Bab 21

56 2 1
                                    

"Tenangkan dulu pikiranmu, Mae."

Mae mendengar ucapan Hamdan malah semakin kacau, karena suaminya tidak menanggapi pertanyaan dengan cepat. Mae keluar dari kamar beranjak ke ruang tengah yang terdapat beberapa pas bunga. Segera diraihnya lalu menit berikutnya dilemparkan secara membabi-buta atas kemarahannya yang tidak terkontrol.

Hamdan melihat hal tersebut ia buru-buru merengkuh tubuh Mae ke dalam pelukannya meski sang istri mencoba berontak, hingga tenaganya melemah. Tak ada lagi upaya dirinya untuk melepaskan dari dekapan suaminya. Setelah suasana cukup tenang, Hamdan menarik napas dalam-dalam setelah mengurai pelukannya.

"Kamu juga tahu, semua kekayaan ini adalah hasil dari bekerja sama dengan Roni, apa kamu lupa?" tanya Hamdan santai.

"Satu kampung Cimanuk selalu menyindirku, bahwa kamu melakukan ritual pesugihan," ucap Mae dengan sorot mata tajam.

"Jika aku melakukan ritual pesugihan buktinya apa? Apa kamu tidak melihat setiap hari aku bekerja di toko mebel, bahkan aku tidak mengenal lelah," ucapnya dengan lembut.

Hamdan merenung sejenak.

"Katakan padaku siapa yang selalu menuduh, jika aku melakukan ritual pesugihan?"

"Gengnya Bu RT, awalnya aku tidak peduli, tetapi semakin hari malah semakin menjadi. Terlebih Mpok Yem juga sempat bertanya perihal tersebut."

"Terus kamu jawab apa?"

Mae menggeleng dengan mata yang berkaca-kaca.

"Bukankah ini adalah kehidupan yang kamu mau, setelah semuanya kita miliki kenapa kamu tidak bersyukur?" jelasnya dengan berapi-api.

Seketika hening, mereka diam dengan pikirannya masing-masing. Karena kedua anaknya terlihat berpelukan dan menangis tersedu-sedu, Mae mengurut dadanya yang kian sesak. Kecerobohannya tidak bisa mengendalikan amarah, ruangan tengah berantakan dengan serpihan beling dari pas bunga yang ia lemparkan secara brutal.

Mae menghampiri kedua anaknya lalu mengusap kepala keduanya, meski mereka menatap seperti ketakutan.

"Maafkan Ibu, Nak," ucapnya setengah berbisik.

Hamdan menyugar rambut frustasi, tetapi dengan begitu ia berpikir mencari cara agar semua rahasianya tidak terbongkar. Meskipun ia bersikap tenang, kecurigaan dari tetangganya yang memang cukup kuat membuatnya sedikit terkejut.

.

"Apa ibu yang menyebar gosip?" tanya Kardi kepada Lilis.

"Gosip," jawabnya disertai gelak.

Meskipun dalam hatinya ia mengakui bahwa gosip miring tersebut berawal dari dirinya yang ia sebar kepada Bu RT kampung Cimanuk tempat kediaman anaknya. Hingga gosip tersebut cepat sekali menyebar sampai satu Desa Karang Anyar. Nasi sudah menjadi bubur apa mau dikata, dengan mudahnya tersebar dari satu mulut ke mulut lain.

Lilis tidak peduli dengan semua itu, sebelum permintaannya dikabulkan oleh Mae. Maka dia sendiri yang akan pasang badan memberikan klarifikasi mengenai gosip miring tersebut, hanya karena keegoisannya dan ambisi akan harta milik Hamdan.

"Aku tahu perangai Ibu seperti apa? Terlebih terlalu berambisi dengan harta yang dimiliki Hamdan sekarang," ucap Kardi.

"Alah, Abang juga sama. Iya, kan!" serunya tak mau disalahkan.

"Kasihan cucu-cucu kita, Bu. Apa Ibu tidak tersentuh untuk sekadar mengendong ataupun memeluknya, andai aku tidak bersembunyi sudah pasti akan memeluknya."

"Jangankan untuk memeluknya, sekadar untuk menyentuhnya aku tidak Sudi," ketusnya.

"Istiqfar, Bu. Mau sampai kapan Ibu seperti ini. Apa tidak malu dengan umur?" Kardi mengingatkan Lilis.

"Sampai Hamdan memenuhi janjinya," jawabnya.

Kardi menggeleng atas ambisi istrinya yang keukeuh dengan pendirian kerasnya untuk menguasai harta.

"Semuanya sudah berlalu Bu," ucap Kardi.

"Bukan urusanmu," ketusnya.

Kardi hanya menarik napas panjang, sebagai seorang ayah yang dijadikan cinta pertama oleh anak perempuannya ia juga menyadari atas keegoisan telah membiarkan sang anak menderita. Karena waktu itu Kardi benar-benar ketakutan atas ancaman dari istrinya jika ia berpihak kepada Mae. Lilis mengancam akan mengusirnya dari rumah tanpa sepeser pun harta boleh dibawa meski hasil jerih payahnya.

Di saat Kardi merenung sendirian seolah-olah keberaniannya muncul, beda ketika dirinya saat bersama Lilis seketika nyalinya menciut. Keberaniannya pun seakan hilang terkikis oleh ancaman, anehnya Kardi juga terkadang memberi nasihat kepada sang istri. Ia juga tak mengerti kenapa dirinya seperti itu, seolah ada sekat yang menghalangi untuk memberi pertolongan kepada Mae.

"Mau ke mana?" tanya Lilis saat Kardi mulai naik ke atas motornya.

Kardi tidak menjawab pertanyaan Lilis, ia berlalu meninggalkan rumah untuk menemui Mae. Dia akan mencoba berbicara secara langsung, meski rasa malu itu masih terasa ada di pikiran, tetapi rasa rindunya yang kian membuncah tak mampu ia tahan. Terbayang wajah kedua sang cucu dengan wajah polos tanpa dosa itu kian menghantui, Kardi sudah sampai di halaman rumah minimalis milik Hamdan dengan mata yang berkaca-kaca.

Akan tetapi, keberaniannya ia tahan. Ingatan lima tahun silam seolah terus berputar di pelupuk mata juga bayangan demi bayangan yang jelas masih tersimpan di ingatan, bagaimana mungkin Mae masih mau mengakuinya sebagai seorang ayah pikirnya. Tanpa sadar Mae membuka pintu utama, Kardi buru-buru mengusap airmatanya dan berlalu pergi meninggalkan rumah tersebut.

.

Mae yang mengetahui hal tersebut malah dibuat tercengang atas kedatangan sang ayah ke rumahnya, ia pun bertanya-tanya kenapa ayahnya pergi begitu saja? Tanpa mampu menahannya untuk sekadar memanggil pun seolah tidak mampu ia lakukan. Ada rasa aneh di dadanya antara benci dan rindu menjadi satu gumpalan yang tak dapat dipisahkan. Gengsi yang mendominasi menjadi canggung, 𝑐𝑒𝑚𝑖𝑠𝑡𝑟𝑦 di antara keduanya mungkin saja sudah hilang.

"Tadi aku melihat ayah Kardi," ucap Mae.

"Kamu yakin itu ayah."

"Aku yakin sekali, hanya saja ia buru-buru pergi ketika pintu utama terbuka," jelasnya.

"Bagaimana jika kita temui mereka?" usul Hamdan.

Mae menggeleng lemah.

"Semua ini salahku, yang seharusnya mereka benci adalah aku bukan kamu," ucap Hamdan sedih.

"Ibu mau berbaikan dengan kita, asalkan kamu membagi setengah harta yang kamu miliki, sebagai janji lima tahun lalu," lirihnya.

Hamdan sejenak merenung, bagi dirinya mudah saja memberi itu semua. Hanya saja ia ketakutan mertuanya diganggu oleh makhluk halus, meski rasa sakit hatinya ia tahan berpura-pura sudah memaafkannya. Hati yang paling dalam tak bisa ia bohongi begitu saja, mulut bisa mengatakan hal tersebut hatinya menolak.

"Ibu akan memberi klarifikasi atas gosip miring yang sedang menimpa kita di Desa Karang Anyar," ucapnya sembari menatap mata elang milik Hamdan.

"Jadi tuduhan itu sudah menyebar ke satu desa," ucap Hamdan membeliak.

Mae mengangguk, alam sadarnya mulai menerawang jauh. Berbagai keresahan mulai menguasai diri Hamdan. Pikiran yang berkecamuk akan hal-hal yang tidak diinginkannya, terlintas di kepalanya bagaimana jika warga kampung Cimanuk melakukan aksi penggeledahan di rumah yang ia tempati.

Menjelang malam, Hamdan yang baru saja memejamkan mata. Ia mendengar suara ketukan pintu yang begitu keras dan keriuhan suara gerombolan orang dari arah halaman rumahnya. Hamdan perlahan bangkit dan menajamkan pendengarannya.

"Hamdan, keluar!"
















PesugihanWhere stories live. Discover now