Part 13. Berjuang, Atau Menyerah?

2 2 0
                                    

... Sepertinya tidak perlu secangkir kopi pagi ini, karena aku sudah terbangun dengan rasa pahit di seluruh nadi ....

-----

Sejak kecil aku ditinggal Papa,
Dengan Mama aku hidup sengsara,
Teman-temanku selalu menghina,
Aku ... orang tak punya ....
....

Astaghfirullahal adziim! Khafa tersentak bangun.

Rupanya dia tertidur di atas sajadah sehabis melaksanakan salat tahajud. Masih mengenakan mukena. Lelah lahir bathin sehabis menangis dan mengadu pada Rabb-nya.

Khafa melihat jam. Hampir pukul setengah lima. Adzan subuh berkumandang.

Khafa mengusap wajahnya. Sekejap tadi dia bermimpi, kembali ke masa kecilnya dan menyanyikan lagu itu. Lagu yang entah siapa penyanyinya.

Dulu, sewaktu umurnya belum genap lima, Khafa selalu menyanyikan bait lagu itu. Kata Mama dan Mak, Khafa suka sekali menyanyikannya sambil bersandar pada dinding rumah.

Dalam mimpi itu, dia menyanyikannya lagi. Lalu entah bagaimana, yang dilihatnya bukanlah dirinya, melainkan Wulan, putrinya. Wulan yang bersandar di sana sambil menyanyikan lagu itu dengan sorot mata sedih.

Bathin Khafa terpukul. Selama ini dia setengah mati berusaha mempertahankan rumah tangganya, demi supaya anak-anaknya punya kehidupan yang normal seperti anak-anak lain. Juga demi cinta yang ia miliki, meski Bayu berkali-kali menyakiti dan mengecewakannya, meski semua orang mengatakan dia bodoh karena terus mempertahankan lelaki seperti Bayu, hingga akhirnya inilah yang dia alami.

Sebagian hatinya ingin mengakhiri semua ini. Ingin menyerah dan pergi. Seperti yang dilakukan Buyutnya, Neneknya, dan ibunya.

Apalagi pengkhianatan Bayu kali ini sudah sudah teramat parah. Dia sudah melakukan hal yang hina. Dia sudah berzina!

Apalagi yang lebih menyakitkan dari pada itu?

Tetapi sebagian hatinya menolak. Bayu miliknya. Milik anak-anak mereka. Lelaki yang dipilihkan Tuhan untuknya. Yang sudah dipersatukanNya dalam ikatan pernikahan. Cintanya. Dia tak rela ada yang mengambil miliknya, dan sorot mata Wulan dalam mimpi itu ... tidak!

Dia tidak ingin melihat sorot mata sedih itu dalam dunia nyata! Dia harus bisa membawa Bayu kembali. Demi anak-anaknya. Demi komitmennya untuk memiliki rumah tangga yang utuh. Dia harus terus berusaha sampai tidak ada lagi harapan yang tersisa.

Lagi pula, dia masih harus memastikan sikap Bayu. Bayu masih berhutang penjelasan padanya. Dia tidak ingin ditinggalkan dalam keadaan penasaran.

Dia ingin tahu, apa kesalahannya, kekurangannya, yang membuat Bayu Lagi-lagi mengkhianatinya. Malam itu dia sedang mabuk. Sedang dalam pengaruh alkohol, sehingga kata-katanya tidak bisa dijadikan pegangan, meski kata orang, omongan orang yang sedang mabuk biasanya lebih jujur.

Khafa menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudian dia bangkit. Melepas mukenanya untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan salat subuh.

***

Pagi yang terasa demikian pahit bagi Khafa. Setelah kedua buah hatinya berangkat sekolah, Khafa kembali mencoba menghubungi Bayu.

Tetapi, yang menjawab panggilannya justru perempuan itu lagi, seolah menegaskan bahwa sekarang mereka memang hidup bersama.

“Dia sedang mandi!”

Khafa menutup telepon itu dengan hati yang terasa seperti ditusuk-tusuk. Benar rupanya. Mereka telah tinggal bersama.

Khafa berulang kali mengucap istighfar. Dia harus kuat. Demi Altan dan Wulan.

Siang harinya, barulah Khafa berhasil menghubungi Bayu. Namun, tanggapan dari suaminya itu benar-benar membuat Khafa seolah tak mengenalinya lagi. Suara Bayu begitu dingin dan acuh, membuat Khafa menyangsikan telinganya sendiri. Benarkah ini Bayu suaminya?

“Apa salahku, Yu? Bukankah kita sedang tidak ada masalah?”

“Kamu pikir aja sendiri! Selama ini kamu nggak pernah menghargai aku. Kamu juga lebih nurut sama kata-kata ibu kamu dari pada aku. Kamu lebih mentingin keluargamu dari pada rumah tangga kita. Pokoknya aku udah malas nerusin rumah tangga sama kamu! Kamu nggak usah mengharapkan aku lagi. Urus saja surat perceraian kita. Nanti aku kirimkan uangnya!”

Seperti disambar petir Khafa mendengarnya. Yaa Allah ... Benarkah yang kudengar ini?

Tidak menghargai? Bagaimana Bayu bisa mengatakan dia tidak menghargainya, sedangkan hidup Khafa sudah berada di tangannya

Bagaimana Bayu bisa mengatakan itu, padahal dia lah yang selalu menyakiti Khafa dengan berselingkuh?

Tidak menghargai jerih payahnya? Khafa bahkan harus mengekang keinginannya membeli keperluan pribadi dan hobinya, demi menghemat pengeluaran, agar pemberian Bayu mencukupi untuk sebulan.

Dia menghargai setiap tetes keringat suaminya dengan mengatur pengeluaran sebaik-baiknya.

Khafa rela menahan malunya meminta uang pada Papa untuk tambahan belanja dan sekolah anak-anak ketika kiriman Bayu belum sampai ke tangannya, dan tidak pernah merengek, memaksa Bayu mencarikan tambahan karena dia mengerti kondisi keuangan suaminya.

Tapi dia masih dibilang tidak menghargai!

Lalu, soal Bayu dan keluarganya?

Memang, sejak mereka menikah, Bayu dan Mama ternyata kurang begitu cocok. Banyak kebiasaan Bayu yang kurang disukai ibunya. Sedangkan menurut Bayu, Mama sering ikut campur urusan rumah tangganya.

Memang, Mama benar. Khafa sendiri kadang sering dibuat kesal oleh sifat dan kebiasaan Bayu yang baru terlihat setelah mereka menikah. Khafa sudah berulang kali mencoba menasehati agar Bayu mengubah kebiasaan-kebiasaan buruknya. Namun, Bayu tak pernah mau berubah.

Di sisi lain, Bayu juga benar. Mama memang kerap mencampuri urusan rumah tangga mereka. Misalnya masalah pengasuhan anak-anak. Mama juga banyak mempengaruhi Khafa dalam hal mengambil suatu keputusan dalam masalah rumah tangganya.

Mama juga sering agak memaksakan diri untuk menyelesaikan masalah Kenzo ataupun keluarga paman-pamannya jika mereka sedang kesulitan atau ada masalah, yang ujung-ujungnya pasti melibatkan Khafa. Padahal kondisinya sendiri lebih sering kekurangan dari pada berlebih.

Mungkin karena Mama terbiasa menjadi kepala keluarga yang mengendalikan semuanya. Dia terkadang lupa, bahwa Khafa sudah dewasa dan memiliki keluarga sendiri.

Tetapi meski demikian, bukankah selama ini hubungan mereka baik-baik saja? Memang, beberapa kali pernah antara Bayu dan Mama berselisih, saling diam dan tidak bertegur sapa. Tetapi kemudian mereka berbaik-baik kembali. Begitu terus hingga terasa wajar bagi Khafa.

Namun, mengapa sekarang Bayu mempermasalahkan hal itu? Tidakkah alasan itu terdengar begitu mengada-ada?

Khafa merenung. Jujur, dia memang merasa bersalah. Mungkin sebagai istri, selama ini Khafa kurang memperhatikan Bayu. Kurang peka terhadap keinginannya.

Selama ini, dia sibuk menuruti keinginan Mama dan keluarganya. Menganggap Bayu sebagai sumber kekuatan cinta hingga dia lupa, bahwa Bayu pun butuh kekuatan dari cintanya juga. Dia hanya ingin menerima, tetapi lupa memberi.

Mungkin, perselingkuhan Bayu sebelumnya juga teguran agar dia lebih memperhatikan dan membanjiri hati suaminya dengan cinta.

Meskipun tetap saja sebuah perselingkuhan tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa dijadikan alasan untuk hal apapun. Sayangnya, dia malah sibuk mengasihani dirinya sendiri.

Dulu dia pernah membaca sebuah kalimat, bahwa seseorang yang kekurangan kasih sayang dan cinta semasa kecilnya, tidak akan bisa memberikan kasih sayang dan cinta yang sempurna pada pasangannya.

Yah, bagaimana dia bisa memberi, jika dia sendiri kekurangan? Lalu, salahkah dia karena itu?

Mungkin, dia salah, karena telah membiarkan Mama ‘menyetir’ kehidupan rumah tangganya walaupun secara tidak langsung. Dia membiarkan hal itu karena menyayangi dan menghormati Mama sebagai orang tua yang tentunya lebih berpengalaman dari pada dirinya.

Tetapi dia lupa, bahwa rumah tangga itu milik dia dan suaminya. Bukan milik ibunya. Nakhoda kapalnya adalah Bayu, meskipun dia belum lihai menjalankan kapalnya hingga seringkali oleng. Bukan Mama.

Apakah itu yang menyebabkan Bayu lebih suka bekerja jauh di luar kota? Apakah secara tidak langsung, dia juga yang membuka peluang perselingkuhan suaminya?

Khafa menghembuskan napas. Kami semua bersalah. Tidak mungkin hanya satu pihak yang bersalah. Hanya beda porsi. Aku salah, Mama juga ada salahnya, tetapi Bayu jelas lebih bersalah, sebagai suami dan imam keluarga.

Yaa Allah ... Ampuni kesalahan dan dosa-dosaku. Izinkan aku memperbaiki semua ini Yaa Allah, agar tidak menjadi penyesalan seumur hidup bagiku. Kalau memang kami masih berjodoh, tolong satukan kami kembali, demi cinta dan anak-anak kami. Tetapi jika tidak, berikan kekuatan padaku dan anak-anak untuk menghadapinya. Aamiin ....

***

Perempuan Bernama KhafaWhere stories live. Discover now