🍁 25. Kabar dari Rumah 🍁

4.5K 1.1K 94
                                    

Selamat malam, temans. Ney, Sahara datang buatmu🤭🤭

"Dari mana, Sa?"

Sahara terkejut ketika mendengar pertanyaan bernada lembut yang rasanya sudah lama tak terdengar. Singgih datang di hari kerja beserta istri yang kini setia menemani ke mana saja. Entah berapa lama tak bertemu, wajah pria baik itu terlihat berseri-seri.

"Om!" seru Sahara. "Kapan datang? Nggak ngabarin Sahara. Tambah cantik, nih, Tante Mei." Sahara meletakkan tas di kursi sebelum menghambur dan memeluk Mei.

"Sini!" Singgih mengisyaratkan supaya Sahara duduk di sampingnya.

Sahara ragu, tetapi anggukan dari Mei meyakinkannya. Dia mendekat pada Singgih. Setelah duduk di samping pria yang sudah dia anggap sebagai ayah itu, matanya membola.

"Ini ... buat Sahara?" Ucapannya sempat terbata. Ketidakpercayaan menghinggapi hatinya selama beberapa saat.

"Ya iya buatmu. Om dan tante baru pulang dari Singapura. Mengunjungi Karina. Masih ingat dia?"

Sahara mengangguk. "Iya. Kakak kembar yang sudah menikah dan sekarang tinggal di sana." Senyumnya mengembang ingat anak Singgih yang dulu sering bermain bersama. Bahkan saat sekolah menengah pun, mereka selalu menyempatkan untuk keluar berdua di akhir pekan. Tentu saja tanpa Lucia, karena gadis itu tidak suka ketika setiap topik pembicaraan diabaikan oleh Karina.

"Betul. Mainlah ke sana kalau libur. Pasti waktunya cukup, penerbangan pun tak lama."

"Pah, itu Sahara belum jawab dia dari mana tadi. Mei mengingatkan sambil meletakkan segelas kopi di meja.

Singgih tergelak lalu meraih kopi. "Benar. Jadi, dari mana kamu tadi? Yang jelas bukan bekerja karena bajumu tidak kelihatan sama sekali kalau pulang dinas. Lagi pula, ini terlalu awal juga. Baru pukul dua."

"Dari berenang." Sahara menjawab seadanya. Tangannya membuka kantong berisi garret popcorn, cokelat merlion, serta beberapa botol parfum. Air matanya menetes, tak kuasa membendung rasa haru yang tiba-tiba memenuhi dada.

"Eh, kenapa nangis?" Mei duduk di samping Sahara yang lain setelah menyambar selembar tisu dan menempelkannya di pipi gadis yang sudah dia anggap seperti putrinya sendiri.

"Terharu, Tante. Sudah lama-"

"Sudah. Biasa saja itu, Sa," tukas Singgih. "Ada juga royal puding. Sudah masuk kulkas barangkali."

"Makasih, Om, Tante. Aduh, kenapa sih ini mata Sahara basah sendiri," celotehnya seraya mengeringkan mata karena luapan rasa haru yang tak berhenti.

Singgih dan Mei tergelak. Jadilah Sahara turun ke karpet, membuka satu per satu tutup parfum. Menghidu semua aroma yang membuatnya merasa beruntung. Sudah lama sejak terakhir kali Restu membawakannya benda yang sama.

Seperti anak kecil mendapatkan mainan dan makanan, Sahara duduk tenang bersama Singgih yang menonton televisi. Mei sendiri sudah meluncur ke dapur. Mungkin memasak sesuatu untuk suaminya. Kebiasaan yang Sahara baru tahu, bahwa penolongnya itu hanya menyukai makanan berat.

"Saya bertemu papamu beberapa hari yang lalu, Sa."

Sahara mendengar ucapan Singgih, tetapi tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Sejujurnya, dia tidak ingin tahu dan tidak mau tahu segala aktivitas yang dilakukan Restu. Cukup baginya setelah meninggalkan rumah dalam keadaan tidak baik. Meletakkan rasa sayang mendalam memang tidak mudah, tetapi Sahara tak ingin lagi memendam luka.

"Sa, Om ini bicara sama kamu, loh." Singgih memperingatkan, satu tangannya mengusap lembut kepala Sahara.

"Sahara dengar, Om. Tapi, nggak tahu harus komen apa."

Masih Ada Edelweis yang LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang