🍁 15. Sisi Lain 🍁

4K 988 158
                                    

Pulang kerja itu yang diinget ya update Sahara buat temans semua. Selamat membaca, yaa🥰🥰

Sejak dinas di Surabaya, Sahara merasa hari-harinya jadi lebih sibuk. Ada banyak penyesuaian yang dia lakukan hingga tak memiliki banyak waktu untuk bersantai. Biasanya, selalu ada waktu yang bisa digunakan untuk memanjakan diri di salon, tetapi tidak kali ini. Bahkan Yunita, temannya pun tak kalah sibuk.

Setelah berhasil menyesuaikan irama kerja, Sahara dan Yunita janjian bertemu. Dia tentu bahagia, rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali bertemu sahabatnya. Yang terakhir itu saat ada di depan ruang pribadi Singgih.

Sore ini, Sahara sudah siap-siap pergi ke Zangrandi, sebuah kedai es krim terkenal dan biasa dia kunjungi sejak masih tinggal di Malang. Sudah janjian ketemu Yunita di sana. Dia merasa bekerja sedikit menikmati waktu luang tidak masalah. Kerja terus-menerus di IGD jelas bisa menimbulkan stres jika tidak ada waktu untuk refreshing.

"Mau ke mana, Mbak Sa?" tanya Simbok yang melihat Sahara keluar kamar.

"Mau jalan sama teman. Simbok mau ikut?" Sahara berjalan ke dapur dan mengambil air dari dispenser. "Nggak sampai malam, kok. Paling jam sembilan sudah pulang."

"Mbak Sahara ... jam segitu ya malam kalau buat Simbok. Hari ini ada anak kost yang minta dibuatkan rendang. Lumayan buat tambah-tambah beli pulsa.

Sahara memutar bola matanya. Wanita yang sudah menjadi kesayangannya itu memang luar biasa konyol. Di rumah ini menggunakan wifi, jadi bagaimana bisa berkata masalah pulsa. Lagi pula, semua anak-anaknya menelepon menggunakan aplikasi kekinian yang menggunakan internet. Jadi, jelas perkataan Simbok hanyalah kelakar untuk menceriakan suasana.

"Pulsa itu modelnya seperti apa, sih, Mbok?" Sahara berniat menggoda Simbok sambil meletakkan gelas bekas pakainya di tempat cuci piring.

Sahara membiarkan Mbok Jah menggerutu sambil membereskan cucian piring karena tidak bisa menjawab pertanyaannya. Dia keluar dapur menuju bagian depan rumah. Tak lama kemudian, sebuah mobil membunyikan klakson. Sahara keluar pagar dan naik ke kendaraan online yang sudah dipesannya.

Arus lalu lintas Surabaya sangat ramai di jam pulang kerja seperti ini. Untungnya, tidak ada kemacetan panjang yang bisa menjengkelkan Sahara. Dia sampai di tujuan dalam waktu tiga puluh menit. Terlambat lima menit dari waktu yang telah disepakatinya dengan Yunita. Namun, senyum temannya itu langsung mengembang begitu pintu Zangrandi tertutup di belakangnya.

"Sahara, kangen banget. Lama nggak ketemu." Yunita menyambut Sahara dengan pelukan ringan sebelum kembali duduk di tempatnya semula.

"Berlebihan," sahut Sahara dengan senyum terkembang. "Minggu lalu kita ketemu di ICU, masa lupa?"

"Sahara ini lama-lama nggak elit, kok. Ketemu di ICU kok diomongin. Itu tuh dalam rangka mengantarkan pasien yang katamu lumayan buat meregangkan tulang belakang yang kaku akibat kebanjiran pasien." Yunita jelas tidak terima dengan ucapan Sahara meskipun itu adalah kenyataan.

"La terus maumu bagaimana?"

"Ya begini ini, Sahara. Ketemuan yang lebih manusiawi. Jangan melibatkan pekerjaan, apalagi yang di dalamnya terdapat pasien-pasien gawat yang selalu dikirimkan oleh departemenmu padaku."

Sahara tersenyum menatap Yunita yang mengerucutkan bibir. "Kalau tak kuberi pasien, bisa nganggur tujuh turunan kamu, Net."

Ada banyak kesenangan karena bisa melewatkan waktu bersama teman. Bukan membicarakan sesuatu yang penting, tetapi bisa mengundang tawa. Kadang-kadang apa yang dibicarakan Yunita justru membuat Sahara merasa jengkel. Seperti kali ini, dia terdiam ketika mendengar ucapan teman seperjuangannya sejak zaman kuliah.

"Kakakmu kirim pesan ke aku. Dia bilang kamu nggak balas pesannya."

Meski sebenarnya malas mendengar laporan tentang Lucia, Sahara tidak bisa mengabaikan ucapan temannya. Mau menutupi perasaan pun rasanya percuma. Tidak ada yang dia sembunyikan dari Yunita.

"Kamu jawab apa?"

"Aku hanya bilang mungkin kamu sibuk dan lelah. IGD tak sesantai poli anak di mana pekerjaan kita terlihat seperti bermain."

Sahara mengangguk. Dia tahu kalau Yunita pasti bisa menjawab pertanyaan Lucia dengan baik. Dia bukannya tidak tahu kalau sepupunya akan berbuat hal seperti ini. Ada banyak pesan yang tak pernah ia buka. Rasanya malas, kemungkinan pasti hanya menanyakan sesuatu yang tidak penting atau kalaupun penting ... itu pasti tidak jauh-jauh dari rengekan yang mengatakan tentang kesepian dan kepulangan.

"Jawaban bagus, Net. Kutraktir, deh, besok makan siang."

"Memangnya kamu nggak mau tahu pesan lain yang dikirim mbakmu?"

"Memangnya penting?"

"Dokter Dirga sakit, Sa."

"Terus?"

Memangnya kenapa kalau Dirga sakit? Pria itu sudah beristri, bukan? Mengapa harus mengabarinya melalui Yunita setelah dia abaikan? Jauh di lubuk hatinya ... ada rasa tidak tega mendengar kabar itu. Namun, dia bisa apa? Segala sesuatu mengenai laki-laki itu sudah bukan urusannya lagi. Selain sudah beristri, di sana juga ada keluarga yang begitu menyayanginya. Jadi, buat apa Lucia harus mengirim pesan aneh ini?

"Mikir nggak, sih, Sa, kalau saudaramu itu butuh perawat untuk suaminya?"

"Mikir nggak, sih, Net, kalau dia itu kerja di rumah sakit dan bisa mendapatkan layanan kesehatan mana pun yang diperlukan?"

Yunita tertawa sambil menyendok es krim banana split yang dipesannya. Tak perlu dikatakan bagaimana isi hati Sahara. Di satu sisi memang ada rasa khawatir mengingat betapa menyulitkannya Dirga saat sakit. Susah makan, apalagi minum obat, dan sejak dulu memang hanya dirinya yang sanggup membujuk. Namun, di sisi lainnya ... kejengkelan Sahara juga perlahan memuncak. Setelah membuatnya tersingkir tanpa perlawanan, kini dibutuhkan untuk alasan yang sudah dia tahu. Sejujurnya ... jika pria itu dipanggil oleh Yang Kuasa, Sahara tetap tidak akan datang.

Jahat? Memang, bukan Sahara yang memulai semua ini. Kejam? Tak lebih kejam dari semua kesenangannya yang telah direnggut paksa. Bisa atau tidak Lucia menangani suaminya, itu bukan urusannya.

"Jangan ngelamunin Dokter Dirga." Yunita mendorong es krim macedonia yang dipesannya untuk Sahara. "Mendingan makan es krim kesukaanmu dulu. Keburu leleh itu, Sa."

Menikmati es krim sesendok demi sesendok nyatanya mampu menurunkan emosi Sahara yang sempat meninggi. Makanan yang satu ini terbukti mampu meredam suasana hati yang buruk akibat masa lalu yang belum jauh tertinggal. Sakitnya masih terasa, gejolak hatinya pun belum surut.

Mata Sahara menatap keluar kedai dan menemukan sosok gagah yang sepertinya dia kenali keluar dari mobil. Sejenak pikirannya mengembara. Memindai penampilan tidak rapi yang anehnya terus menarik matanya untuk menatap pada subjek yang sama. Celana jeans yang memiliki sobekan di lutut, sepatu lusuh, dan topi yang terbalik. Kali ini ditambah sebuah kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Damn! Meski tak rapi, itu adalah penampilan yang cukup menawan.

"Lihat apa, Sa?" tegur Yunita sembari menatap ke arah mata Sahara di luar sana.

Sahara gelagapan mendengar pertanyaan Yunita. "Eh ... itu, bu-bukan apa-apa. Iya, aku nggak lihat apa-apa." Kembali fokus pada es krim adalah caranya untuk menyelamatkan dirinya dari cecaran pertanyaan Yunita.

Semoga saja tak ada pertanyaan lanjutan. Ketika Yunita pun kembali menikmati es krim, Sahara memberanikan diri untuk melirik keluar. Sosok yang dilihatnya tadi sudah tidak ada, begitu juga dengan mobilnya. Ke mana perginya? Kenapa cepat sekali? Berapa lama dia tidak bertemu pria itu? Tanpa sadar Sahara berhitung dalam hati kapan terakhir kali dia bertemu Kalahari.

La dalah. Jadinya mikirin Dirga apa Kalahari, sih? Bingung akutuuuu. Vote dan komenin yang banyak, biar semangat ngebut bikin bab selanjutnya🤟

Love, Rain❤

Masih Ada Edelweis yang LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang