Bab 23: Kulit Bedug

Start from the beginning
                                    

"Ide bagus. Kebetulan ada sesuatu yang harus aku kerjakan," katanya.

"Oke. Nanti pulang sekolah kami mampir lagi."

Dean memutus sambungan dan menaruh handphone-nya di saku celana. Xavier langsung melayangkan protes padanya.

"Kenapa kamu bilang aku mau gantikan dia lagi?" ujar Xavier sebal.

"Katanya kamu mau sekolah."

"Aku tidak bilang seperti itu."

"Terus maunya apa, sih? Gak jelas banget jadi orang! Udah. Kalau mau berangkat ya oke, enggak juga terserah."

Dean kemudian keluar dari kamar meninggalkan Xavier yang hanya bisa tertunduk lesu. Dia kemudian menoleh ke tempat gantungan baju di sudut ruangan. Di sanalah seragamnya menggantung. Setelah membuang napas kasar, Xavier malas-malasan mengambil seragamnya. Namun ketika hendak mengenakannya, Xavier tiba-tiba ingat sesuatu. Dia belum mandi. Jurus mandi bebeknya dia gunakan lagi sebelum berganti seragam dan keluar untuk ikut sarapan.

Nasi goreng buatan Ayah Bima sebanyak satu piring penuh dihabiskan Xavier. Dia harus punya tenaga yang banyak untuk akting menjadi Aiden. Selesai sarapan, Luna memesan taksi online lagi sebagai kendaraan untuk berangkat sekolah. Enak sekali kehidupan anak sekolah di dunia ini, pikir Xavier.

"Semua siswa di dunia ini naik taksi online, ya, kalau ke sekolah?" celetuk Xavier ketika mereka bertiga menunggu taksi yang belum datang di pinggir jalan depan bakery.

"Enggak semuanya, kok. Ada yang naik motor kayak Reynand. Ada yang naik angkot seperti itu." Dean menunjuk sebuah mobil yang lewat di hadapan mereka.

"Yang itu, kan, bentuknya sama saja dengan yang kita naiki." Mata Xavier mengikuti mobil yang makin menjauh.

"Tapi cara naiknya beda. Kalau angkot, harus nunggu dulu di pinggir jalan. Gak bisa dipanggil. Terus ada jurusannya juga, gak bisa sembarangan naik. Nanti kamu bisa tersesat."

Xavier termenung sebentar. "Kalau taksi online, tujuannya bisa terserah kita?"

Dean mengangguk yakin. "Iya."

"Kalau begitu, aku bisa pesan taksi online untuk pulang ke Cloudpolis?"

Dean dan Luna tiba-tiba kompak menoleh pada Xavier dengan ekspresi heran.

"Cloudpolis ada di dalam buku. Gimana cara ke sananya?" Dean berujar dengan wajah kesal. Xavier merengut dibuatnya.

"Aku, kan, bisa datang ke dunia ini. Harusnya aku bisa pulang ke duniaku juga, kan?"

"Iya, tapi gak pakai taksi online!" Wajah Dean tampak makin kesal. Dia bersedekap dan menatap lurus ke jalan yang dipenuhi kendaraan berlalu-lalang.

Setelah beberapa saat, taksi yang dipesan Luna berhenti di depan mereka. Mobil berwarna hitam itu segera meluncur menuju sekolah. Tidak ada percakapan apa pun selama perjalanan. Hanya terdengar senandung lagu yang Xavier tidak tahu asalnya dari mana. Mungkin mobil ini bisa memutar lagu juga, pikirnya. Setelah hampir ketiduran, barulah mobil itu menepi di depan gerbang sekolah.

Xavier malas-malasan mengikuti Dean dan Luna yang masuk ke area sekolah duluan. Tiba-tiba, dia diadang beberapa orang gadis sampai membuatnya nyaris terperenyak. Sebisa mungkin Xavier menyembunyikan wajah terkejutnya. Dean dan Luna tidak menyadari hal itu, sehingga Xavier tidak bisa meminta tolong. Gadis-gadis itu menarik jasnya dan merengek meminta nomor WA. Xavier plonga-plongo tidak paham.

"N-nomor apa?" Xavier menatap gadis-gadis itu kebingungan.

"Nomor WA!" tegas seorang gadis. "Ayo, dong, kasih. Jangan pelit!"

"M-maaf, aku tidak punya."

Xavier melepaskan diri dan memacu kakinya untuk berlari. Di belakang, gadis-gadis itu malah mengejar. Xavier menoleh sesekali dengan napas terengah. Tiba-tiba dia teringat dengan gadis yang peluk-peluk Reynand sembarangan.

"Sebenarnya tempat apa ini? Kenapa banyak perempuan aneh?" omel Xavier sambil terus berlari.

Akhirnya Xavier bisa menemukan pintu kelas tanpa tersesat. Namun belum juga dia menstabilkan deru napas, Felly sudah menghambur ke arahnya sampai membuat Xavier terkejut. Makin tidak habis pikir saja dia dengan perempuan-perempuan ini.

"Aiden, kamu masuk akun lambe sekolah!" pekik Felly sembari menunjukkan handphone-nya.

Xavier membelalak karena wajahnya terpampang di layar. Posisinya ketika dia berdiri di pinggir lapangan dan berhasil memasukkan bola ke dalam keranjang.

"K-kenapa wajahku bisa masuk ke situ?" Telunjuk Xavier mengacung ke handphone Felly.

"Kamu udah bikin gempar cewek-cewek!" ujar Felly berapi-api. "Kamu didukung buat masuk tim basket gantiin Reynand!"

Xavier tidak bisa menahan mulutnya agar tidak menganga. Kenapa situasinya jadi begini? Masa dia masuk tim basket setelah Reynand didepak? Bagaimanapun, Reynand dan Aiden adalah teman. Xavier harus berhati-hati agar tidak menimbulkan perselisihan di antara mereka berdua.

"Masuk tim basket apanya? Tidak mau!" kata Xavier sembari menyingkirkan Felly yang menghalangi jalannya. Dia berjalan menuju tempat duduknya.

"Wah, sekarang giliran kamu yang masuk akun lambe?" ujar Dean setelah Xavier duduk di kursinya.

Belum juga Xavier menjawab, Felly sudah ada di hadapannya lagi. Dia kembali meyakinkan Xavier untuk masuk tim basket.

"Ini kesempatan kamu buat memperbaiki citra diri," katanya.

Xavier termangu bingung. "Memperbaiki citra diri?"

"Duh, Aiden! Selama ini, kan, banyak gosip miring tentang kamu. Tapi aku yakin, kalau kamu sebenarnya gak kayak gitu. Iya, kan? Masa wajah seganteng ini disebut monster?" Felly bersedekap sambil cemberut.

Xavier mendengkus. "Lalu apa bedanya kalau aku masuk tim basket? Paling julukannya berubah jadi monster yang bermain basket."

Felly menggaruk pelipisnya dan mengamati wajah Xavier baik-baik. "Emang kamu beneran monster, ya? Kamu punya kelainan psikologis?"

Mulut Xavier terbuka dan menutup. Dia bingung harus menjawab apa. Belum juga dia bersuara, Felly sudah menginterupsi.

"Kalaupun punya kelainan psikologis, kamu tetap bukan monster, kan? Kamu bukan psikopat, kan? Memangnya kamu pernah bunuh orang? Kamu cuma punya masalah dengan ekspresi wajah. Iya, kan?"

Xavier menelan ludah mendengar Felly yang terus mencerocos layaknya keran bocor. Dean sampai menutup kedua lubang kupingnya dengan telunjuk. Sepertinya suara cempreng dan nyaring gadis ini sudah membuat kotoran telinganya hampir berlarian keluar. Sementara itu, perhatian anak-anak lain terpusat pada Xavier. Perkataan Felly telah berhasil membuat suasana kelas menjadi senyap.

"Aku memang bukan psikopat," ujar Xavier begitu saja.

Semua orang masih terdiam, sampai salah satu di antara mereka ada yang bertanya, "Terus apa yang terjadi dengan wajah kamu?"

"Wajahku ...." Ucapan Xavier menggantung sebentar. " ... cuma kaku."

Orang-orang kini menatapnya heran.

"Kalian tahu kulit bedug? Seperti itulah wajahku," kata Xavier lagi.

Sontak saja hening di dalam kelas itu berubah riuh dengan gelak tawa. Xavier sendiri bingung apa yang mereka tertawakan. Tatapannya kini berubah tajam ke arah Luna yang juga sedang tertawa. Xavier merasa sudah dikerjai oleh gadis itu. Sedangkan dia sendiri tidak tahu bentuk kulit bedug itu seperti apa sampai membuat orang-orang menertawakannya.

"Kok bisa, sih, dia ngomong kayak gitu dengan ekspresi lempeng?" celetuk seorang anak lelaki sambil terbahak memegang perutnya.

"Mukanya beneran kayak kulit bedug, kali," timpal yang lain.

Xavier hanya bisa menghela napas dan mengatur ekspresinya setenang mungkin. Padahal, dia ingin memelotot pada mereka sambil misuh-misuh. Seumur-umur belum pernah ada yang berani menertawakan sang pewaris takhta kerajaan Cloudpolis, tetapi hari ini adalah kesialannya. Hidupnya benar-benar sudah jungkir balik. Namun berkat hal itu, anak-anak jadi lebih berani bicara dengannya. Lebih tepatnya dengan Aiden—di mata mereka.

The Reason Why I LiveWhere stories live. Discover now