Ch. 33: I'm losing my common sense

Start from the beginning
                                    

"Kamu udah makan belum?" tanya Luna setelah kami memasuki unit apartemennya. "Mau aku masakin sesuatu? Aku juga belum makan soalnya."

"Nggak perlu," timpalku seraya menaruh koper miliknya di dekat pintu kamar. "Nanti aku bisa pesan sendiri. Mendingan sekarang kamu mandi dulu sambil nunggu makanannya aku pesan. Setelahnya baru kamu minum obat dan istirahat."

Luna menahan tanganku ketika aku menarik ponsel untuk memesan makanan. Aku bergeming saat Luna berdiri di hadapanku. Tangannya yang tadi berada di lenganku berpindah ke pinggangku. Aku mengulum bibir begitu dia menatapku lekat dengan matanya yang terlihat sayu.

Sekilas dilihat dari wajahnya, aku tahu dia sebenarnya sudah sangat kelelahan dengan beban pekerjaannya yang tidak ada habisnya selama beberapa hari terakhir, tapi dia masih gigih mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja semata-mata tidak ingin aku mencemaskannya berlebihan.

"Aksa," panggilnya lembut, berhasil menyita seluruh perhatianku. Aku bergumam sembari menaruh punggung tanganku di kening lalu lehernya. Untungnya suhu badan Luna normal sekarang. "Kamu nggak capek, Sa? Kamu juga abis lembur tiga hari belakangan. Aku tahu kamu khawatir sama aku, tapi aku juga khawatir sama kamu. Kamu kelihatan banget ngantuknya."

Aku menaikkan alis. "Kelihatan banget?"

Tampaknya usahaku untuk menutupi rasa kantukku sia-sia. Pekerjaanku di kantor memang akhir-akhir ini sedang menggila karena deadline semakin dekat. Belum lagi manajer yang terus mencecar agar proyek merger salah satu perusahaan manufaktur bisa selesai tanpa ada kendala mengingat proyek itu adalah proyek besar.

"Banget, Sa." Luna meringis pelan. "Kamu yang paling bawel ingetin aku buat jaga diri, tapi kamu sendiri kayak begini. Aku udah bilang supaya jangan dijemput, tapi tetap aja kamu jemput. Kamu yakin nanti masih kuat nyetir sampai Depok?"

Aku mencubit hidungnya gemas. "Kamu nggak ada kangen-kangennya sama aku ya, Lun?" tanyaku sambil terkekeh. "Udah nyaris dua minggu kita nggak ketemu. Chat-an jarang karena sama-sama sibuk sama kerjaan, teleponan cuma sekali pas kamu demam kemarin. Aku sengaja jemput supaya bisa ketemu, eh kamu malah bilang nggak usah karena takut ngerepotin. Tega kamu."

Luna mengaku dengan pipi yang memerah. "Kangen."

Terlepas dari banyaknya waktu yang kami habiskan bersama, wajah Luna masih sering merona setiap kami bermesraan. Dia nyaris selalu salah tingkah. Aku pun masih belum terbiasa melihatnya malu-malu seperti ini. Kalau dia sudah salah tingkah, aku yang harus menahan diri untuk tidak menyalurkan rasa gemas secara berlebihan padanya.

"Mana buktinya kalau kangen?"

"Emang harus ada pembuktian?"

"Abisnya kamu daritadi kelihatan keberatan karena aku jemput."

"Bukan keberatan." Luna mencebik. Bibirku berkedut, menahan senyum. Sejak dia menerimaku dan kami resmi memiliki hubungan spesial, entah kenapa dia terlihat jauh lebih mudah berekspresi. "Aku senang kamu bela-belain jemput supaya bisa ketemu. Aku juga kangen sama kamu, tapi aku masih pengen lihat kamu hidup dan sehat sampai bertahun-tahun ke depan. Kalau kamu kenapa-kenapa di jalan karena ngantuk gimana?"

"Takdir," celetukku.

Luna refleks melotot dan memukul dadaku sementara aku mengaduh pelan lalu tertawa. Dia menatapku sengit dengan tangan yang bersedekap. Punggungnya bersandar pada dinding. "Sembarangan banget kamu ngomongnya!"

Aku menyeringai jahil dan menumpukan sebelah tangan pada dinding yang ada di belakangnya. "Ada yang mulai takut ditinggalin, ya? Takut kalau aku pergi, ya?"

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now