Namun bagaimana bocah polos ini bisa mengada-ngada? Sayang tidak terlihat begitu dari sorot mata memandang semesta.

"Well, semua orang bakal ngerasain fase di mana mereka capek sama jalan hidup, Nachandra." Suara lembutnya mengalihkan seisi dunia sang lelaki. "Gimana pun juga waktu terus berjalan ke depan kan? Nggak ada keajaiban dunia manapun yang bisa membalikkan waktu." Naraya merespon pertanyaan awal.

Terlalu jenius. Jika bisa Nachandra ingin bertepuk tangan mengapresiasi. Mengapa gadis yang memiliki kemampuan luar biasa dalam mendengar dan merespon kalimat random seorang sepertinya bisa merasakan kekosongan sepanjang hidupnya.

"Pernah baca juga. Gagasan dari Profesor Carlo Rovelli fisikawan asal Italia, menyatakan kalau waktu itu cuman ilusi," lanjutnya. Senyum polosnya mengembang. Naraya mengangguk pernah membaca sekilas.

"Lo percaya?"

"Mau ada apa nggak ada. Tetap aja rasanya kayak jalan ke depan, nggak perlu ngulik-ngulik juga cuma di atas yang tau." Bukan urusannya. Sudah cukup pusing mikir besok harus ambil langkah bagaimana.

"Gua penasaran sama semua teori tentang alam semesta." Monolog Naraya, mata sayunya perlahan-lahan terpejam diamati sangat intens.

"Ra, ada kata-kata kayak gini nih, 'lebih baik nyesel karena gagal sekali, daripada nyesel karena nggak pernah nyoba sama sekali'. Intinya gitu deh gua lupa gimana," desahnya gugup sembari merogoh permen di dalam toples.

Keduanya duduk pada sebuah bangku kayu sederhana di samping Jonathan dan kawan-kawan. Ternyata tidak hanya dirinya namun teman-temannya itu juga sedang mengagumi kecantikan Naraya dari kejauhan.

"Haha, jadi menurut lo hubungan kita ini yang pantes diperjuangin?" tanyanya mulai peka.

Iya, Nara.

"Apapun itu. Makanya gua nggak mau sia-siain kesempatan, Nar. Waktu itu terlalu berharga buat disia-siakan. Berjuang selagi ada, bertahan selagi bisa." Memasukan permen ke mulutnya belum sadar seseorang sedang menahan gemas ingin mencubit pipinya sekarang juga.

"Chan, jujur lo terlalu gemes buat belagak sok bijak," akunya tanpa memedulikan rona merah di pipi Nachandra.

"Haha, oke, lo juga punya hati yang terlalu cantik buat selalu ngerasa sendiri, dan nggak pantes cewek baik kayak lo dijahatin sama mereka." Penglihatannya dan telinga merekam jelas setiap patah kata keluar dari mulutnya terkesan terlalu berarti.

"Kalau katanya Tulus, kau terlalu berharga untuk luka."

"Tau kok semua ciptaan Tuhan nggak ada yang gagal," meralat perkataannya lalu menyunggingkan senyum manisnya serta deretan gigi putih rapi.

"Wah, wah dunia serasa milik berdua yeee yang lainnya mah ngekostt!" cerosos Selatan yang berada di samping Jonathan hanya mengangguk meng-iyakan.

"Duh, ngekost nggak tuh," komentar Jingga menyesap minumannya.

"Ngomong-ngomong soal ngekost ... kayaknya... ntar gue bakal kuliah di luar kota deh," kata Raden mulai memelas ia memukul pelan kaki kawan sepergibahannya alias, Jonathan.

"Ehh anjir siapa temen gibah gue babi!" Dengan tidak sopannya anak itu menyiram minuman ke depan Raden hingga yang disiram langsung melotot jelas tak terima.

"GIBAH SONO SAMA SAPI BAPAK LO!" ledeknya berdiri hendak melancarkan aksi balas dendam.

"Gue rasa sapi Bapak lo juga mah ogah nemenin gibah, Jon," celetuk Nachandra menggoda Jonathan.

Naraya sadar kini hanya tersisa dirinya seorang diri sebagai perempuan di antara para anak laki-laki tengah bertingkah aneh baginya, meskipun demikian namun berhasil menggelitik perut seketika menyaksikan perdebatan tak penting ini.

When The Sun Goes Down [𝘤𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Where stories live. Discover now