Quindecuple

8.5K 1.1K 64
                                    

"Sen, mau saya anterin?" tanya yang lebih tua ketika Senandika menyalakan mesin motornya di depan gerbang rumah Marco.

Tanpa menoleh, Senandika menggeleng tanpa ada suara apa pun yang keluar dari lisan.

"Kamu marah?" tanya Marco yang lagi-lagi hanya dijawab dengan gelengan semata.

"Ish, ini kenapa susah banget, sih!" gerutu yang lebih muda frustrasi. Memang kalau motornya tidak dipakai sehari saja, mesinnya menjadi dingin dan susah dinyalakan. Maklum, sudah motor tua, belum ganti aki pula.

Dan Senandika merutuk, mengapa harus di saat seperti ini? Di saat dirinya mau buru-buru kabur dari seorang Marco Blackweeds?

"Senandika, maaf," gumam si kakak kelas pelan, tak memedulikan Senandika yang tengah dongkol dengan kondisi motornya, juga situasi ini. "Kamu boleh benci saya."

Sekonyong-konyong Senandika menoleh, menatap sang pria bermarga Blackweeds tajam.

"Kak Marco sebenernya emang nggak mau temenan sama saya, 'kan?" Mata Senandika memicing ketika berkata demikian.

Menghela napasnya pelan terlebih dahulu, lantas Marco menjawab, "Saya mau jadi temen kamu ... in one condition, kamu nggak suka sama saya. This is why I want to be your friend."

"Jadi sekarang Kakak nggak mau temenan sama saya setelah tau kalo saya suka sama Kakak?"

"Senandika, bukan gitu ...."

Dalam sekali tekanan pada kick starter motornya, tahu-tahu motor Senandika menyala dengan suara yang berderu kencang.

Senandika membuang mukanya, menatap lurus ke jalan seraya membenarkan posisi duduk, "Saya pulang."

Dan motornya melaju cepat, membelah jalanan yang sepi nan gelap.

-

"Dika, kantong mata kamu gede banget." Alana yang duduk di hadapannya memberi tahu sambil mencondongkan wajahnya pada si teman sekelompok.

"Oh, aku kurang tidur semalem," singkatnya sambil menenggelamkan kepalanya pada lipatan lengan, menatap punggung Ralian Kamandanu yang juga menenggelamkan kepalanya, namun bedanya, wajah lelaki itu seutuhnya menghadap meja.

Mengembuskan napasnya pelan, Senandika berpikir; nggak kakaknya, nggak adeknya, sama aja misteriusnya.

Lalu, Senandika mengikuti posisi Ralian, memejamkan matanya hingga sang guru bahasa Inggris datang.

-

Kondisi kantin seperti biasa ramai. Senandika merasa sial karena terlambat ke kantin hari ini karena Bu Agatha yang menyuruhnya membawa buku terlebih dahulu ke ruang guru.

Memang naas nasib seksi kependidikan macam Senandika Kelana ini.

Senandika yang telah keroncongan lantas buru-buru memesan mie ayam Pak Muis, dan sialnya lagi, meja kantin penuh.

Triple sialan, tidak ada yang Senandika kenal di sini. Bukannya no life atau bagaimana, hanya saja beberapa alumni datang kemari untuk mengambil ijazah mereka, lalu memutuskan untuk makan—sebenarnya nongkrong—sisanya adalah anak kelas dua belas yang sedang beristirahat. Anak kelas sepuluh dan sebelas tentu tengah melipir memilih makan di kelas atau ke taman belakang sekolah, atau ke atap? Senandika tak tahu.

Brak!

"Lo jangan songong! Mentang-mentang anak orang kaya, jadi nggak ada sopan santunnya sama yang lebih tua!"

Bring Me HomeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora