11. Dilema

149 54 50
                                    

Naraya terdiam sesaat mengerjapkan mata berkali-kali. Ini apakah otaknya yang bermasalah atau memang Nachandranya saja yang asal berbicara? Diam-diam Farhan tengah menutup mulut menahan diri agar tak sampai memekik histeris melihat keuwuan dua anak remaja ini.

"Kita turun di sana ya? Om belum salat Asar," ucapnya guna memecahkan keheningan kemudian bersiap memarkirkan mobil di tepi jalan.

"Oh, boleh, Om. Naraya juga belum tuh."

"Mau ikut?" tawar Farhan. Sementara Nachandra hanya diam tak mau ikut campur, tapi sungguh Farhan ingin tau kenapa justru wajah bocah ini jadi terlihat begitu menyedihkan.

"Mau Om, Naya bawa mukenah juga kok," katanya segera mengeluarkan mukenah yang dimaksud dari dalam tas, tanpa sadar diperhatikan begitu detail oleh seseorang.

"Bagus, bagus! Kamu diem di sini ya Chan?"

"Kenapa?" tanya Nachandra polos.

Hening, sementara yang bertanya masih setia menunggu jawaban dengan ekspresi terlalu polos untuk ukuran seorang anak SMA.

"Pake nanya lagi, kan kamu nonmus gimana sih!" geram pria itu menaikkan nada bicaranya gemas.

"Nonmuslim?" tanya Naraya penasaran.

"Iya, Nay," balas Farhan tersenyum kaku.

Sebelum akhirnya keluar dari mobil menuju tempat sembahyang, pergerakannya terhenti menatap arloji sambil menunggu keponakan perempuannya keluar.

"Lo bawa mukenah?" tanya Chandra nyengir melepas kecanggungan.

"Iya, ke sekolah gue bawa terus."

"Ohh, buat salat Zuhur ya?" Naraya mengangguk pelan sebagai jawaban. Tak ingin berlama-lamaan ia segera turun pergi meninggalkan Nachandra sendirian.

Jika begini ketika bocah petakilan ini ditinggal sendiri justru akan makin banyak bertingkah alias tak mau diam. Ia menyenderkan tubuhnya ke samping sampai tak sadar tangannya menekan sesuatu, alhasil membuatnya terdorong ke depan saat pintu mobil itu terbuka sendiri.

Dengan setengah kesadarannya, hendak melihat ke sekeliling, dan benar saja. Orang-orang yang sedang berjalan menuju tempat ibadah mereka langsung melirik ke arahnya, ada yang tertawa, menggelengkan kepala, ada juga yang berbisik-bisik heran.

"Eh-eh, jatoh.. Hai Bu, Pak," sapanya sok akrab pada sepasang suami-istri yang tengah berjalan beriringan di depannya, sebenarnya ini hanya sekadar pengalihan isu demi menghindari rasa malu bocah ini saja.

"Loh, si Chandra toh ini?" tanya wanita itu tiba-tiba saat wajahnya bisa dilihat dengan jelas.

"Iya, Bu. Saya Nachandra." Nachandra sih, cengengesan saja, lalu mengangguk meng-iyakan.

"Yaampun, kok sekarang gak pernah keluar?? Jarang banget saya liat kamu." Matanya melebar agak mengejutkan ketika rambutnya diacak-acak oleh orang asing, ya meskipun dirinya mengenal nama wanita ini, tetap saja baginya asing.

Mak gue, pernah giniin gue gak yak.

"Loh siapa to, Bu?" tanya suami beliau tampak heboh.

"Loh anaknya, Bu Marnia wanita karir itu loh!"

"Oalahh, istrinya Pak Alta yang pengacara itu, Bu?"

"Iyo to kaya orang tuanya."

Nachandra mulai menggaruk kepalanya bingung, perasaan baru kemarin keluar rumah, tetapi tetangga-tetangganya kembali heboh setiap kali dirinya menampakkan diri.

"Weh bro, Chandra," sapa seorang laki-laki mengenakan baju koko, serta sarung di leher, dan peci di kepalanya.

"Udah lama gak keliatan, apa kabar baik?"

When The Sun Goes Down [𝘤𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang