7. Perjanjian Dimulai

6 4 0
                                    

Indra penglihatan Sasmaya terus fokus pada layar persegi panjang yang dipegangnya. Selama 3 hari ia bergelut dengan bacaan karya Alberthiene Endah yang dijuluki the most wanted biographer Indonesia.

Tak lupa juga mencari referensi dari biographer lain. Semua demi integritasnya. Ia tidak ingin mengecewakan Widiya yang telah memberikan kesempatan langka padanya. Serta atas nama perusahaan yang begitu percaya menunjuknya.

Kepalanya manggut-manggut. Tak berapa lama dahinya berkerut.

Sekarang ia beralih pada kertas. Beberapa artikel yang menceritakan tentang Sofyan Putra ia cetak. Kendati hanya potongan-potongan kisah. Namun itu sangat berguna. Paling tidak ia bisa mengonfirmasi suatu hari nanti. Atau sebagai bahan pertanyaan yang belum terjawab secara detail.

Orang-orang terdekat Sofyan Putra juga ia masukkan ke dalam daftar narasumber yang akan diwawancarainya. Seperti ... anak-anaknya, keluarga dekat, sahabat, rekan kerja dan orang-orang yang punya andil dalam kehidupan seorang Sofyan Putra.

"Beres," gumamnya. Ia melihat arloji di lengan kiri. 1,5 jam lagi untuk pertama kalinya, Sasmaya akan bertemu dengan narasumber utama.

Tidak terbayang. Bagaimana untuk pertama kali berhadapan dengan orang nomor 1 di Putra Group. Tokoh yang punya pengaruh di dunia literasi. Walau pernah bertemu langsung. Akan tetapi ini beda. 100% beda. Jika beberapa kali bertemu hanya sebatas menyapa. Hanya itu.

Ini.

Ya ... kali ini ia akan bercakap-cakap lebih dari sekedar sapa. Berinteraksi langsung. Bahkan ia akan mewawancarainya. Luar biasa.

Matanya berbinar-binar menandakan kegembiraan hatinya.

Hari pertama. Sesuai janji temu yang telah disepakati dengan Sofyan Putra melalui asisten pribadinya. Ia akan menemui beliau di rumahnya. Berbekal lokasi yang telah dibagikan ia mengendarai mobil mama menuju ke sana.
Pagar tembok putih dengan besi bercat hitam, perpaduan serasi yang langsung menyambut kedatangannya. Seorang petugas keamanan membuka pintu gerbang setelah sebelumnya mengonfirmasi kedatangannya. Mengarahkan agar mobilnya terparkir di sisi teras samping.

"Mbak Sasmaya?" seseorang menyambutnya, sesaat ia keluar dari mobil.

Ia mengangguk, "Ya."

Orang tersebut mengulurkan tangan, "Ferdi, asisten Pak Sofyan."

Seraya tersenyum ia menyambut, "Sasmaya. Terima kasih, Mas Ferdi."

"Ferdi saja. Mungkin kita seumuran," celetuk Ferdi.

"O, oke. Ferdi," sebutnya. "Kalau begitu panggil juga Sasmaya," usulnya.

"Yap, terdengar seperti teman," ujar Ferdi.

"Mulai saat ini kita berteman," imbuhnya.

"Mari."

Ferdi mengajaknya ke suatu tempat. Bukan masuk ke rumah utama bos Putra Group. Melainkan seperti paviliun di samping rumah.

Melewati beberapa deret mobil. Indra penglihatannya menangkap sebuah mobil yang sepertinya pernah dilihatnya. Ya, ia berusaha mengingat. Di mana kira-kira melihat mobil yang percis seperti itu.

Toko Moeder. Tak salah lagi ... mobil itu pernah dilihatnya di toko mama.

"Silakan," Ferdi memberikan jalan agar ia terlebih dulu masuk setelah membuka pintu kaca.

Sasmaya tersenyum. Pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sebuah piano di sudut ruangan. Sofa klasik-modern, rak buku-buku, dan meja kerja. Pada dinding di belakang meja kerja tergantung lukisan seorang laki-laki berukuran besar.

Blind DateWhere stories live. Discover now