🍁 26. Sedikit Hiburan 🍁

4.3K 971 89
                                    

Malam, temans. Seharian hujan, jaga sehat yaa. Cuaca sedang nggak bersahabat banget.

Beberapa hari belakangan, Sahara merasa jenuh. Sejak menolak hadir ke acara Lucia, ratusan pesan masuk ke ponselnya dan menuntut jawaban mengapa tidak pulang untuk atau sekadar memberi ucapan selamat. Seolah itu adalah hal penting, teror pesan sepupunya mengungkapkan segala macam rasa kecewa.

Sahara tersenyum miris. Baru tidak datang saja Lucia sudah seperti kebakaran jenggot, bagaimana kalau sampai diabaikan seperti dirinya. Meskipun hanya seandainya, dia sudah tahu kalau si anak manja tidak akan tahan menghadapi hal berat yang sudah menjadi kesehariannya.

Selama dua hari sudah pergi dengan Yunita. Tak mungkin merepotkan gadis itu lagi meski mereka adalah sahabat. Bingung, dia memilih duduk di ruang istirahat meski jam pulang berlalu sejak setengah jam.

"Belum pulang, Ra?" Desta muncul, langsung membuka loker dan mengambil tas serta mengenakan jaket.

"Iya, Dok. Sebentar lagi."

"Menunggu anak bangunan itu?" Nada meremehkan dalam suara Desta tertangkap telinga Sahara.

"Anak bangunan itu punya nama, Dok." Heran, tidak ada angin tidak ada hujan si dokter residen seolah menabuh genderang perang.

"Kamu masih tidak mau pulang?" Suaranya mengisyaratkan desakan, jelas menegaskan Sahara menerima pesan tersirat untuk pulang bersama.

"Sebentar lagi. Dokter duluan saja." Biarkan saja terkesan sombong atau jual mahal, tetapi Sahara tidak mau memberi peluang sekecil apa pun untuk sesuatu yang dia tidak siap.

Desta berlalu setelah beberapa kalimat basa-basi penuh gula. Meski rasanya lega, Sahara merasa sedikit kejam karena menganggap rekan kerjanya seperti angin lalu. Namun, dia bisa apa? Masalah hati tidak bisa dibuat main-main . Belajar dari pengalamannya, lebih baik memberikan keputusan di awal daripada kebaikan yang disalah artikan.

Sahara berjalan menuju pintu samping rumah sakit. Tidak enak berlama-lama di ruang istirahat setelah jam pulang. Sambil berjalan, kepalanya memikirkan apa yang bisa dilakukannya sore ini. Dia masih belum mau pulang. Entah mengapa, perasaannya tidak enak. Seperti akan terjadi sesuatu jika dia pulang lebih awal.

Menuruti naluri, Sahara duduk di bawah pohon mangga dekat paviliun. Mengulur waktu sejenak mungkin tidak masalah. Setengah atau satu jam cukup, asal tidak pulang.

"Wih, Suster baik hati. Kenapa masih duduk di sini?" Kalahari tiba-tiba muncul, duduk di samping Sahara. "Jam pulang berlalu hampir satu jam."

"Sedang suntuk. Lagi nggak pengin pulang."

"Suntuk?" Kalahari menggaruk tengkuknya yang bisa jadi tidak gatal. "Ikut, yuk!"

Sahara mengikuti Kalahari ke halaman parkir samping. Dia heran saat pria itu berhenti di sebuah mobil. Sama dengan yang dilihatnya beberapa hari lalu di Zangrandi.

"Naik, Sa!" kata Kalahari setelah membuka pintu depan sebelah kiri.

"Mobil siapa?" Meski bertanya, Sahara tetap naik dan duduk serta menutup pintunya.

"Mobil kantor," jawab Kalahari enteng setelah duduk di sisi pengemudi. "Kamu ini kepo juga ternyata, ya, Sa?"

Sahara tak menanggapi kelakar Kalahari. Mengamati jalanan yang mereka lalui jelas lebih menarik. Ini adalah jalan berbeda yang biasa dia lalui dengan Yunita saat ada waktu jalan-jalan bersama.

"Pengin ke suatu tempat tertentu?" tanya Kalahari yang membuat alis Sahara berkerut.

Bagaimana pria itu menanyakan tujuan, sedangkan dirinya ada dalam mobil ini karena ajakannya. "Nggak."

Masih Ada Edelweis yang LainWhere stories live. Discover now