Bab 10

86 1 0
                                    

"Apakah penting meminta izin darinya?" tanya Hamdan.

"Biar istrimu tidak khawatir," jawab Roni sembari menepuk pundak Hamdan.

Perkataan Roni memang benar adanya.

"Kamu cukup bilang, akan ikut denganku keluar kota. Sebelum pergi ke Gunung Kawi kamu harus mempersiapkan diri terlebih dahulu."

"Apa?"

"Buang semua pikiran ketakutanmu, aku sangat tahu bahwa kamu penakut dalam hal yang berkaitan dengan alam gaib," ledek Roni.

Wajah Hamdan berubah masam.

"Yang paling utama tekatmu seratus persen harus sudah bulat, nggak ada acara setengah-setengah."

Hamdan mengangguk tanda mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Roni.

"Jelaskan semuanya kepadaku," pinta Hamdan serius.

"Bukankah sudah aku katakan sebelumnya, kamu cukup menemui kuncen Gunung Kawi. Ikuti ritualnya sesuai perintah sampai berhasil," tegas Roni.

"Apakah kamu akan mengantarku ke sana?"

Roni menggeleng.

"Bukan aku, tetapi asisten pribadiku yang akan mengantar kamu ke sana."

"Aku sudah tidak sabar untuk menjadi orang kaya raya, tanpa harus capai," ucap Hamdan diiringi senyuman bahagia.

"Sabar, lakukan dulu prosesnya," ucap Roni mengingatkan.

"Kita dipertemukan saat waktu yang tepat, bulan Suro tinggal beberapa hari lagi."

Roni mengangguk merespons ucapan Hamdan.

"Ok, hari ini aku pulang meminta izin kepada Mae. Besok pagi aku akan datang lagi ke sini."

Setelah bercengkrama dengan temannya, Hamdan segera berlalu meninggalkan rumah Roni dalam keadaan hati yang berbunga-bunga seolah semangatnya naik dua kali lipat. Seperti mendapat kekuatan super untuk mewujudkan mimpinya menjadi kaya raya, setidaknya ia bisa mengembalikan kesenangannya akan harta benda tersebut.

Rentetan kecerewetan Mae mungkin takkan pernah terdengar lagi di telinganya, begitu juga dengan ibu mertua berharap akan berhenti menghina keluarga kecilnya. Harapan terbesar Hamdan ia juga menginginkan kedua orang tuanya mau menemuinya lagi. Pernah meminta alamat ibu dan ayahnya kepada Mang Jajang, dia hanya mengatakan tidak tahu.

.

"Bagaimana?" tanya Mae.

"Belum pasti, hanya saja Roni bersedia mencarikan pekerjaan untukku. Sekarang aku harus siap-siap karena besok pagi harus segera berangkat."

"Wah, serius." terlihat binar bahagia terpancar di wajah ayunya.

"Itu pun belum pasti mendapatkan pekerjaan dengan cepat, mungkin butuh beberapa Minggu untuk mencari kerja di kota," ucapnya memberi penjelasan.

"Ke kota, kenapa harus jauh?" tanyanya seolah tidak terima dengan penjelasan dari Hamdan.

"Itu semua demi perbaikan ekonomi kita, bukankah kamu selalu mengeluh ketika aku membawa uang sedikit."

Mae menarik napas berat, air matanya meluncur begitu saja tanpa mampu dicegah. Hamdan yang menyaksikan hal tersebut segera merengkuh tubuh Mae ke dalam pelukannya. Membiarkan Mae menangis sampai berhenti dengan sendirinya, kedua balitanya hanya memerhatikan tak mengerti dengan apa yang terjadi.

"Setelah urusanku selesai aku akan segera kembali," ucapnya sembari mengurai pelukan.

"Apakah aku dan anak-anak boleh ikut?" tanya Mae sambil menatap wajah suaminya.

Hamdan menggeleng lemah, tidak menjawab pertanyaan dari Mae.

"Aku akan terima jika kamu harus kerja di sana," ucapnnya lirih nyaris tak terdengar.

Mae ikut mengemas pakaian Hamdan yang sudah dilipat rapi, itu pun sudah cukup lama tersimpan di lemari plastik saat pertama kali datang di gubuk tersebut. Menit berikutnya Hamdan menyodorkan tiga lembar uang merah di tangan Mae sisa pemberian dari Roni, tetapi Mae menolaknya dengan menggeleng.

"Kenapa tidak mau menerima uang ini?"

"Mungkin kamu lebih membutuhkan buat bekal selama di perjalanan."

"Kamu lebih membutuhkan, jika aku butuh uang tinggal pinjam kepada Roni."

Akhirnya Mae mau menerimanya dengan perasaan mengharu biru, meski terkubang dalam kekurangan Hamdan adalah kepala rumah tangga yang bertanggungjawab dalam memberi nafkah. Tidak memikirkan dirinya sendiri, di mata istrinya dia suami yang penyayang dan lemah lembut. Terkadang sering berselisih paham, tetapi bagi mereka itu hanya bumbu dalam biduk rumah tangganya.

Waktu telah berganti menjadi malam yang hening, Mae mematut dirinya di depan cermin. Ia melihat wajahnya yangi tak terawat sedikit kusam, lingkaran hitam di bawah matanya begitu kentara bahwa ia terkadang kurang tidur. Ketika kedua anaknya sakit secara bersamaan, Mae mertawakan kehidupan yang ia pikir paling menyedihkan.

Hamdan pura-pura tertidur di samping kanan kedua anaknya, ia pun memerhatikan wajah Mae yang tak secantik dulu kala di pandang. Akan tetapi, Hamdan menyadari itu semua karena ketidakmamouannya dalam memberi uang untuk membawa istrinya ke salon, jangankan uang untuk pergi ke salon uang belanja bulanan saja masih kurang. Dalam hati ia berjanji akan menyulap istrinya menjadi cantik jika ia sudah banyak uang.

Ketika Mae menghampiri ke arahnya Hamdan buru-buru memejamkan mata, dikira Hamdan Mae mengetahuinya padahal hanya menyelimuti oleh kain jarik. Hamdan pun tersenyum hingga akhirnya ia tak ingat lagi apa-apa, Mae segera ikut tertidur di samping kiri anak bayinya.

Hingga mereka terbangun secara bersamaan dikala Subuh menjelang, Mae sudah selesai memasak lebih awal karena Hamdan akan segera berangkat dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Hamdan memeluk kedua anaknya terkadang menghujani dengan ciuman di pipi kedua buah hatinya, mereka tertawa geli secara bersamaan.

"Jangan nakal ya, harus nurut sama Ibu."

"Emang Ayah mau pergi ke mana?" tanya si Sulung yang berumur empat tahun dengan wajah polosnya.

Hamdan tersenyum sembari mengacak rambut anaknya, tanpa ia menjelaskan pun buah hatinya pasti akan mengerti ia bermonolog sendiri. Mae menatap ke arahnya dengan mata sendu, seolah ia ikut bersedih atas kepergiannya yang ia pun tak tahu akan berapa di sana. Hamdan segera meninggalkan gubuk dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju jalan utama tanpa menoleh ke belakang.

Sampai di jalan utama tidak harus menunggu lama sebuah angkot menghampiri, Hamdan segera masuk mengambil tempat duduk didekat pintu agar mudah untuk turun. Ia pun larut dalam lamunannya ada perasaan aneh yang berdesir dalam dada, entah perasaan apa yang sedang ia rasakan. Getaran 𝘩𝘢𝘯𝘥𝘱𝘩𝘰𝘯𝘦 dalam saku celananya bergetar, ia langsung merogoh saku tersebut untuk mengeluarkan telepon genggamnya.

Satu SMS masuk dari Roni, buru-buru ia membaca pesan tersebut.

𝗥𝗼𝗻𝗶 : 𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘥𝘪 𝘱𝘢𝘴𝘢𝘳 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪, 𝘵𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘶𝘮𝘪𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘮𝘱𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶, 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘯𝘥𝘢𝘳𝘢𝘪 𝘮𝘰𝘣𝘪𝘭 𝘑𝘦𝘦𝘱.

"Bang aku berhenti di pasar," ucap Hamdan kepada sopir angkot tersebut.

"Siap," jawabnya singkat.

Akhirnya ia sudah sampai di pasar yang dimaksud oleh Roni, ia segera mencari tempat duduk untuk menunggu orang kepercayaan Roni. Tidak menunggu lama seorang lelaki paruh baya menghampiri, lelaki berperawakan tinggi, berkulit eksotis, serta berkumis. Ciri-ciri yang di sebutkan oleh temannya.

"Ayo segera berangkat," ucapnya.

Hamdan mengikutinya dari belakang tanpa mengatakan apa pun kepada lelaki yang terbilang masih gagah itu, meski usianya hampir setengah abad.

PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang