"Oke, next topic. Farmasi--" Jehan mengusap dagu runcingnya dengan salah satu tangan.

"Supply segala obat dan alat-alat untuk rumah sakit apa ada kendala?"

"Tidak ada, pak."

"Tapi perusahaan farmasi yang bekerja sama dengan kita menawarkan kontrak baru untuk kegiatan pelayanan gratis di kota terpencil bulan depan" jawab salah satu karyawannya.

Jehan memetikkan jarinya, "Nanti bawa kontrak itu ke ruangan saya."

Tok tok tok

"Permisi. Maaf mengganggu waktu rapatnya, pak. Tapi Bu Tania sudah menunggu dua jam lebih di ruangan bapak dan--"

"Iya, saya kesana sekarang" sela Jehan, pasrah untuk menghadapi ibunya yang datang secara tiba-tiba.

Jehan berdiri dan merapikan segala dokumen dan tablet di atas meja. "Rapat kali ini cukup sekian, jika ada sesuatu yang mendesak langsung datang ke ruangan saya"

"Baik, pak." jawab para karyawan bersamaan.

Sekretaris pribadinya mengambil semua berkas yang sudah dirapihkan oleh Jehan lalu mengikuti jejaknya yang pergi menuju ruangan khusus seorang direktur.

Jehan berjalan dengan penampilan tidak serapih tadi pagi, dua lengan bajunya sudah tergulung dan satu tangannya menggenggam jas biru gelap yang senada dengan celananya.

Jarak ruang rapat dengan ruang Jehan tidak begitu jauh, hanya dengan beberapa ruangan para pegawai biasa. Ini satu hal yang menjadi aspek kesukaan orang-orang, Jehan tidak mendiskriminasi ataupun menganaktirikan bawahannya. Pria itu menganggap bahwa mereka itu sama, meskipun jabatan dia lebih tinggi.

Biasanya ruangan untuk direktur terletak di lantai ke enam, namun karena sifat rendah hatinya Jehan, ia meminta untuk memindahkan ruangannya menjadi selantai dengan karyawan biasa.

"Berkas ini gue urus dulu di ruangan gue, kayanya ada bahasan penting sampe nyokap dan kakak lo rela nunggu dua jam," ujar sekretaris pribadinya yang membuat Jehan berhenti melangkah tepat di depan pintu ruangannya.

"Kakak gue ada di dalem juga?"

Sekretaris pribadinya mengangguk, "Btw, gimana proses nikahan lo?"

Jehan menatap sekretaris pribadi sekaligus teman seperjuangannya, "Nyokap gue dateng kayanya buat bahas itu"

"Lo beneran terima apa yang nyokap lo suruh? Nikah sama cewek yang ngga lo kenal sama sekali?"

"Umur gue 27, bro. Lo pengen punya bos jomblo sejati emang?" Jehan menggeleng, dan mendelik kesal.

Sekretaris pribadinya itu tertawa puas, "Jehan, jehan. Dari awal gue udah bilang cari cewek, jangan kerja mulu."

"Gue ngga perlu omelan lo, Mar. Pergi sono-" Jehan memberi tatapan datar sehingga membuat orang itu terkikik puas.

"Jangan lupa kasih gue undangannya! "

Tidak mau membuat ibunya menunggu lebih lama, Jehan pun masuk ke dalam ruangannya dan melihat sang ibunda tengah duduk bersantai ria tanpa melakukan apapun.

Tanpa perlu memastikan Jehan sudah pasti tau kalau ibunya datang bukan sebagai Ketua Dewan, melainkan sebagai orang tua yang sedang sibuk menyiapkan pernikahan untuk anaknya dengan wanita yang tidak pernah Jehan temui sebelumnya.

"Kenapa, Mah?" tanya Jehan langsung tidak ingin basa-basi seraya berjalan menghampiri Tania yang sudah tersenyum tidak jelas.

"Kamu udah ketemu Rasel belum?" tanya Tania.

Jehan menyandarkan tubuhnya setelah duduk di hadapan Tania lalu menghela napas. "Belum ada waktu, banyak yang harus--"

"Jehan, dia calon istri kamu. Coba ajak dia dinner kek atau apa kek terserah kamu. Setidaknya kamu tau dia sosok wanita yang kaya gimana," Tania berdecak kesal, beranjak dari duduknya, menyilangkan dua tangannya di area dada.

The Fate of Us | JaerosèWhere stories live. Discover now