Mereka bermusik dari hati. Aku ingat sewaktu pertama kali menonton aksi panggung mereka karena diajak oleh Celia. Di pertemuan pertama itu, aku langsung menyukai mereka. Ada sesuatu di aksi panggung mereka yang membuatku sulit mengalihkan perhatian. Bukan wajah ganteng Aria atau Elkie yang pecicilan. Bukan juga permainan musik mereka.

Ada ketulusan di balik setiap lagu yang ditampilkan. Seperti nasihat Aria, mereka bermain musik dari hati. Bagi mereka, panggung adalah playground tempat mereka bermain tanpa beban.

Rasa itu ikut dirasakan oleh semua yang menonton aksi panggung itu.

Lamunanku terputus ketika Shaloom memelukku, lalu meninggalkanku untuk bertemu teman-temannya, mereka punya waktu satu jam untuk bersiap-siap. Sementara itu, di stage ada band sekolah yang lumayan bagus. Aku enggak tahu siapa mereka, tapi sepertinya mereka cukup terkenal kalau dilihat dari sambutan penonton yang datang.

Berusaha untuk tidak terpengaruh oleh kehadiran Aria, aku mencoba untuk menikmati penampilan band SMA ini. Sejenak, aku membiarkan diriku terlempar ke masa lalu. Aku suka mendengarkan musik, karena aku cukup tahu diri dengan kemampuan bermusikku yang payah. Aku sama sekali enggak kenal nada, bahkan telingaku sendiri menolak mendengarkan suaraku saat bernyanyi.

Bersama Celia dan Dinda, kami sering menonton live music. Semuanya didatangi, pensi sekolah hingga konser besar. Saat berada di tengah kerumunan yang sama-sama menikmati musik, aku merasa bebas dan lepas.

Aku enggak perlu mikirin rasa kesepian karena Papa yang sibuk dan tidak pernah ada waktu untukku. Aku enggak perlu bersedih karena merindukan kasih sayang Ibu. Aku enggak perlu berpikir apa-apa, cukup menikmati penampilkan musik yang menyenangkan.

"Do you miss it?" Aria berbisik di sampingku.

Saat ini kami berada di pinggir lapangan, tidak begitu jauh dari stage, agar Shaloom bisa melihat dari atas stage tapi juga tersembunyi dari kerumunan anak SMA ini. Sebenarnya aku tidak ingin bersama Aria, sekadar meminimalisir risiko kalau ada yang mengenalinya. Namun, Shaloom pasti akan protes kalau melihatku berjauhan dengan Aria. Dia sangat panik karena ini pengalaman pertamanya, dan aku enggak mau menambah beban Shaloom.

Aku tertawa kecil. "Enggak juga. Masaku sudah lewat."

"Ingat waktu kita menonton Summersonic di Chiba? Kamu enggak ada capeknya, padahal dua hari non-stop kita pindah dari satu stage ke stage lain."

Summersonic di Chiba, salah satu festival musik rock yang disukai Aria. Aku enggak begitu suka musik rock, tapi menerima ajakannya karena bisa liburan ke Jepang. Ternyata aku menyukai festival itu. Aria berjanji akan membawaku ke festival musik lain. Coachella, Glastonbury, Rock in Rio, dan lainnya yang sayangnya belum terwujud sampai sekarang.

"Aku suka melihatmu kalau sudah tenggelam dalam musik. You look sexy as fuck."

"Language," geramku sambil melirik ke sekeliling. "Kamu di tengah anak-anak di bawah umur."

Aria terkekeh. Dia kembali melirikku, kali ini berlama-lama menatapku. Tatapannya meneliti dari ujung rambut hingga kaki.

"Udah lama aku enggak melihatmu dengan concert outfit kayak gini. Seems like you were back to your twenties," ujarnya.

Aku tertawa kecil. Aria benar, karena aku merasa beda. Saat menatap pantulan bayanganku di cermin, aku serasa menatap sosok yang telah lama hilang.

Then I realize I miss the girl I used to be.

Sore ini aku mengenakan tank top yang dilapis cardigan tipis serta celana jeans dan sneakers. Shaloom sampai meledek karena dia enggak menyangka aku punya celana jeans.

The Daddy's Affair (Tersedia Buku Cetak)Where stories live. Discover now