Bab 2 Engklek

5 1 0
                                    

Dengan tatapan indah, Ibu menyaksikan pemuda sebaya putrinya yang juga duduk di sebelahnya. Makannya lahap sekali. Namanya, Bentala—sebut saja Benta. Nama yang gagah bukan? Tetapi sayangnya terkadang nama itu tidak mencerminkan karakter seseorang.

“Apa kamu sedang terburu-buru? Mau ke mana?” Tanya Kala yang sudah sedari tadi terkekeh geli.

“Ini enak sekali, jangan bilang kamu tidak suka makanan ini.”

Dialah Benta yang Kala sebut sebagai teman dekat, pemuda pemberani, ramah, dan cerdas. Bagaimana tidak cerdas, dia vegetarian jelas saja pasti banyak vitamin dari berbagai sayuran yang mendominasi keenceran otaknya—bercanda.

Benta sangat baik, ia tinggal di samping rumah Kala, bertetangga. Ia bak pemeran utama dalam cerita Kala, sebab setelah Ibu, Benta lah yang paling setia menemani Kala. Sejak kecil. Tubuhnya tinggi tegap seperti angkatan militer, rambutnya hitam legam, membuatnya terlihat kontras dengan kulit sawo matang keturunan suku Jawa.

Makanan di piring Benta sudah habis, ia kemudian meneguk segelas air bening, lalu berkata, “Bolehkah aku mengajak Kala ke taman dekat komplek? ada yang ingin berkenalan dengan seniman yang hebat ini,” tanyanya kepada Ibu.

Ibu mengangguk mengiyakan, “tentu saja, hati-hati ya.”

Benta ikut mengangguk, “berapa lama yang kamu perlukan untuk menghabiskan makanan di piringmu itu, La?” Kini pandangan Benta beralih ke piring Kala.

“Tunggu saja dengan setia,” jawab Kala yang acuh.

“Duh.. Apakah pengabdianku masih kurang, tuan puteri? Hingga kau masih meragukan kesetiaanku?”

Kala menoleh, menatap ibunya yang sedang membereskan piring kotor. “Ibu, sekarang aku mendadak ingin bertanya padamu. Jika terus diajak mengobrol, apakah makananku akan habis?”

Ibunya malah tertawa, tangannya kini pindah mengangkat lauk dan nasi. Sambil berbalik, lalu berkata, “sudah, cepat habiskan. Kasihan nanti Benta menunggu terlalu lama.”

Benta tersenyum. “Kau dengar tuan puteri?”

Sungguh menjengkelkan bagi Kala. Ia tidak berkata lagi, kini tangannya sibuk memilah nasi dan lauknya, lalu suapan demi suapan nasi masuk ke dalam mulutnya.

***

“Namaku, Alif.”

Sambutan tangan pemuda di hadapan Kala tidak ia balas. Gadis itu hanya mengangguk dan juga memperkenalkan  dirinya.

Alif yang mengerti juluran tangannya diacuhkan pun hanya tersenyum.
Tawa ricuh setiap orang dengan intonasi yang berbeda membuat suasana menjadi hangat. Kala memperhatikan banyak gerakan di sana, anak-anak yang bermain, gadis yang duduk selonjoran di atas rumput. Dengan sepaket alat lukis di pangkuannya, ada satu yang membuatnya berimajinasi panjang.

“Aku dengar kamu senang melukis, bukan?”

Kala mengalihkan pandangan. “Dengar dari siapa? Hanya Benta yang tau kalau aku suka melukis.”

Alif terkekeh, dia tidak mengira bahwa gadis di hadapannya ini seorang gadis yang jutek dan pemalu, padahal gadis ini terlihat sangat percaya diri. “Jika kamu tau jawabannya, kenapa kamu bertanya,” ucap Alif tidak kalah tepat sasaran.

Benta yang sedari tadi menyimak sambil menikmati sebotol minuman dingin pun tertawa melihat Kala tertegun. “Waktu kami tidak lama, Lif. Cepatlah.”

Pemuda bernama Alif itu mengangguk, “Bisakah kamu melukiskan sesuatu untukku?”

Kala mempersiapkan alat lukisnya, menyejajarkan easel dengan kursi rodanya. “Aku tau tujuanmu bertemu denganku, Benta sudah memberi tau.”

TAJUK (on going) Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ