Part 19B. Lanjutan

4 3 0
                                    

Dengan cepat, Khafa membawa ponsel itu keluar dan membukanya.

“Halo.”

Hening sejenak.

“Oh, kalian sudah bersama lagi rupanya.” Benar saja, perempuan itu lagi. Kening Khafa mengkerut.

“Maksudnya?”

“Kemarin ayah ada telepon saya. Dia bilang katanya kalian bertengkar. Ayah sudah capek dan mau kembali lagi ke saya. Tapi ... sepertinya kalian berbaikan lagi.”

Khafa menggeretakkan giginya. Sambil beristighfar dalam hati, Khafa menjawab, “Iya, kami sudah bersama lagi dan akan tetap bersama. Jadi sudah ya, nggak usah telepon suami saya lagi.”

“Tunggu dulu Kaka. Saya harus bicara dulu dengan Ayah. Saya tidak percaya kalau belum bicara dengannya,” teriak Sisil sebelum Khafa menutup ponselnya.

“Nggak perlu. Kali ini saya katakan dengan tegas, jangan telepon-telepon suami saya lagi, dan berhenti memanggil dia Ayah! Kamu bukan istrinya lagi!”

“Kata siapa? Saya masih istrinya. Kami menikah siri disaksikan keluarga saya.”

“Betul, tapi sekarang sudah nggak lagi, karena kamu sudah kembali ke agamamu. Otomatis pernikahan itu menjadi batal dan nggak sah!” kata Khafa tajam.

“Dan saya juga punya bukti ‘kebinalan’ kamu. Mungkin Bayu akan senang menontonnya,” lanjut Khafa. Sejenak, tidak ada kata-kata dari perempuan itu.

“Saya akan datang ke sana, Kaka! Lihat saja, saya akan menemui Ayah, dan membawanya pergi bersama saya!” ancamnya kemudian.

Khafa tertawa. “Owh, silakan! Saya tunggu. Sekalian saya juga akan mengadukan kalian berdua atas perselingkuhan dan perzinahan yang kalian lakukan, juga pernikahan tanpa izin itu ke polisi. Mau tahu hukumannya? Menginap beberapa bulan di ‘hotel prodeo.’ Lumayan kan?”

Terdengar kata-kata makian di ujung sana. Khafa hanya tertawa dan menutup ponselnya.

Setelah itu, wajahnya kembali murung. Bayu menghubungi perempuan itu lagi. Atau memang mereka sebenarnya masih saja berhubungan setelah Khafa memergokinya waktu itu? Khafa sudah tidak terkejut lagi. Dia hanya kecewa.

Ternyata Bayu masih saja membohonginya.

Hati Khafa menangis. Tampaknya kalau dia terus bertahan, dia akan selalu dibayang-bayangi oleh perselingkuhan mereka dan sosok perempuan itu. Setiap saat dia akan merasa curiga dan tak tenang. Dia juga sudah tidak punya kepercayaan lagi pada Bayu. Dapatkah sebuah rumah tangga berjalan tanpa adanya rasa percaya?

Apakah sudah saatnya dia menyerah? Namun, dia tidak rela kedudukannya digantikan oleh perempuan semacam itu, dan sungguh tidak sudi anak-anaknya mempunyai ibu sambung dengan kelakuan seperti itu. Naudzubillah min dzalik.

Khafa mengusap dahinya. Dia baru sadar, sewaktu menelepon tadi, sekujur tubuhnya berkeringat dingin. Kini dia merasa sangat lelah, seperti habis bertarung. Telepon itu menguras emosinya.

Apa yang harus ia lakukan sekarang? Dia sudah tidak ingin bertengkar dengan Bayu. Tetapi bagaimana cara menyelesaikan masalah ini tanpa keributan? Sebab setiap Khafa menyinggung soal perempuan itu, Bayu pasti marah. Sedangkan untuk diam saja pun, dia tidak tahan.

Dia hanya ingin semua masalah ini selesai. Dia sudah berusaha sejauh ini mempertahankan rumah tangganya, mendapatkan kembali suaminya dan ayah anak-anaknya, memperbaiki apa yang dikiranya menjadi kesalahannya, tetapi sayangnya, dia baru mendapatkan raganya saja. Hati dan jiwa Bayu masih tertinggal di sana.

Khafa berharap cinta dan kesabarannya dapat menyadarkan suaminya. Dia juga ingin Bayu kembali ke jalan yang benar. Bertaubat dan memohon ampun pada Allah atas dosa-dosanya. Setiap salat, Khafa selalu berdoa, memohon agar Bayu mendapatkan hidayah. Namun, nampaknya Allah masih terus mengujinya.

Semoga Bayu sadar untuk tidak menukar berlian di rumahnya dengan beling di pinggir jalan karena silau oleh kilauannya ....

***

Perempuan Bernama KhafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang