Part 4. Sayap Yang Patah

3 3 0
                                    

... Tak cukupkah dengan ketidakhadiranmu di sisiku selama ini? Kenapa kini kau patahkan juga sayapku ...?

Hari itu penguman hasil ujian masuk perguruan tinggi negeri. Khafa yang lulus dari SMA nya dengan nilai bahasa asing tertinggi berencana hendak melanjutkan kuliah ke fakultas bahasa dan sastra di salah satu universitas negeri. Dia sudah belajar cukup keras untuk itu.

Dengan hati gembira dan angan yang melambung tinggi, Khafa pulang ke rumah. Dia baru saja dinyatakan lulus dan berhasil masuk ke fakultas bahasa dan sastra asing di universitas negeri impiannya.

“Assalamu alaikuuum ..., Maaak! Mamaaa ...! Khafa lulus! Khafa dapat universitas negeri!” pekiknya dengan kegembiraan yang meluap.

“Wa alaikum salaaam ... Alhamdulillah ...,” sambut Mak dan Mama berbarengan. Senyum bahagia terpancar dari wajah mereka.

Sambil makan siang, mereka membicarakan hal itu dengan penuh semangat.

“Tapi Ma ... Bagaimana dengan biayanya? Benarkah Papa mau membiayai uang kuliah Khafa?” Tiba-tiba saja hati Khafa dilanda kekhawatiran.

Mama tersenyum. “Papamu udah janji bakal nyekolahin kamu sampai selesai. Jangan khawatir.”

Khafa menggigit bibirnya. Dia memang sedikit khawatir dikarenakan papanya sudah sejak satu tahun yang lalu berangkat ke Amerika untuk melanjutkan pendidikannya. Papa bekerja di sebuah Bank BUMN, dan dia mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di sana.

Beberapa hari kemudian Khafa disibukkan dengan persiapan pendaftaran. Syarat-syarat sudah dia penuhi. Bahkan dia sudah membayar uang jaket almamater dan lain-lainnya. Tinggal menunggu uang semester dari Papa.

Hati Khafa penuh bunga dan khayal. Dia sudah membayangkan dirinya menjadi mahasiswi, mengenakan jaket almamater kebanggaannya, mengikuti mata kuliah, dan menjadi Sarjana bersama beberapa temannya yang juga diterima di sana. Kemudian, dia akan mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan penghasilan yang tinggi sehingga dapat menghidupi Mama, Mak, dan Kenzo. Akan dimintanya Mama beristirahat dari pekerjaannya. Hidup mereka pasti akan lebih baik.

Namun di hari selanjutnya, dunia Khafa mendadak runtuh.

Papa tidak bisa membayarkan uang semesternya! Alasannya, biaya hidup di Amerika bersama anak dan istrinya sangat tinggi. Tidak asa uang tersisa untuk Khafa saat ini. Khafa diminta untuk menunggu tahun depan sampai Papa pulang.

Khafa tergugu mendengar semua itu ketika Papa meneleponnya di rumah Oma. Hatinya patah seketika, tapi tak ada air mata yang keluar. Pun ketika omanya dengan entengnya berkata bahwa dia juga tidak bisa membantu Khafa karena sedang merenovasi rumahnya yang di luar kota. Rasanya semua yang ada di depannya menjadi suram.

Khafa pulang dengan perasaan gamang. Dia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari sang ayah.

Sampai di rumah, dengan tersendat dia menceritakan semuanya pada Mama dan Mak. Masih bisa dia berikan seluas senyum agar ibu dan neneknya itu tidak terlalu khawatir.

Di dalam kamarnya yang sempit, Khafa termangu. Kemudian setetes air matanya bergilir di pipi. Hati dan tubuhnya terasa sakit, seolah dia baru saja terjatuh dari tebing yang tinggi. Impiannya buyar. Hayalnya hancur. Bunga-bunga di hatinya layu.

Khafa yang selama ini selalu berhasil masuk dan mendapatkan sekolah favorit berkat ketekunan belajarnya, jadi benar-benar shock. Dia tidak bisa mendapatkan universitas negeri favorit itu, bukan karena dia bodoh atau tidak lulus tes. Tapi karena biaya!

Mengapa Papa tidak bisa membayar uang kuliahnya? Tidak bisakah dia mengusahakannya demi Khafa yang sudah berusaha keras untuk mendapatkan semua itu? Tidak adakah kebanggaan di hatinya mengetahui putrinya diterima di universitas negeri terbaik?

Mengapa Opa-omanya juga tidak bisa membantu membayarkan uang kuliahnya? Bukankah katanya mereka orang kaya dan berdarah biru?

Bukan Khafa tidak bersyukur atau pun tidak menerima kenyataan. Tetapi image yang mereka bangun sendiri sebagai orang kaya dan keturunan bangsawan terhormat di mata Khafa dan keluarganya membuat mereka tidak bisa percaya bahwa Papa dan Opa-omanya, atau saudara-saudara papanya, tidak punya uang yang cukup untuk membiayai kuliahnya. Sulit rasanya berbaik sangka dengan posisinya saat ini.

Ketika orang berlomba-lomba dengan segala cara untuk bisa masuk ke universitas negeri terbaik, Khafa yang sudah berhasil mendapatkannya malah harus melepaskannya lagi. Itu menyesakkan buat Khafa.

Sayapnya dipatahkan, bahkan saat ia belum lagi bisa terbang. Khafa pun menangis tersedu di atas pembaringannya ....

***

Selama beberapa hari, Khafa lebih banyak berdiam diri di rumah dan tak banyak bicara. Teman-temannya sudah mulai sibuk mendaftar ulang. Bersiap meninggalkan masa remaja yang ceria menuju dunia dewasa dan masa depan yang cerah. Sementara Khafa mengakhiri masa remajanya dengan segores luka yang dalam. Dengan berat hati, dia melepaskan kesempatannya menjadi mahasiswi universitas negeri impiannya.

“Sabar ya Nak, mungkin tahun depan jika ayahmu sudah pulang, kamu bisa kembali mengikuti tes ujian masuk perguruan tinggi negeri itu,” kata Mama membesarkan hatinya.

Seperti Khafa, Hanifa pun kecewa dengan sikap Khazam. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk Khafa. Dia tidak punya tabungan yang cukup untuk membayarkan kuliah Khafa. Diam-diam, Hanifa menyesal tidak rajin menabung sejak dulu.

Khafa hanya menanggapinya dengan senyum. Dia tidak ingin terlihat sedih di hadapan Mama dan Mak.

Tak lama kemudian, Khafa ditawari bekerja di kantor kecil milik Tante In untuk mengisi waktu luangnya. Tante In ini adalah kakak perempuan Papa.

Setelah menimbang-nimbang dan bertukar pendapat dengan  Mama, akhirnya Khafa menerima tawaran itu. Mungkin dengan menyibukkan diri, dia akan bisa melupakan rasa sedih dan kecewanya. Lagipula, dia masih bisa meneruskan kursus bahasanya.

Memasuki dunia kerja selepas SMA sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran Khafa. Selama ini dia hanya fokus untuk sekolah. Tidak tahu banyak hal di luar itu. Banyak kesulitan yang dia hadapi di dunia barunya. Apalagi dia hanya mempelajari dasar-dasar komputer saja di sekolah. Tante In, meski sedikit galak dan berlidah tajam, namun banyak mengajarkan berbagai hal padanya. Secara tidak langsung, dia menempa Khafa menjadi perempuan yang kuat mental di dunia kerja.

Setahun berlalu.

Menjelang kepulangannya, melalui telepon Papa mengatakan padanya bahwa dia boleh mendaftar ke kampus mana pun, setelah Khafa yang kembali mengikuti tes ujian masuk perguruan tinggi negeri dinyatakan tidak diterima di universitas negeri impiannya.

Khafa sudah tidak lagi terlalu sedih, meski kecewa karena tahun ini gagal lagi masuk ke universitas yang sangat diinginkannya. Dia sudah lebih bisa menerima, sebab kali ini Papa berjanji akan membiayai kuliahnya di mana pun dia mau.

Sekali lagi, dengan bersemangat Khafa mendaftar ke universitas swasta yang diinginkannya. Banyak teman-teman SMAnya dulu yang tahun lalu tidak lolos tes perguruan tinggi negeri kuliah di sana.

Namun ketika ia bertemu dengan ayahnya, lagi-lagi Semangatnya dihancurkan! Papa tidak menyetujui kampus pilihannya. Alasannya, terlalu mahal!

Untuk pertama kalinya, mereka berdebat. Tetapi pada akhirnya, ia terpaksa menyerah dan mengalah. Membiarkan Papa yang memilihkan kampusnya. Khafa akhirnya tak peduli lagi dimana itu, dan akan masuk jurusan apa. Semangatnya sudah hilang.

“Kalau kamu masih mau kuliah, ikuti kata-kata Papa!” kata Papa agak keras.

Khafa berusaha menyimpan gejolak emosinya. Dipendamnya dalam-dalam amarah dan rasa kecewanya. Lukanya berdenyut lagi. Ingin sekali rasanya dia meluapkan rasa marah dan kecewanya selama ini pada ayahnya. Namun Alih-alih menunjukkan emosinya, Khafa justru memberikan senyum manis pada ayahnya. Senyum yang punya banyak arti jika saja Khazam lebih peka.

“Iya, Papa,” jawabnya manis.

Banyak yang tidak Khazam ketahui mengenai Khafa. Salah satunya, Khafa pintar menyembunyikan lukanya dengan senyum manis!

***

Perempuan Bernama KhafaWhere stories live. Discover now