Bab 11

80 1 3
                                    

Hamdan segera naik ke mobil Jeep tersebut larut dalam pikirannya sendiri, begitu pun dengan sang sopir yang  fokus menyetir.  Bayangan memiliki harta yang melimpah turut memainkan otak Hamdan seakan dadanya terus menggebu, ia pun tidak sabar membius mulut pedas ibu mertuanya yang kerap memojokkannya di tempat umum.

Jika ritual pesugihannnya berjalan dengan lancar tanpa mengalami hambatan yang berat menurut pemikirannya. Yang dia ingat saran dari Roni cukup melakukan tapa Brata selama tiga malam di bawah pohon dewandaru, menunggu hingga daunnya terjatuh. Sebagai tanda permohonannya disetujui oleh jin penunggu pohon tersebut.

Ketika waktu siang menghampiri, cacing dalam perut Hamdan meminta untuk segera diisi, lelaki setengah abad itu segera menghentikan mobil di sebuah warung makan. Dia pun sama merasakan perut yang lapar, ia bergegas  turun lebih dulu dan melambaikan tangan kepada Hamdan untuk segera mengikutinya masuk ke warteg tersebut. Tidak harus menunggu pelayan warteg untuk memesan makanan yang diinginkan, di warteg tersebut boleh mengambil makanan sendiri layaknya seperti hidangan prasmanan dihajatan.

Hamdan bingung untuk memilih menu yang cukup banyak, ia hanya menatap satu per satu wadah yang penuh oleh masakan tersebut. Meski perutnya sudah mulai berbunyi tidak karuan, terpikir olehnya takut mahal dan tidak bisa membayarnya. Sedangkan ia hanya membawa uang  hanya untuk ongkos angkot, tetapi tidak membawa uang untuk bekal selama melakukan ritual pesugihan. Yang tadinya ingin meminjam uang kepada temannya, rencana itu buyar ketika Roni menyuruhnya menunggu di pasar.

“Ambil saja semuanya jika kamu mau,” ucap sopir.

Hamdan menggeleng.

“Semua bekal untukmu sudah dipersiapkan oleh majikan saya,” imbuhnya menjelaskan kepada Hamdan.

Seketika wajah Hamdan berubah, lengkungan senyumnya memperlihatkan binar bahagia. Kerisauannya kini sudah hilang saat sang sopir memberitahu, saat Dewi Fortuna seakan-akan berpihak kepadanya.

Setelah selesai mengambil berbagai masakan Hamdan buru-buru mengambil duduk lesehan di samping sang sopir, dalam waktu singkat piring yang penuh tadi sudah bersih tanpa ada sisa. Tanpa sadar orang-orang yang sedang ikut makan di warteg tersebut menatap aneh ke arah Hamdan tanpa Hamdan sadari. Sang sopir yang sadar akan hal itu buru-buru membayar dan segera meninggalkan tempat tersebut dengan ekspresi wajah dingin.

“Bang, kira-kira masih lama tidak?” tanya Hamdan tidak sabar.

“Waktunya tidak bisa dipastikan,” jawab Warjo.

Hamdan menarik napas berat, seolah-olah harapannya untuk bertanya lebih jauh ia urungkan, Hamdan yang memiliki sipat gampang akrab jika bertemu dengan siapa pun kini hanya mampu menahannya dalam hati. Menjelang Asar Hamdan merasakan kantuk berat tanpa bisa dicegah, terlebih ia pun merasa kelelahan. Warjo menyunggingkan senyum yang tak dapat diartikan, lelaki itu memang memiliki sipat dingin terlebih ia hanya bicara seperlunya.

Tidak lama mobil Jeep itu memasuki area hutan, Warjo menarik tancap gas lebih kuat karena  Gunung Kawi dibuka dari pukul tujuh pagi sampai pukul empat sore itulah jadwal untuk menemui kuncen yang bernama Mbah Marijan. Kalau pun terlambat akan disuruh menunggu sampai besok pagi. Mbah Marijan tidak bisa menerima tamu lewat dari jadwal yang ditentukan.

Untungnya jalan menuju Gunung Kawi sudah diperbaiki, membuat Warjo leluasa dalam melakukan aksi ngebutnya karena memburu waktu agar tidak terlambat. Sampai di pos keamanan ia segera memarkirkan mobilnya di tempat khusus parkir, untungnya Hamdan sudah bangun tanpa perlu Warjo membangunkannya.

“Ayo, segera turun waktunya tinggal sebentar lagi,” ucap Warjo setengah berlari menaiki anak tangga yang terbuat dari ukiran batu.

Hamdan pun ikut berlari meski kakinya merasa lemas, ia pun tidak ingin menyerah dan mengecewakan Warjo. Terutama ada Mae dan kedua anaknya yang menunggu kepulangannya dengan selamat tanpa kurang apa pun.

.

“Siapa yang akan melakukan ritual pesugihan?” tanya Mbah Marijan kepada Warjo.

“Anak muda ini,” jawab Warjo santai.

“Siapa namamu dan apa masalahmu?” tanya Mbah Marijan kepada Hamdan, yang sejak tadi menunduk.

“Hamdan, saya dihina oleh ibu mertua dan istri saya selalu mengeluh setiap hari,” jawab Hamdan masih menunduk dengan tubuhnya yang bergetar.

“Apa yang kamu inginkan?”

“Saya ingin menjadi kaya,” jawab Hamdan terbata.

“Apakah kamu sudah siap dengan segala risikonya mengikuti ritual pesugihan?” tanya Mbah Marijan seakan-akan meyakinkan Hamdan sepenuhnya.

Hamdan sejenak merenung dengan pertanyaan dari Mbah Marijan.

“Jika ingin mengikuti ritual pesugihan, jangan setengah hati. Harus benar-benar yakin seratus persen tanpa ada paksaan dari pihak mana pun,” tegasnya.

“Saya bersedia menanggung semua risikonya, Mbah.”

“Baiklah kalau kamu sudah yakin, mari ikut saya ke belakang,” ucap Mbah Marijan.

Mbah Marijan membawa Hamdan ke tempat pemandian.

“Bersihkan dulu badanmu dengan air yang ditambahi bunga tujuh rupa,” ucapnya tegas.

Hamdan pun mengikuti perintah dari Mbah Marijan ia segera mandi dengan air yang berisi bunga tujuh rupa. Satu gayung membasahi tubuhnya seketika ia bergidik ngeri, ketika bayangan hitam tersebut seolah sedang  mengawasinya. Anehnya Hamdan seakan tidak ingin beranjak dari tempat pemandian tersebut.

“Hamdan ... Hamdan ...!” teriak Mbah Samijan.

Hamdan buru-buru mengambil handuk, dan segera keluar dari pemandian.

“Apa yang sedang kamu lakukan, lama sekali,” sembur Mbah Samijan.

Hamdan segera berganti pakaian di kamar khusus tamu.

“Malam ini kamu harus melakukan tapa brata selama tiga malam, semua sesajen sudah disiapkan jadi kamu cukup duduk di atas batu hitam yang ada di bawah pohon dewandaru,” ucap Mbah Marijan saat Hamdan sudah kembali ke ruang tengah. Ia hanya manggut-manggut pertanda paham dengan apa yang dikatakan oleh Mbah Marijan.

Mbah Marijan memerintahkan Hamdan harus berjalan dari sana menuju punva Gunung Kawi, kebetulan sedang bulan purnama. Yang menurutnsang kuncen adalah malam yang bagus untuk melakukan tapa Brata selama tiga malam. Ia menegaskan kepada Hamdan harus kuat dengan bisikan-bisikan aneh supaya tidak tergoda dengan kejadian apapun yang mengganggunya.

Demi ambisinya menjadi kaya raya Hamdan bertekad dalam hatinya sekuat tenaga bahwa tapa brata selama tiga malam harus berhasil, terlebih ia harus menahan lapar tidak untuk makan selama ritual semedinya berlangsung. Ia terus memberi semangat untuk dirinya, agar semua tujuannya sukses tanpa kurang sesuatu apapun.

Hamdan terus berjalan menyusuri jalan yang menanjak kadang  melewati turunan yang penuh dengan bebatuan tanpa menggunakan alas kaki. Penerangan yang minim dari senter milik Mbah Marijan yang sedikit cahayanya hampir setengah terang, tidak menyurutkan semangat Hamdan untuk tetap berjalan walau sendirian.

Setidaknya ia memiliki nyali yang cukup berani melawan rasa takut menghadapi berbagai tantangan yang akan ia dapatkan nantinya ketika melakukan tapa. Bukanlah hal mudah untuk mengalahkan rasa ketakutannya yang telah bersarang dalam diri Hamdan sejak usia kanak-kanak.

Angin berembus kencang, suara burung hantu mulai terdengar bersahutan, daun kering tertiup angin beterbangan. Peluh membasahi pelipis tak ubahnya seperti mandi keringat di malam yang dingin yang begitu mencekam bagi Hamdan.












PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang