Part 16. Mata Yang Terbuka

5 2 0
                                    

... Aku seperti orang bodoh ‘kan? Aku tidak rela melihatmu bersama dengan yang lain. Tetapi aku tidak mampu mempertahankanmu .... Seorang aku, rupanya belum cukup untuk melengkapi kurangnya dirimu ....

Adakah yang lebih menyakitkan dibanding sebuah harapan kosong? Khafa sudah pernah menerima itu. Harapan yang ternyata cuma sebatas impian.

Kala Papa menjanjikan meneruskan pendidikan di kampus pilihannya, kala Papa berjanji akan tetap membiayai kuliahnya selepas menikah ....

Rasanya seperti melayang, lalu jatuh dari tempat ketinggian sedalam-dalamnya. Sakit. Kini, Bayu juga. Dia tega memberikan harapan kosong pada Khafa dan anak-anak mereka.

Bermulut manis, berpura menyesali dan meminta maaf, berbaik-baik, tapi ternyata di sana dia tetap melanjutkan hubungan dengan perempuan itu. Bahkan sampai menikah! Entah apa maksudnya kemarin-kemarin mendekati Khafa dan anak-anak. Ini lebih kejam dari pengkhianatan yang dia lakukan.

Karena itu Khafa memutuskan untuk mengakhiri penantian dan usahanya. Hatinya sudah terlalu sakit hingga dia bahkan tidak merasa kesakitan lagi.

Di malam hari, ketika semua sudah tertidur, Khafa memandangi wajah polos anak-anaknya.

Altan, di usianya yang masih remaja, seharusnya tidak memikul beban bathin seberat itu karena masalah rumah tangga kedua orang tuanya.

Seharusnya dia berada dalam masa remaja yang indah dan ceria, di mana masalah terberatnya mungkin hanyalah soal matematika dan fisika.

Khafa tahu, meski Altan tak banyak bicara, tetapi sulungnya itu memendam kesedihannya sendiri. Mungkin lebih berat dari Khafa dulu, karena Khafa pada dasarnya tidak pernah tinggal serumah dengan Papa dan merasakan kasih Sayangnya. Tetapi Altan, sedari kecil dia dekat dengan Bayu. Dia pasti cukup merasa kehilangan, sedih dan terpukul. Hanya karena dia laki-laki, maka dia lebih terlihat tak peduli.

Sedangkan Wulan, jelas kelihatan kehilangan dan kekecewaannya. Dia masih kecil dan belum lama merasa dekat dengan ayahnya. Namun begitu, Khafa yakin Wulan sedikit banyak mengerti kalau ayahnya sudah ‘diambil orang’ dan tidak akan kembali.

Maafkan Mama, Nak. Mama telah gagal mempertahankan rumah tangga ini untuk kalian. Mama tak kuasa mencegah perpisahan ini, bisik hati Khafa sendu.

Dalam bayangannya, Khafa seperti melihat lagi dirinya waktu kecil dulu. Mungkin, begini jugalah Mama saat itu. Duduk di pinggir ranjang putrinya saat malam tiba, memandangi wajahnya dengan perasaan sedih dan bersalah karena tidak bisa mempertahankan keutuhan rumah tangga dan memberikan kehidupan yang normal untuknya. Yaa Allah ....

Mungkin selama ini Khafa bukan istri yang sempurna. Dia juga punya salah. Tetapi patutkah ketidak sempurnaan dan Kesalahannya dibalas dengan perselingkuhan? Bukankah seharusnya sebagai pemimpin, sebagai imam, dan dengan cinta yang ada diantara mereka, Bayu mengarahkan dan membimbing Khafa? Mengapa dia malah berselingkuh dan mencari pembenaran dari perbuatannya itu?

... Aku seperti orang bodoh ‘kan? Aku tidak rela melihatmu bersama dengan yang lain. Tetapi aku tidak mampu mempertahankanmu .... Seorang aku, rupanya belum cukup untuk melengkapi kurangnya dirimu .... Bisik Khafa memandang foto Bayu di ponselnya.

Cinta Khafa terhadap Bayu demikian besar hingga dia menutup mata terhadap kesalahan dan kekurangan Bayu. Dia nyaris sulit untuk berpikir dengan logika.

Namun, kini matanya dipaksa untuk terbuka. Dia harus melihat dan menerima kenyataan yang ada. Bayu sudah tidak mencintainya lagi.

Meninggalkan Khafa yang sudah membersamainya selama hampir dua puluh tahun dalam suka dan duka, dan lebih memilih hidup bersama perempuan yang belum sampai satu tahun dikenalnya. Melepas tanggung jawabnya pada dua buah hati mereka–bagian dari dirinya, untuk mengurus dua anak tiri yang bukan darah dagingnya.

***

Dua minggu kemudian, datang berita duka. Ibu Bayu–mertua Khafa meninggal dunia karena sakit, menyusul sang suami yang sudah lama pergi menghadap kepadaNya. Khafa dan kedua anaknya bergegas pergi ke rumah mertuanya.

Dalam suasana duka, akhirnya Bayu pulang. Namun, dia tidak sempat menemui jenazah ibunya. Begitu dia sampai, sang Ibu sudah dimakamkan.

Terlambat sudah bagi Bayu. Ketika ibunya terbaring sakit, beliau sempat mengungkapkan keinginannya untuk bertemu dengan putranya itu. Kakak dan adiknya sudah menelepon Menyuruhnya pulang dan menceritakan kondisi Ibu. Namun, Bayu tidak juga mau pulang. Bahkan hari raya kemarin pun, dia bukannya pulang menemui ibunya, malah kembali ke pelukan perempuan itu.

Khafa dan anak-anaknya hanya diam saat bertemu dengan Bayu. Bayu yang menangis terisak bergerak hendak memeluk Wulan. Namun, gadis kecil itu menghindar. Altan pun hanya diam tak menyapa Ayahnya.

Mereka menginap semalam di rumah itu. Pagi sebelum dia kembali ke rumah, Khafa memutuskan untuk bicara dengan Bayu, didampingi Altan.

Pada kesempatan itu, Khafa meminta ketegasan dari Bayu untuk memilih.

Diluar dugaan, Bayu masih tetap menginginkan mereka bersama. Khafa terkejut dan bingung. Padahal dia sudah menyiapkan hati untuk menerima talak dari Bayu.

Lalu Altan turut bicara. Akhirnya setelah bicara dari hati ke hati, saling mengakui kesalahan dan memaafkan, mereka sepakat untuk rujuk kembali. Walaupun Bayu berterus terang bahwa dia perlu waktu untuk memutuskan hubungannya dengan perempuan itu, buat Khafa tidak ada masalah. Yang penting, Bayu bisa membuktikan bahwa ia memang serius ingin memperbaiki rumah tangga mereka dan meninggalkan perempuan itu.

Hati kecilnya memang tidak bisa dibohongi bahwa dia masih mencintai lelaki itu, dan Khafa memutuskan untuk memberi kesempatan lagi pada Bayu dengan syarat, Bayu tidak boleh lagi berangkat ke sana. Bayu menyanggupinya.

Khafa seperti tak peduli apakah keinginan Bayu untuk kembali pada mereka murni dari lubuk hatinya yang terdalam atau ada maksud tertentu. Yang penting baginya, Bayu sudah berada di sini. Dia akan berusaha sekuat tenaga agar Bayu tidak pergi lagi, demi anak-anak. Demi cinta dan keutuhan rumah tangga mereka.

Mereka pun berpelukan penuh haru disaksikan oleh Altan. Bayu kembali meminta maaf pada Khafa. Kemudian, dia juga meminta maaf pada Altan.
Khafa memanggil Wulan. Setelah Khafa membujuknya, barulah Wulan mau dipeluk oleh ayahnya.

Kemudian, di hadapan Khafa, Bayu yang menerima telepon dari perempuan itu langsung mengatakan bahwa dia sudah bersama Khafa dan anak-anaknya kembali, dan tidak akan kembali pada perempuan itu.

Perempuan itu menjerit dan menangis. Dia memohon-mohon, membujuk dan merayu Bayu agar kembali. Khafa yang mendengarkan semua itu hanya diam memperhatikan. Ada pancaran kesedihan di raut wajah Bayu saat mendengar suara perempuan itu, seolah hatinya berat untuk meninggalkannya.

Khafa merasa cemburu sekaligus sedih. Ingat saat dia memohon agar Bayu pulang dan kembali padanya. Apakah raut wajah Bayu saat itu sama? Khafa tidak yakin mengingat ketusnya kata-kata Bayu. Berbeda dengan saat ini. Kata-katanya begitu lembut, seolah tidak ingin menyakiti hati perempuan itu.

Setelah sambungan telepon itu diputuskan, Bayu lebih banyak diam dan merenung. Dia seperti menyesal.

Semua itu tidak luput dari perhatian Khafa. Namun, untuk saat ini Khafa hanya membiarkan, berharap waktu bisa menghapus rasa apa pun yang ada dalam hati Bayu untuk perempuan itu.

Khafa tidak memaksanya. Bayu-lah yang sudah memilih untuk kembali padanya dan memperbaiki rumah tangga mereka.

***

Perempuan Bernama KhafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang