlebih sang cucu menjerit-jerit. Mae yang melihat hal itu, terus memberi pelukan menenangkan. Nina lari menuju kamar sang adik seolah mencari tempat aman dari orang asing tersebut.

“Apa masih pantas aku menyebutnya Ibu,” ungkapnya penuh penekanan.

“Kamu pikir keluar dari batu!” serunya ketus.

Sejenak Mae bergeming, menatap tajam ke arah sang Ibu yang tak pernah berubah sejak kepergiannya. Keangkuhan yang masih tinggi seolah tidak ingin berhenti merendahkan orang lain termasuk dirinya.

“Kapan Ibu akan berubah?” Mae melemparkan pertanyaan yang cukup menohok.

“Setelah misi Ibu tercapai, kamu harus ingat itu Mae.”

HiMae yang mendengarnya memutar mata, lalu menggigit bibir bawahnya. Ambisi ibunya tetap ingin menguasai harta, hal tersebut yang tidak Mae sukai dari sang ibu sejak dirinya duduk di bangku SMP.

“Lebih baik Ibu pulang, tolong! Jangan membuat keributan seperti yang sudah-sudah,” terangnya memohon.

“Kamu mengusir Ibu!” tatapnya nyalang.

“Kecuali Ibu mau berubah, berhenti untuk mengejar ambisi ingin menguasai semua harta yang sekarang suamiku miliki.”

“Kamu jangan bodoh Mae, semua harta yang diusahakan Hamdan adalah milikmu juga. Semua ini ada campur tanganku, coba jika aku tidak mempermalukannya dua tahun lalu kamu tidak akan memiliki kekayaan ini,” tunjuknya dengan napas yang memburu.

Setelah itu Lilis segera meninggalkan kediaman Mae, rasa jengkel mendominasi pikirannya ia merencanakan sesuatu untuk menyebarkan gosip di Kampung Cimanuk. Sebagai gebrakan agar Mae mau berbicara kepada suaminya untuk melaksanakan perjanjian memberi gaji bulanan saat  lima tahun lalu. Tentu saja Lilis tidak pernah melupakan hal tersebut, terlebih ia juga mengetahui bahwa Hamdan memiliki mebel yang cukup ramai dikunjungi pelanggan. Otomatis menjadi kesempatan bagi Lilis untuk meminta janji tersebut kepada sang menantu.

.

“Serius Ibu datang ke rumah Mae?” tanya suaminya.

“Kita harus membuat gosip untuk warga Kampung Cimanuk, bagaimanapun caranya harus berhasil. Bilang pada warga bahwa Hamdan melakukan pesugihan, untuk mengimpori warga bila perlu mereka usir sekalian,” ucapnya jumawa.

“Terserah Ibu, ayah tidak ikutan.”

“Bukannya dulu Ayah berambisi ingin menguasai semua harta Sukiman, sekarang kesempatan karena Hamdan menjadi  sukses ketika dirinya pindah ke kampung Cimanuk,” imbuhnya mempengaruhi.

Kardi mengembuskan napas perlahan, merasa tidak tega kepada Mae jika dirinya harus ikut serta menuruti kemauan sang istri. Terlebih Mae sudah cukup menderita  disebabkan atas ulah Lilis yang tiada habis-habisnya demi memperoleh harta kekayaan.

Akan tetapi, Kardi juga lemah yang tunduk dengan apa yang dilakukan istrinya. Hanya hati merasa iba, tetapi tanpa bisa membawa sang istri ke jalan yang lurus. Lagi-lagi Kardi merasa sudah gagal menjadi seorang suami terlebih fatal menjadi Ayah yang baik  untuk putrinya. Ia seolah boneka yang bisa dipermainkan sesuka hati untuk  mengikuti perintah dari sang tuan yaitu istrinya sendiri.

Masalah Kardi mempercayakan semua hartanya atas nama sang istri, menjadi ketakutan terbesar jika ia tidak menuruti keinginan Lilis. Kecuali ia akan terancam diusir dari rumah yang  ditempati sekarang, seandainya semua itu terjadi ke mana ia akan pergi. Mengharap iba dari sang anak, itu pun tidak mungkin belum tentu Mae mau menerimanya dengan lapang dada. Membuat Kardi bergidik ngeri dengan segala risikonya jika semua itu terjadi, karena Lilis adalah lawan yang unggul baginya.




PesugihanWhere stories live. Discover now