Part 1. Terpisah Sejak Bayi Merah

7 6 0
                                    

... Aku membawa luka sejak dalam kandungan. Ibu terluka oleh belati lisan yang tanpa disadari ujungnya ikut melukaiku ....

Khafa tumbuh dengan cepat. Pada usia menjelang tiga tahun, dia menjelma menjadi gadis cilik berkulit putih bersih yang cantik menggemaskan.

Hanifa memberikan semua yang terbaik untuk putri kecilnya itu. Pakaian-pakaian anak model terbaru, makanan yang enak dan bergizi, serta mainan-mainan mahal.

Hanifa dan Mak sangat memanjakan dan menjaganya bak putri dalam dongeng. Dia memastikan segala kebutuhan Khafa tercukupi. Putrinya, tidak akan kekurangan apa-apa.

Dia berharap semua itu bisa menggantikan ketimpangan dalam hidup putri kecilnya, dan dia sudah bekerja keras untuk itu.

Hanifa yang sekarang memang bukan Hanifa tiga tahun yang lalu ...

***

Malam itu sepulangnya mereka dari rumah bidan, Khazam tiba-tiba saja muncul. Lelaki itu datang dan mengungkapkan alasan mengenai kepergiannya kemarin.

Menurut Khazam, dia sibuk mengurus usaha keluarga atas suruhan Papi dan Mami selama beberapa minggu kemarin hingga benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Rencana mencari pekerjaan pun tertunda. Padahal dia sudah mengajukan cuti kuliah selama satu semester ini.

Mereka seperti sengaja membuat Khazam sibuk untuk mencegahnya menemui Hanifa. Bahkan malam ini pun ia terpaksa pergi diam-diam dari rumah untuk menemui Hanifa.

Hanifa hanya diam mendengarnya. Meski dugaannya selama ini benar, ada campur tangan orang tua Khazam dalam hal itu. Sebab kini apa pun alasan Khazam, sudah tidak berpengaruh lagi bagi Hanifa yang sudah terlanjur sakit hati.

Hanifa percaya Khazam sangat mencintainya. Namun kelemahan sikap lelaki itu dalam menghadapi masalah mereka selama ini sangat mengecewakannya. Kekerasan hati Khazam ternyata hanya berlaku pada saat ingin menikahinya.

Dari pertama kali diperkenalkan pada kedua orang tua Khazam, Hanifa sudah tahu bahwa mereka–terutama Mami, tidak menyukainya. Apalagi ketika mereka tahu bahwa Hanifa hanyalah seorang gadis putus sekolah yang hidup miskin bersama ibunya yang menjanda dan dua kakak lelakinya yang bekerja serabutan. Namun karena Khazam selalu membesarkan hatinya, dia mencoba bersabar bahkan menerima lamaran lelaki itu dengan harapan sesudah menikah, keluarga Khazam akan menerimanya. Nyatanya tidak.

Puncaknya adalah ketika dia mencari Khazam ke rumah itu. Dia merasa terhina dan sakit hati dengan perlakuan dan kata-kata Mami Khazam. Harga dirinya terusik.

Belum lagi kepedihan hatinya saat harus melahirkan Khafa tanpa didampingi suami. Disaat dirinya berada diantara hidup dan mati, lelaki yang membuatnya harus mengalami hal itu malah entah berada dimana. Hatinya terluka dan sakit.

“Ceraikan aku, Bang!” pinta Hanifa akhirnya. Khazam terkejut.

“Apa? Nggak, jangan ngomong begitu, Ifa. Aku nggak mau. Aku mencintaimu. Apalagi kita baru saja punya anak,” tolaknya spontan.

“Tetapi kamu nggak bisa memperjuangkan aku dan Khafa di hadapan keluargamu, Bang!” seru Hanifa.

Bahu Khazam melorot. Dengan lemas, dia duduk menyandarkan tubuhnya.

Hanifa benar. Dia tidak kuasa melawan kehendak orangtuanya sekarang. Entah kenapa, dia selalu merasa lemah dan menurut saja bila berhadapan dengan mereka. Entah kemana perginya semua kekuatan dalam mempertahankan hubungannya dengan Hanifa seperti masa pacaran dulu.

“Kumohon sabarlah dulu, Ifa. Mami dan Papi memang marah karena aku nekat menikah diam-diam dan tanpa restu padahal aku masih kuliah dan belum bekerja. Tapi aku yakin, lambat laun mereka akan bisa menerima kalian. Apalagi bila mereka melihat Khafa.” Khazam mencoba membujuk Hanifa.

Hanifa mendecih. “Aku nggak yakin kalau hanya itu alasannya, Bang. Ibumu yang angkuh itu sangat menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan yang garis keturunan. Hanya itu dibicarakannya di depanku. Dia juga sudah menyiapkan jodoh yang sepadan untukmu.” Dia menggelengkan kepala.

“Maaf, Bang. Aku nggak bisa lagi. Sudah cukup ibumu menghinaku. Aku tetap ingin berpisah.”

“Itu nggak benar, Ifa. Nggak ada perjodohan atau apa pun!” Khazam menghela nafas. Dipandanginya bayi merah yang tertidur di atas ranjang dengan sedih. “Kamu nggak kasihan dengan Khafa? Dia masih terlalu kecil, Ifa ....”

“Khafa akan baik-baik saja bersamaku,” tukas Hanifa.

Percuma saja Khazam membujuk. Hanifa tetap berkeras pada pendiriannya.

Mak hanya bisa memandang iba ketika lelaki itu berpamitan dan pergi dengan tubuh lunglai. Terlepas dari masalahnya dengan Hanifa, Mak menilai Khazam adalah lelaki yang baik dan santun terhadap dirinya.

***

“Kalau kamu merasa benci dan sakit hati pada orang tua Khazam, kenapa harus Khazam dan Khafa yang menjadi korban, Nak? Kenapa harus menghancurkan rumah tangga kalian yang baru saja dimulai?” tegur Mak malam itu setelah Khazam pulang.

“Ifa nggak bisa hidup dengan lelaki yang lemah seperti itu, Mak. Bang Khazam akan selamanya berada di bawah kekuasaan maminya. Apa jadinya rumah tangga Ifa nanti kalau semua dikendalikan oleh Mami? Apalagi wanita itu jelas-jelas nggak menyukai Ifa dan memandang rendah keluarga kita. Bisa-bisa disuruh menikah lagi pun nanti dia akan menurutinya begitu saja. Ifa nggak akan sanggup hidup seperti itu, Mak,” jawab Hanifa.

“Tetapi apa yang dikatakan Khazam ada benarnya, Nak. Baiknya kamu bersabar, kesampingkan emosimu. Biarkan Khazam berusaha meluluhkan hati kedua orang tuanya dulu. Mak mengerti perasaanmu, tapi cobalah untuk bertahan, setidaknya demi Khafa. Kasihan dia. Baru lahir sudah harus berpisah dan kehilangan kasih sayang ayahnya.”

“Khafa nggak akan kehilangan apa-apa, Mak. Kita akan memberikan yang terbaik untuknya.” Hanifa berfikir sejenak. “Ifa nggak akan melarang Bang Khazam untuk datang menengok Khafa kapan pun dia mau. Biar bagaimanapun, Khafa adalah putrinya juga. Tetapi untuk kembali ....” Hanifa menggelengkan kepalanya.

Mak pun menyerah. Dia tahu sekali sifat keras putri bungsunya itu. Apalagi jika sudah tersinggung.

Khazam tetap tidak mau bercerai dan masih terus datang meski lebih sering tidak diacuhkan oleh Hanifa. Kadang hanya Mak atau Kakak-kakak lelaki Hanifa saja yang menemani lelaki itu bila ia datang.

Hanifa sendiri tidak membuang waktu. Meski belum habis masa nifasnya, dia sudah berkeliling mencari pekerjaan. Dia sadar tidak memiliki ijazah SMA apalagi kuliah, tapi dia tetap berusaha. Hingga akhirnya, dia berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai pramusaji restauran yang cukup besar.

Tiga tahun kerja kerasnya mulai membuahkan hasil. Berkat ketekunannya, Hanifa beberapa kali mengalami kenaikan jabatan. Kini dia sudah menjadi supervisor di restauran tersebut.

Beberapa kali Khazam yang masih rutin datang memintanya kembali. Namun hati Hanifa benar-benar sudah tertutup. Dia begitu dendam dan sakit hati, terutama pada Mami Khazam sehingga yang dia inginkan hanya membuktikan bahwa dia dan keluarganya bisa hidup berkecukupan tanpa harus menjadi bagian dari keluarga itu.

Kini dia berhasil membuktikannya. Dia bisa menghidupi keluarganya dan mencukupi kebutuhan Khafa meski tanpa suami. Kini dialah yang mengendalikan segalanya. Orang tua Khazam tidak akan bisa lagi menghina dan memandang rendah dirinya dan keluarganya.

Dengan berbagai cara, dia juga akhirnya berhasil membuat Khazam terpaksa menulis surat pernyataan talak, karena pernikahan mereka dulu memang hanya dilaksanakan secara siri.

Hanifa menjadi wanita muda yang dipaksa matang oleh keadaan. Dia bukan lagi seorang gadis yang lugu dan polos.

Ketika Khafa berusia tiga setengah tahun, Hanifa menikah lagi dan memberinya seorang adik laki-laki yang diberi nama Kenzo.

Seharusnya hidup Khafa terasa lengkap. Ada Mama, Papa, dan seorang adik. Tapi nyatanya tidak begitu.

Papa baru Khafa malah membuat mamanya jauh darinya. Lelaki itu membawa Hanifa tinggal di tempat lain, meninggalkan Khafa bersama Mak dan kedua pamannya.

Bahkan saat Kenzo berusia satu tahun, Hanifa juga mengantarkan putranya itu untuk tinggal di rumah Mak.

Kata Hanifa, pekerjaannya makin banyak dan sibuk sehingga dia tidak bisa merawat dan mengasuh Kenzo di sana. Asisten rumah tangga yang ia pekerjakan untuk mengasuh Kenzo kembali ke kampungnya.

Khafa senang, karena dia jadi punya teman bermain sebab Hanifa hanya pulang seminggu sekali untuk menengok mereka.

***

Perempuan Bernama KhafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang