5. Genap 32

15 4 0
                                    

Pukul 10 pagi, Sasmaya telah tiba di toko Moeder. Tumben, sang mama tak mengajaknya berangkat bersama. Apa mungkin karena Ranti tahu, ia ada pertemuan dengan rekan kerjanya. Bahkan kata Susi, mama telah berangkat sejak pagi jam 8.

Aneh.

Namun keanehan itu tak membuatnya larut lebih dalam. Ia lekas mengalihkan perhatiannya pada layar laptop. Lima menit telah berlalu. Yellow sang penulis juga belum menampakkan batang hidungnya. Padahal Yellow sendiri yang meminta pertemuannya dimajukan.

Sasmaya kembali fokus pada layar di depannya. Beberapa pelanggan masuk keluar toko tak membuatnya beralih perhatian. Hingga tak menyadari 15 menit telah berlalu.

Keputusannya tepat. Jika Yellow memajukan waktu pertemuan mereka. Ia pun mengganti tempat pertemuan. Yang awalnya di salah satu kafe kawasan Blok M, ia ganti di Moeder. Setidaknya, dengan ketidakjelasan Yellow saat ini tak semakin membuatnya kecewa.
Beberapa kali ia mengecek pesan atau pemberitahuan di ponselnya. Barangkali ada pesan terlewatkan dari Yellow. Nihil. Yellow sama sekali tak mengiriminya pesan.

Ada apa gerangan?

Tak biasanya gadis yang masih duduk di bangku kuliah itu seperti ini. Selalu menempati janji. Dan kalaupun tiba-tiba terlambat atau membatalkan janji biasanya juga memberitahukannya. Pertemanannya dengan Yellow cukup lama. Hampir genap 5 tahun. Saat gadis itu masih sekolah di SMA.

Ia mencari daftar panggilan kemarin. Menekan panggilan nama ‘Yellow’. Keningnya berkerut. Tidak aktif.

Tak lama justru pesan dari Hanitara yang masuk yang ia kira dari Yellow.

Hanitara : Mbak Sas, maaf banget ... siang nanti terpaksa Hani gak bisa datang. Tiba-tiba tadi pagi sakit perut. Biasa PMS hehe ...

Sasmaya mendengus.

Minggunya terganggu. Rencana-rencana yang telah disusun rapi. Bahkan target-target perkerjaan yang telah dibuatnya harus disusun ulang. Otomatis mundur.

“Mbak Sas,” Mira menghampirinya. “Bu Ranti kayaknya sakit.”

Ia mendongak menatap Mira yang telah berdiri di depannya. Refleks bangkit dan melangkah menuju dapur.

“Sakit apa?” tanyanya. Memang semenjak datang tadi ia melihat mama sibuk membantu Ari. Tak sempat menyapa.

“Kurang tahu, Mbak,” sahut Mira.

Tiba di dapur, ia menuju ruangan yang biasanya digunakan oleh Ari. Terkadang juga digunakan untuk para karyawan beristirahat sebentar.

“Mama kenapa?” tanyanya langsung menghambur duduk di sofa di sebelah kaki mama yang berselonjor.

“Gak tahu Sas. Tiba-tiba tadi kepala Mama pening, terus kayak berputar-putar gitu.”

“Migren Mama kambuh?”

“Mungkin,” Ranti memijit pelipisnya.

“Mir, tolong carikan obat di apotek.” Ia menulis sesuatu di ponselnya. “Nama obatnya sudah aku kirim ke handphone kamu.” Ia bangkit hendak mencari air minum. Tapi urung ketika melihat Ari menghampiri dengan membawa segelas minuman hangat. Menyodorkannya pada mama.

Ranti menegak beberapa kali. Lalu ia menerima gelas yang volume airnya telah berkurang tersebut.

“Aku udah gak apa-apa. Kalian bisa kembali kerja.” Ranti bangkit duduk seperti biasa.

“Ma,” protesnya. “Sas antar pulang.”

“Mama udah gak apa-apa, Sas.”

Sasmaya berdecak.

Blind DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang