"Ayo, kita makan!" Ajak Bara menatap mata Emilia.

"Cantik nggak?" tanya Emilia mengabaikan ucapan cowok itu, meminta tanggapannya terhadap topi yang ia kenakan di kepala.

Spontan Bara memandang Emilia lekat, seraya menarik bibir dan menyipitkan kedua mata. Detik berikutnya, cowok itu memiringkan kepalanya, dan menaikkan bibir bawahnya.

"Bentar," seru Bara, meletakkan hadiahnya di atas meja pajangan di sebelah Emilia, diiringi tatapan bingung gadis tersebut.

Bara membenarkan posisi topi yang menutupi poni Emilia dengan kedua tangannya, lalu menyematkan poni samping Emilia yang sedikit lebih panjang ke belakang telinga kirinya. Tindakan Bara tersebut membuat Emilia merinding.

"Oke, sekarang baru cantik." pujinya santai, menatap kedua mata Emilia.

Emilia membeku. Terkesima. Cantik? Gue? Malu dan asing, bercampur jadi satu.

Padahal Emilia hanya ingin bertanya tentang topinya. Apakah topi ini cantik atau tidak dari topi-topi yang lain. Bukan tentang bagaimana letak posisi topi itu dikepalanya. Apalagi menyematkan poni ke telinganya.

"Lo suka topinya?" Kini Bara melirik topi yang sudah terpasang baik di kepala Emilia, tapi gadis itu hanya diam—masih melongo, dan karena tak ada jawaban, Bara kembali menatapnya. "Hei!"

"Hah!" Seru Emilia terkesiap, kembali ke alam sadar.

"Lo suka topinya?" Bara mengulangi pertanyaannya. "Biar gue bayar sekalian, mumpung masih di depan kasir."

"Eh," sontak Emilia kaget. "Nggak. Gue cuman iseng aja kok makenya." Jawabnya tersenyum getir, dan segera meletakkan topi itu ke tempat asalnya.

Seingat Emilia, selain menyebalkan, Bara juga bukanlah Tama yang terlihat ramah dan asyik. Bara begitu dingin dan menyebalkan. Tetapi kenapa hari ini dia berbeda? Sikapnya lembut dan manis, juga—baik?

Apa aslinya begini kalau dia lagi senang? Pikir Emilia membatin, karena mengingat Bara sudah mendapatkan hadiah untuk kedua orang tuanya.

"Yakin?" tanya Bara sekali lagi.

"Iya!" jawab Emilia pasti.

"Ya udah, sekarang—ayo kita cari tempat makan."

"Eh! Makan?"

Bara mengangguk. "Lapar, nih!"

"Tunggu deh, gue nggak bawa uang lebih dari 50 ribu." jelas Emilia dengan raut wajah agak cemas. Uangnya tidak akan cukup untuk membayar dua porsi makanan di sini, satu porsi saja belum tentu. "Nggak bisa traktir lo di sini. Lain kali aja, ya?"

Bara agak melongo menatap Emilia, kemudian wajahnya mulai tertawa. "Gue yang traktir, tenang aja."

Emilia terperangah untuk kesekian kalinya. Apa dia lagi banyak uang? "Benaran?"

Bara mengangguk.

"Demi apa?"

"De—mi rebus," jawab Bara sekenanya. "Ayo..."

Sebentar, sebentar. Emilia memang tidak membawa uang untuk mentraktir Bara di sini, tetapi Emilia juga tidak ingin ditraktir. Namun di saat bersamaan, Emilia juga tidak bisa menolaknya.

Ah, sial! Gerutu Emilia, sesaat ia memejamkan matanya kuat.

Dia merasa serba salah. Apalagi mantan Kapten Basket itu membawanya ke foodcourt. Sebuah tempat makan yang terdiri dari gerai-gerai makanan yang menawarkan aneka menu yang variatif di lantai atas.

Bara memesan Steak Daging Giling dan Choco Mint-Tropical Tea di salah satu gerai untuk dua orang tanpa bertanya terlebih dahulu kepada Emilia. Bahkan sebelum memesan, cowok itu malah menyuruh Emilia untuk mencari tempat duduk—tidak perlu menemaninya. Dan begitu Bara datang, Emilia tampak terkejut melihat menu makanan yang dibawa Bara—salah satu makanan favoritnya, karena tidak terlalu sulit untuk dikunyah.

Namun anehnya, karena perlakuan cowok tadi, membuat perasaan Emilia menjadi tidak menentu, bahkan membuatnya tidak berselera makan—padahal steak daging giling itu tampak sedang menggodanya.

Apa ada perasaan canggung bikin orang jadi nggak berselera makan? Celetuk Emilia pada dirinya sendiri.

"Makanannya nggak enak?" seru Bara, memecahkan keheningan. Steak miliknya nyaris habis, namun sedari tadi ia melihat Emilia hanya memotong-motong makanannya dengan garpu.

"Enak." Emilia menjawab dengan hati-hati.

"Tapi kok kayak nggak doyan." Kata Bara mengamati Emilia dengan dahi agak berkerut. "Apa gue salah baca?"

Emilia menggerakkan satu telinganya, "Maksudnya?" ia terpaksa mendongak, menatap Bara sambil mengernyitkan dahi.

"Diary lo. Di situ ditulis lo suka steak daging giling." Jawab Bara seadanya, sebelum sesuap steak daging giling masuk ke dalam mulutnya. "Apa gue salah baca?"

Ah! Jadi ini bukan makanan kesukaannya? Timpal Emilia dalam hati.

"Lo baca itu?" Tanya Emilia terperangah, cowok itu menarik bibirnya tipis sambil mengangguk, seakan paham dengan ekspresi Emilia.

Pantas aja dia nggak nanya dulu ke gue mau memesan apa. Sahut Emilia dalam hati. Tapi baginya ini sungguh mengesankan. Bara mengingat hal kecil yang tidak penting dari dirinya.

"Lo nggak salah baca kok," kata Emilia kemudian. "Tapi gue juga nggak tahu—kenapa tiba-tiba gue jadi nggak berselera makan." lanjutnya bingung.

Emilia akan mual jika memaksakan diri untuk memakannya, walau nanti dia akan membayangkan steak ini di rumah.

Bara mengernyitkan dahi, "Mubazir sih, tapi ya udah, tinggalin aja kalau nggak selera." Tuturnya, memaklumi perasaan Emilia.

Emilia terkejut, "Boleh?" sahutnya menaikkan alis. Apa dia tidak salah dengar? Bara tidak memaksannya? Sikapnya ini sangat berbeda dengan saat pertama kali Bara mentraktirnya di sebuah kafe dekat sekolah.

"Boleh," jawab Bara sambil mengangguk dengan wajah santai. "Kan, lo yang bayar. Gue cuman traktir bayar pajaknya aja."

Tatapan takjub Emilia langsung berubah menjadi tatapan melongo mendengar kalimat akhir cowok itu, "Eh, tadi kan gue udah bilang—kalau gue..."

"Bercanda lagi," potong Bara, ia nyaris tersenyum lebar melihat ekspresi Emilia saat ini.

Sesaat Emilia bergeming, kemudian menggigit bibir bawahnya sambil menatap Bara agak kesal. Tidak sekali atau dua kali Emilia menyadarinya, cowok di depannya ini senang sekali menggodanya.

"Tinggalin aja, nggak apa-apa..." sambung cowok itu, menahan senyum gelinya, namun Emilia masih menatapnya lurus.

Tidak lama kemudian, mereka pulang bersama naik bus setelah mampir sebentar ke mushola untuk menunaikan sholat Magrib. Di dalam bus, Emilia mendapat tempat duduk, sementara Bara tidak. Cowok itu berdiri di dekat Emilia sampai orang yang duduk di sebelahnya berdiri—hendak turun.

Dan sepanjang perjalanan, entah kenapa Emilia jadi sedikit kaku saat Bara duduk di sebelahnya. Dia juga mulai mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal.

"Kenapa?" tanya Bara, menyadari tingkah Emilia.

Emilia hanya menoleh sesaat sambil tersenyum kikuk.

"Mulai lapar kan?" tebak Bara dengan wajah meledek.

Emilia terkesiap, lalu mendengus tersenyum. "Nggak tuh." Jawabnya, dan berpaling lagi menatap ke luar jendela.

Bara memasang wajah tidak percaya, "Lain kali kalau gue traktir lagi, lo harus habisin makanannya..." Tuturnya.

Emilia menoleh lagi sambil mengernyikan dahi, namun Bara sudah berpaling ke depan. Wajah cowok itu sulit diartikan. Apakah dia hanya bercanda atau serius mengatakan itu.

DELUVIEWhere stories live. Discover now