03•🕊🧸

69 10 0
                                    

Sinar matahari pagi kali ini sangat terasa hangat. Sinarnya masuk kedalam kamar dua orang saudara yang saat ini masih tertidur dengan nyaman.

Mereka adalah Nara dan Enji. Mereka hanya tinggal berdua, bersama. Kedua orang tua mereka sudah tiada ketika usia mereka menginjak 14 tahun.

Meskipun sifat kakak beradik itu tak sama, dan kerap bertengkar, mereka bisa mengatasinya. Mereka tetap menjalani hidup mereka dengan baik.

Namun, tak jarang mereka akan mengeluh. Nara ingin memiliki suara indah yang adiknya, Enji itu punya. Sebaliknya, Enji ingin menjadi kakaknya yang cantik dan pintar itu, walaupun hanya sehari saja, ia ingin merasakan itu.

Perlahan namun pasti, kedua gadis itu mulai membuka mata. Mengerjab pelan, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mandi.

Masih memakai pakaian lengkap, memakai bando lucu. Pertama-tama, mereka menggosok gigi terlebih dahulu di wastafle, kemudian berkumur.

Tiba-tiba saja, keduanya berteriak keras secara bersamaan ketika menatap cermin di kamar mandi.

"Aaaaaa!"

Nara keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju kamar mandi yang lainnya, yang digunakan oleh adiknya.

Brak

Nara menggedor pintu kamar mandi, membuat Enji yang masih berada di dalam terkejut dan langsung keluar.

Begitu keluar, ia langsung terlonjak kaget.

"M-uka k-akak, enggak! M-uka g-ue, kok b-bisa?" Gagap Enji.

"Apa yang udah lo lakuin sama gue, Enji?!" Tanya Nara dengan penekanan.

Enji kembali menatap wajahnya di pantulan cermin. Ia mencubit pipinya. "Aw, sakit. I-ini bukan mimpi?"  Ia masih tidak percaya.

"Heh, lo ngapain pipi gue!?" Sahut Nara kesal. Ia menggaruk rambutnya yang masih sedikit berantakan. Saat ia melihat tangannya, ternyata rambutnya rontok beberapa helai.

Kini, giliran Enji yang melongo melihat itu. "Hey, rambut gue!" Ujarnya. Nara menyengir sekilas, "Sorry, nggak sengaja," balasnya.

Mereka duduk di sofa, memasang wajah yang terlihat seolah-olah tengah memikirkan 'bagaimana ini bisa terjadi? Apa ini nyata? Harus apa? '

Karena saking gugupnya, Enji sampai-sampai menggigit kukunya.

"Yak, jangan digigitin dong, kuku gue rusak nanti!" Ujar Nara.

Enji cengengesan. "Ya maaf, kalau gue gugup biasanya suka gigitin kuku, hehe." Nara memutar bola matanya malas.

Tiba-tiba Enji memikirkan sesuatu hal, ia kemudian berdiri. "Kak, gimana kalau kita terima aja? Kita gini aja dulu, sambil cari solusinya buat balik ke raga masing-masing," ujarnya.

Nara mendelik menatap adiknya itu, dengan cepat ia menggeleng. "Enggak, enggak, nggak mau! Gue nggak bisa jadi lo, lagian gue bakalan ada setoran besok!" Ujarnya.

"Iya... gue tau, makanya itu gue bantu gini deh. Lo jadi gue dulu, terus gue jadi lo sampai kita bisa kembali lagi," balas Enji.

"Tapi..." Nara kembali teringat akan festival seni music yang akan diadakan seminggu yang akan datang. Jika Enji berada di raganya, maka adiknya itu bisa mengubah  semuanya.

Enji bisa bernyanyi, dan berusaha untuk menjadi vokal utama. Pas sekali besok ia harus kembali menyetor lagu yang belum sempat ia selesaikan.

Kemudian, Nara menatap Enji dan menghela nafas. "Yaudah, kita sementara gini dulu sampai bisa kembali ke raga masing-masing." Final Nara.

Mata Enji terlihat berbinar. "Asikk!" Pekiknya dalam hati.

Nara menatap adiknya malas, "pokoknya lo jangan apa-apain tubuh gue!" Peringatnya. Enji mengangguk malas.

Mereka kemudian melanjutkan ritual mandi, setelah itu bersiap-siap ke sekolah.

Keduanya sudah memakai seragam lengkap bersama dengan sepatu mereka. Nara sedang menggunakan haid dryer untuk rambut... nya? Yang terlihat berantakan.

"Enji, sejak kapan lo terakhir keramas?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Nara.

Enji menoleh dengan pelan. "Ehehe, em... kemarin? Em... tiga hari yang lalu," balasnya cengengesan.

Nara mendelik.

Setelah itu, Enji mengaca di cermin full body yang ada di sana. Ia memperhatikan tubuh... nya?

"Hee, keren, Nara! Liat tubuh cantik ini. Nggak nyangka, sekarang gue jadi kakak gue, wajahnya juga cantikk," gumamnya.

Kemudian, Enji segera mengambil tas ranselnya, lalu memakainya dan segera bergegas ke sekolah. Nara yang melihat itu langsung berteriak. "Yak, Enji sisir rambut dulu setidaknya, Enji!" Enji mengabaikan teriakan kakaknya itu. "Ah bodo amat, besok aja!" Balasnya.

Nara melongo mendengar penuturan sang adik. Setelah itu, ia menyelesaikan aktifitasnya dan bergegas untuk pergi ke sekolah.

_The Miracle_

Enji menatap gerbang yang masih terbuka lebar itu. Ia menggenggam erat tali ranselnya. "Ayo Enji, lo pasti bisa!" Ujarnya menyemangati dirinya sendiri. Ia menghela nafas panjang, lalu melangkahkan kaki jenjangnya memasuki sekolah.

Ia mulai memasuki kawasan sekolah dengan binar yang terpampang jelas di wajahnya.

Kini, gadis itu perlahan melangkah memasuki ruang kelas Nara. Ia baru ingat kalau kakaknya itu duduk dengan Rayn.

Ia berjalan pelan, dan duduk di samping Rayn dengan pipi bersemu, serta senyuman yang tak pernah luntur dari wajah gadis itu.

Edgar merasa aneh dengan perilaku Nara yang tak biasanya. Biasanya, gadis itu hanya akan berjalan santai dan tenang, cenderung diam juga.

Tiba-tiba ia teringat akan saat ia pertama kali tak sengaja melihat Enji terjatuh.

Ketika gadis itu mengatakan ingin menjadi kakaknya.

"Ih, gue pengen banget jadi kakak gue!"

Sedari tadi, Enji terus menatap wajah Rayn dari samping. Lelaki itu merasa aneh dengan sikap Nara sejak gadis itu datang.

"Wahh lihatlah ini, tampan banget! Bersinar!"

Gadis yang sekarang ini tengah duduk di sampingnya, bersikap tak seperti biasanya. Ia kemudian berbalik menatap Enji, membuat gadis itu salah singkah.

"Kenapa?" Tanya Rayn.

Aha! Enji mengeluarkan sekotak susu rasa cokelat dan memberikannya kepada Rayn. "Apa ini?" Tanyanya.

"Ah... susu kotak," balas Enji.

"Gue tau, maksudnya kenapa lo kasih ke gue?"

"Gapapa, pengen ngasih aja, minum aja, enak kok," jawab Enji.

Tiba-tiba ada yang merangkul Enji. Ia merupakan sahabat dari kakaknya, Nara. "Nara, kan gue kasih susu ini buat lo, kok malah lo kasih ke Rayn sih?" Tanyanya. Mila mengambil kembali susu kotak itu dan memberikan kembali kepada Enji

Enji menjadi gelagapan. "Ah itu... maaf," Mila merasa aneh dengan sikap gadis itu.

"Anak-anak, kembali ke tempat duduk masing-masing, tidak dengar bel masuk hah!" Guru tiba-tiba masuk kelas, membuat Mila segera kembali ke kelasny yang ada di seberang.

Rayn kemudian kembali berbicara pelan. "Nanti pas istirahat, gue mau ngomong sama lo," ujarnya. Enji mengangguk.

_The Miracle_

The Miracle || TransmigrasiWhere stories live. Discover now