🍁 3. Hari Terburuk 🍁

4.1K 977 146
                                    

Selamat malam ... yayangnya Dirga🤭🤭. Ney kubawakan lanjutan ceritanya. tapi jangan nganu, ya😝😝
.
.

"Saya terima nikahnya ...."

Sahara merasa dunianya berputar. Telinganya berdengung sementara tubuhnya terasa seperti dijepit dalam ruangan sempit. Suara Dirga menghilang bersamaan dengan meningkatnya denyut jantung Sahara. Saluran udara di antara hidung dan paru-parunya mengecil, sementara isak tertahan keluar saling menyusul.

"Sah."

Ketika kata itu diucapkan dengan lantang disusul doa-doa yang dipanjatkan untuk kedua mempelai, Sahara mundur pelan-pelan. Bersyukur orang-orang begitu khidmat dalam doa sehingga tak ada yang melihat tingkah pengecutnya. Setidaknya, kepergian Sahara hanya diketahui oleh keamanan di pagar masjid. Wajah penuh air matanya aman dari tatapan para tamu atau kedua keluarga yang kini sudah menjadi saudara.

Sahara berlari ke kamarnya begitu tiba di rumah. Kedua mempelai beserta keluarga langsung ke hotel untuk persiapan resepsi. Sahara pasti akan datang, tetapi dia perlu sedikit waktu untuk kembali meratapi prahara yang baru menimpa hidupnya.

Duduk di pembaringan, mata Sahara terpaku pada pigura di meja. Ada gambarnya yang sedang menemani Dirga di acara pengucapan sumpah jabatan sebagai dokter. Pria itu adalah hal terindah di sepanjang hidupnya sebelum keputusan tak adil datang dan membuatnya berlalu.

Yang tersisa hanyalah suara tawa Dirga di berbagai sisi ingatan Sahara. Seluruh keceriaan yang mereka lalui bersama masih terasa memeluk hari-harinya. Itu dulu ... hingga beberapa hari yang lalu sebelum kenyataan merampas semuanya. Kebahagiaannya terenggut dan menghilang. Diambil paksa oleh Lucia, sepupu yang sudah mengambil semua miliknya, termasuk perhatian orang tuanya.

Dirga pun sama saja. Pria itu melewatkan banyak hari dengan Sahara, tetapi meninggalkan jejak luka yang tak akan pernah sembuh. Bagaimana dia harus melalui hari sekarang? Tak hanya merenggut hatinya, lelaki itu seolah telah membuat napasnya berhenti. Tanpa belas kasih sedikit pun, Dirga melamar sepupunya. Dia tahu kalau tidak ada hubungan apa pun antara dirinya dengan Dirga. Namun, kedekatan sejak lama itu mestinya bisa dijadikan sebagai tolak ukur. Paling tidak, sedikitlah peka. Jika memang tak ada rasa cinta, tak seharusnya memberi harap dan terus dipupuk setiap hari, bukan?

Mengingat bagaimana lancarnya Dirga melamar Lucia, Sahara menjadi emosi. Dengan langkah tegap dia mendekati meja dan meraih foto kenangan mereka. Dihempaskannya pigura kaca itu ke dinding di pojok kamar hingga jatuh dan hancur berkeping-keping. Fotonya melayang lalu mendarat terbalik di atas puing-puing yang baru saja dibuatnya.

Tidak. Sahara menolak meratap seolah Dirga adalah satu-satunya orang penting di dunia. Dia sadar telah menghindar dari kenyataan. Bagaimanapun sakitnya, dirinya harus tetap menampilkan diri sebagai wanita kuat. Di mata semua orang, dia harus tampak baik-baik saja. Termasuk di mata orang tuanya, keluarganya yang tidak peka. Tak seorang pun boleh menatapnya penuh rasa kasihan seolah dirinya patut untuk dikasihani.

Sahara melangkah ke dapur. Dia mengambil mentimun dari kulkas dan membawanya ke kamar. Tak lama kemudian ia berbaring dengan potongan mentimun menutupi mata. Rasanya dingin dan nyaman. Sahara melakukan hal yang sama beberapa kali hingga memutuskan untuk menyudahi perawatan mata. Wajahnya sudah terlihat baik-baik saja.

Setelah merapikan penampilannya, Sahara siap pergi ke hotel. Tiga puluh menit kemudian dia sampai, tepat ketika Dirga dan Lucia melangkah bergandengan menuju pelaminan. Tak akan dia biarkan orang melihat kerapuhan dirinya. Ah, berkali-kali Sahara menetapkan hal itu di hati, tetapi nyatanya tetap saja dia akan menangis beberapa saat kemudian. Memang plin-plan, tetapi melihat kenyataan yang menimpanya ... pasti tak seorang pun akan menyalahkannya.

Masih Ada Edelweis yang LainWhere stories live. Discover now