𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 22 : 𝐆𝐫𝐚𝐩𝐩𝐢𝐠

Mulai dari awal
                                    

Zenita menurut. Ia menggeser badannya ke Raiden seperti anak kecil yang mendekati orang tuanya. Selesai mengelap hidung meler Zenita, Raiden kembali bersuara. "Ck. Makanya nurut kalau dikasih tahu."

"Terakhir, deh. Ini sisa sedikit."

Mengembuskan napas malas, Raiden mengambil piring di depan Zenita. "Gue yang abisin."

"Hah? Jangan, Rai, ini bekas aku."

"Kenapa? Lo punya riwayat rabies? Enggak, kan? Ya udah gapapa."

"Kamu ga risih?"

"Bisa ga usah nanya, nggak, lo?" Selain kesal karena terpaksa harus makan pedas, ternyata Raiden juga sedikit terganggu akan jarak Zenita yang bisa dikatakan lumayan dekat. Alhasil laki-laki itu menggeser pantatnya menjauh.

Sebentar, kalau dipikir-pikir kenapa Raiden jadi melakukan hal-hal yang diluar logika begini, sih? Sejak kapan keputusannya melakukan sesuatu jadi mempertimbangkan kondisi orang lain begini?

"Eh, iya maaf."

Lima suap dan piring hanya tinggal beberapa suap saja, tetapi sungguh sialan memang. Kwetiau yang katanya original ini rasa-rasanya malah membakar tenggorokan Raiden.

Entah keringatan, entah hidung yang meler, atau pelipis yang tiba-tiba basah, Raiden rasanya ingin melepas baju lalu menceburkan dirinya ke bak air.

"Ze, ambilin minummm, pedes gini anjir yang buat ga ada otak." Dan begitulah perangai seorang Raiden ketika sesuatu hal terjadi diluar kendalinya.

"Ihhh. Jangan gitu. Dia kan cuma masak pesenan aja, kenapa disalahin."

Raiden membuka mulutnya dengan mata melihat Zenita teler. "Terus salahin siapa? Lo?"

"Nggak semua masalah harus ada yang disalahin." Zenita tersenyum kecil. Membuat Raiden yang ingin memaki jadi tidak jadi.

"Diem, deh, lo. Gue kepedesan, sana ambilin minum lagi."

"Susu aja mau, ya?"

"Ya, udah cepet."

***

Sampai di Simpang 7 tempat Zenita dan Raiden melaksanakan project mereka. Suara adzan zuhur sudah berkumandang. Solat pun juga sudah ditegakkan, tepat pukul 13.00 Zenita memulai pembelajaran.

"Adek-adek, abis ini kita coba main game, ya. Tapi kita hafalan berhitung dulu. Nanti kaya minggu kemarin, ya. Cuma sampai perkalian 5. Yuk, siapa yang mau maju?"

Raiden yang sudah di briefing dan kata Zenita harus lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak jalanan Akhirnya jadi ikut bersuara. "Tuh, salah satu maju. Yang pinter aja, yang bego ga usah."

Zenita yang tadinya tersenyum kini melirik Raiden cengo.

"Rai ..."

Raiden menoleh ke lawan bicaranya. "Apa?"

"Masa kamu ngatain mereka bego?"

"Lah, siapa yang ngatain? Gue barusan ngasih motivasi. Kalau nggak mau jadi bego harus maju, gitu."

"Kamu lihat, dong. Nggak ada yang maju."

Cewek emang suka menyalahkan sesuatu yang nggak bisa dikontrol apa bagaimana, sih? Raiden mengerutkan alis bingung semi agak jengkel.

"Ya, terus? Salah gue gitu mereka ga maju?"

"Rai ... " Zenita menarik napas lalu mengembuskannya cepat. "Ok. Ya, udah, kamu nyiapin permainan aja."

Laki-laki yang barusan disuruh lalu melihat Zenita yang sudah mengumumkan hal lain ke anak-anak di depan mereka.

"Loh. Salah gue beneran ini?" Raiden bersuara tanpa dosa.

Selesai Zenita memberi pengarahan dan anak-anak sibuk menghafal dulu sebelum maju, dia berjalan ke belakang.

"Nggak. Salah aku. Puas?"

Raiden menarik baju Zenita. Tangan sang empu melepasnya pelan dan Raiden berkata 'maaf' lirih, tetapi masih bisa Zenita dengar. "Lo marah sama gue?"

"Ngapain aku marah sama kamu?"

"Lo sekarang tu lagi marah beg--"

"Omongan kamu!"

Lah, Zenita kenapa membentaknya? "Kok ngegas, sih, lo? Ketularan Sesa?"

Zenita memejamkan mata setengah frustrasi. "Ya, kamu liat, dong. Ini mau ngatain aku di depan anak-anak?"

Raiden melihat Zenita yang sudah hampir jengkel sepertinya, padahal aslinya sudah jengkel parah, tapi berusaha dikontrol.

"Ribet banget lo," jawab Raiden akhirnya lalu tanpa babibu lagi Zenita meninggalkannya ke arah parkiran motor.

"Kok malah pergi, sih? Heh! Ze! Woe!"

Lah, sejak kapan, ya, Zenita bisa membuat Raiden jadi sekesal ini? Wah, gejala penyakit hati macam apa ini? Jangan bilang rasa suka. Sebab demi Tuhan, Raiden malas harus merasakan sesuatu yang menguras semua tenaganya, seperti ini misalnya.

***

Zenita sudah sampai kosan. Saat pulang dari Simpang 7 ia memang naik Gojek sendiri, tanpa izin dari Raiden. Makanya sejak tadi terdengar bunyi dering panggilan dan juga pesan yang ketika perempuan itu buka pesan dari Raiden.

Raiden : heh

Raiden : maafin elah, oke gue salah

Raiden : udahlah ga usah pake acara ngambek, jangan bikin gue kepikiran dong pake acara gojek sendiri, nanti kalau lo diculik si bangke mantan lo gmn?

***

To be continued.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Silent In The Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang