Part 2 : Mencoba Tegar

20 0 0
                                    

" Happy anniversary sayang " kecupan hangat mendarat di keningku.

Tak terasa hari ini sudah menginjak satu tahun pernikahan kami. Seketika aku mengenang hari dimana aku dan Mas Rian duduk tepat di hadapan Pak Penghulu. Di saksikan kedua belah pihak dan puluhan pasang bola mata.

Kami bersatu setelah mendengar para saksi mengucap kata sah. Satu kata yang selalu di nantikan setiap kaum hawa. Penantian selama enam tahun akhirnya selesai sudah.

" Semoga hubungan kita segera di lengkapi bayi mungil ya mas " ucapku lirih.

" Aamiin, udah yah jangan nangis, biar gak sedih lagi, nanti malem kita dinner " tangan hangatnya mengusap pipiku yang di banjiri air mata.

" Oh iyah, kamu pasti lupa. Minggu lalu mamah nyuruh kita kerumahnya kan. Kita botram selagi aku libur "

Jarak rumah ibu mertua ku tak jauh dari tempat tinggalku. Tapi rasanya aku enggan untuk ikut acara makan bersama itu.

" Pasti sama ibu-ibu depan rumah mamah yah " tanyaku dengan nada sedikit malas.

" Pasti lahh, kamu kan tau sendiri sebulan sekali pasti botram sama tetangga yang lain ."

" Kenapa malah bengong ?" Mas Rian membuyarkan lamunanku.

Aku dalam keadaan dilema. Jika aku tidak ikut bergabung, nanti dikira tak bisa menghormati mertua. Tapi jika aku ikut, apa aku bisa terus tegar.

" Mas tau apa yang ada di pikiran kamu " timpalnya karena aku masih diam membisu.

" Kamu tenang aja, mas pasti jadi perisai nya kamu kok " kali ini dia membujukku dengan cara merayu.

Aku hanya menyimpulkan senyum, karena sedang tidak ingin mengatakan satu patah kata pun.

" Yukk otw ! nanti kalau telat malah keburu mateng semua lauk nya ." Tangan nya meraih jari jemari ku.

Sejak beberapa bulan terakhir, satu bulan sekali halaman rumah mertuaku selalu ramai.

Beberapa tetangga mengadakan acara makan bersama. Para wanita memasak dan para lelaki hanya berbincang sambil menunggu semua masakan siap di sajikan.

Hanya beberapa menit dari rumahku. Akhirnya kami sampai di lokasi tujuan. Belum begitu ramai, tapi sudah ada beberapa orang yang datang.

" Nahh dua sejoli udah datang !" Seru pria yang tengah berbincang dengan bapak-bapak lainnya. Kami pun di sambut hangat.

Bapak- bapak memang berbeda jauh dari para emak. Mereka tidak pernah ingin tahu tentang kehidupan orang lain. Topik yang di bahas pun paling seputar bola, kerja bakti, mancing. Pembahasan yang tidak ada unsur ghibah.

Tapi para emak, topik yang di bahas sungguh menguras emoji. Ehmm maksud nya menguras emosi.

" Ehh Bu, ternyata anaknya Bu. A udah hamil sebelum nikah !"
" Anak nya Bu. B keluyuran terus pulang di anter lelaki ".
" Anak Bu. C gak pernah ke mana-mana, gimana mau dapet jodoh ".

Itulah sekilas pembahasan para emak. Un faedah bukan? Bisakah topik ghibah para emak di luar sana di ganti. Pembicaraan yang berfaedah, minimal untuk diri sendiri tanpa ada rasa menyakiti.

" Eh Bu, tau gak? Kemaren sandal jepit saya putus, terus berkat ada tukang bangunan, akhirnya sandal saya berfungsi lagi. Tukang nya baik banget ngasih saya paku buat nambal penjepit nya.

" Tau gak Bu? Lipstick saya habis, terus saya korek-korek pakai jari kelingking, akhirnya saya bisa pergi kondangan ."

Sudahlah, setiap hal buruk memang sulit untuk di hilangkan.

" Kamu ke dapur aja langsung, aku disini ngobrol sama bapak-bapak " pintanya seraya mengusap kepalaku.

Saat memasuki dapur, terlihat ibu mertuaku sedang memilah toge. Dan dua orang lainnya sedang menyiapkan wadah yang akan di pakai.

" Belum pada dateng semua mah " tanyaku yang tanpa sengaja mengejutkan ibu mertua ku.

" ehh iyah belum, ini mamah sengaja tadi beli toge buat kamu. Biar nanti nya subur ."
Beliau menjawab dengan nada yang ramah, tapi entah kenapa hatiku rasanya sakit.

" Iyah mah makasih, aku ke toilet dulu yah mau cuci kaki ."

Aku berbohong pada mertuaku. Aku berlari ke toilet bukan untuk mencuci kaki ku yang tidak kotor sedikit pun. Tapi aku tak tahan ingin meluapkan sesuatu yang membuat dada ku sesak.

Aku menangis pelan, aku malu. Ada orang lain di sana, tapi tanpa sadar mertuaku sudah membuat ku tersinggung.

Dalam hati, aku mencoba menghibur diri sendiri.

" Inget kata Mas Rian, anak juga termasuk rizki dari Tuhan. Kalo udah rizkinya pasti bakalan aku dapetin " gumamku seraya mengusap perut dan membayangkan ada jabang bayi dalam perutku.

Aku menyeka jejak air mataku dan membasuh kedua kaki agar mertua ku tidak curiga.

" Toge nya mamah taro di wadah plastik, nanti di makan mentah lebih bagus " perintahnya saat melihatku keluar dari toilet.

" Harusnya di awal-awal nikah rutin makan toge, atau jamu penyubur ." ucap salah seorang tatangga yang sedang mengiris cabai.

Mendengar itu aku dan mertuaku hanya membalas dengan senyuman, dan entah apa yang sedang di pikirkan mertuaku setelah mendengar saran yang di lontarkan ibu tadi.

" Saya juga jaman muda dulu rutin minum jamu, katanya biar makin subur, tiga minggu nikah langsung hamil " ucap wanita yang sedang mencuci beras, rupa nya dia pun ikut menyimak pembicaraan kami.

Setiap bulan aku harus berhadapan dengan situasi seperti ini. Aku mau datang ke sini atas bujukan Mas Rian yang akan menjadi perisai ku.

Tapi dia tidak bisa melindungi ku agar terhindar dari topik soal anak lagi. Aku pun tidak enak jika mengganggu dia yang sedang berkumpul dengan bapak-bapak.

Saat ini aku benar-benar lelah. Tak ada satu pun diantara mereka yang tau apa yang sudah aku lakukan agar bisa memberikan cucu pada mertu dan keluargaku. Dan masalah apa yang aku hadapi hanya aku dan Mas Rian yang tahu.

Mungkin setiap orang selalu berfikir, kalau aku tidak mau berusaha ikhtiar lewat medis atau produk yang sudah mereka sarankan, hingga mereka terus saja memberikan saran, yang tanpa mereka sadari sudah membuat seseorang seperti di timpa beban yang begitu berat 😥

Apa yang mereka ucapkan, mengingatkan ku pada ucapan dokter kala itu. Diagnosa yang membuatku cukup terpuruk.

Lelah?? " Iyah "

Apa mereka tau ? " Tidak "

Aku dan Mas Rian memang sudah sepakat untuk tidak menceritakan apa saja yang sudah kami lewati, sekalipun itu orang tua ku sendiri.

Karena bagi kami, masalah rumah tangga tak perlu di ungkapkan pada semua orang. Seandainya semua masalah kami bagi, belum tentu mereka akan mengerti.

Cucu Untuk MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang