19. Sampah

1.6K 191 2
                                    




Pintar dan rajin, apalah artinya jika tidak punya uang. Bagi orang orang disekitar Namjoon waktu dirinya masih kelas 1 SMA, Namjoon itu bibit pohon pisang yang tidak memiliki tempat untuk ditanam.

Dirinya lulus akselerasi dan menjalankan masa SMA-nya dalam kurun waktu satu tahun. Tapi, tidak ada satupun yang bisa membuat anak yang kelewat jenius itu masuk ke universitas manapun meski ditawari beasiswa paling menjamin sekalipun.

Namjoon menyerah menerima beasiswanya karena kekurangan ekonominya. Anak yang malang, hidup tidak berkecukupan dikarenakan tuntutan hidup dan uang beasiswanya tidak mencukupi.

Mungkin, saat itulah awalnya mengapa Johnny mulai tertarik pada Namjoon. Sosok yang begitu cerdas, menjelaskan tentang mimpi dan tujuannya didepan semua orang. Mimpi yang besar untuk orang kecil sepertinya.

Namjoon itu selalu terlihat sebagai sosok pekerja keras dan tidak bisa menolak orang lain. Menghabiskan waktunya untuk membantu orang lain, mendatangi berbagai event yang membutuhkan pembicara, sampai lupa pada dirinya sendiri. Namjoon selalu begitu. Meski dia tidak suka, dia tidak punya pilihan lain.

"Jangan tersenyum seperti orang bodoh begitu, dasar idiot." Johnny mengatakan itu. Kepada pria yang sedang membaca buku dengan tenang dibawah pohon kampusnya itu.

Namjoon itu sosok yang tenang, namun dia sangat peka pada sekitarnya, jadi dia menjawab tanpa menoleh pada Johnny, "Apa maksudmu?"

"Mereka mentraktirmu makan hanya untuk meminta bantuanmu. Harusnya kau menolak mereka jika tidak suka." Johnny berucap terus terang. Dirinya berdiri disamping pohon besar itu, merokok dengan santainya didekat Namjoon.

"Aku suka ditraktir makan, kok."

"Kenapa? Memangnya kau tidak bisa makan dirumahmu?"

"Iya." Namjoon menjawab cepat. "Tidak bisa, karena aku harus menghemat uangku. Agar aku bisa makan."

Ucapan tegas itu membuat Johnny terdiam. Namun, cowok itu masih terus menghisap rokoknya dengan nikmat, "Namanya Ahn Yoora, kan?"

Kali ini, Namjoon menoleh, menatap Johnny yang masih merokok, dengan wajah sangat tidak bersahabat. "Kenapa kau menyebut nama pacarku?"

"Karena menjijikkan." Jawab Johnny, sarkas. "Cewek itu menjijikkan. Kau memberikan nyawa dan tubuhmu untuknya, tapi aku hampir bertemu dia setiap hari di klub malamku. Dasar bodoh."

"Aku tahu."

"Bodoh."

"Kau tidak berhak berkata seperti itu." Namjoon bersuara parau, "Aku yang memintanya bersenang senang. Aku yang meminta dia bergantung padaku. Aku hanya punya dia didunia ini. Kenapa kau mengurusi hubungan kami?!"

Johnny diam, menatap Namjoon yang kini menaruh perhatian padanya. Matanya memerah, menatap Johnny yang hanya bisa terdiam, kini dia tidak lagi mengisap rokoknya.

"Entahlah." Johnny tersenyum tipis. "Aku hanya merasa kalau kau kau menyedihkan."

"Apa kau lebih baik dariku?" jawab Namjoon. "Bukankah senang memukuli orang orang setiap hari dan cuci tangan sehabis melakukan keributan?"

"Ha. Kau tahu?"

"Kau melakukannya disekitar sini. Aku bisa melihatnya dari jauh. Bagiku kau lebih menyedihkan dari aku, dasar sampah."

"Sampah?"

"Iya, kau sampah. Kalau kau punya waktu luang mengganggu orang yang sedang belajar, lebih baik kau pergi kesuatu tempat dan lakukan bakti sosial."

Setelahnya, Namjoon berdiri dan kemudian membalikkan badan, meninggalkan Johnny sendirian disana.



.


.

.



"Konyol," komentar Namjoon.

"Aku serius, hyung. Setelah kau mengatakan itu, aku langsung jatuh cinta padamu." Johnny berucap yakin. Sama sekali tidak berniat berbohong sama sekali.

"Memangnya ada yang jatuh cinta karena dimarahi seperti itu?"

"Ada. Aku."

"Konyol."

Johnny tersenyum, sembari memeluk pinggang Namjoon, "Dari dulu sampai sekarang ucapanmu tetap pedas tapi bibirmu rasanya manis..."

"Diam."

"Kalau kau, hyung? Kapan mulai suka padaku? Apa sama sepertiku? Waktu kuliah?"

"Jangan bercanda. Waktu itu aku hanya tau belajar dan Ahn Yoora saja. Kau itu satu dari berandalan yang mengoceh padaku pada masa itu, tahu," jawabnya.

"Memangnya ada berandalan lagi yang mengoceh padamu waktu itu? Siapa? Akan kuhabisi mereka!"

"Kalau begitu, habisi dirimu sendiri. Kau yang paling mengganggu tahu!"

"B-bagaimana bisa... Ah! Tapi pokoknya kau sudah tahu aku kan waktu itu? Terus kapan kau suka padaku?"

Namjoon kemudian tampak berpikir. Tangannya memegang jemari Johnny yang sedang memeluknya erat itu, dan memainkannya. "Aku mulai suka padamu sejak kita bertemu pertama kali di pembukaan perusahaanku, kau ingat?"

"Oh! Pandangan pertama?"

"Tidak pandangan pertama. Malah aku mau menghindarimu. Tapi malah bertemu. Gara gara itu banyak yang melirik perusahaanku karena kau yang pertama kali menanam modal, ya kan?"

"Jadi kau suka uangku..." kata Johnny, pura pura sedih.

"Iya. Masalah?"

"Tidak. Lalu apalagi yang kau suka dariku? Hm?"

"Oh.. Setelah lama bekerja denganmu, kupikir kau cukup manis, jadi kubiarkan. Tapi aku tidak berpikir itu cinta..."

"Lalu kapan kau sadar kalau kau mencintaiku?"

"Sadar begitu saja. Perlahan, saat kau mulai menjauh." Namjoon menangkup wajah Johnny dan mencium bibirnya dengan lembut. "Saat kau tidak ada, aku rasanya ingin mencarimu dan menyentuhmu seperti ini. Aku ingin memastikan kalau kau itu milikku."

Johnny diam, membiarkan Namjoon yang terus menciumi bibirnya kecil dan pelan, tanpa lumatan. Berulang ulang, dan kemudian usapan kecil dibibirnya melalui jari Namjoon. "Kau tampan sekali, ya. Apalagi kalau dilihat dari jarak sedekat ini."

Johnny yang mendengarnya tersenyum kecil, sepertinya masih tidak biasa dengan pernyataan cinta dari Namjoon yang tidak biasa. "Jangan begini, hyung. Bisa bisa kau tidak kuizinkan pulang nanti."

"Tidak boleh, dong. Kau harus pulangkan aku besok."

"Tidak mau."

"Johnny..."

"Tidak mau..."

"Jangan manja... Aku tahu kau begini hanya untuk membuatku kesal, kan?" ucap Namjoon, sebal.

"Tapi aku memang tidak mau berpisah darimu... Nanti aku bertemu tante girang yang jahat bagaimana? Aku hanya mau bersamamu-"

Cup

Johnny membeku saat merasakan ada sesuatu yang lembab dilehernya. Namjoon mencium permukaan kulit tengkuknya dan kemudian menghisapnya dengan lembut. Berniat meninggalkan bekas keunguan disana. Lalu kemudian turun, berlanjut pada tulang selangka milik Johnny, menciumnya sampai bekas keunguan tercipta disana.

Setelah selesai, dirinya mengusap tanda itu dan tersenyum. "Perbarui tanda ini 3 hari sekali padaku. Jadi tidak ada yang berani menyentuhmu, Johnny."

Belum sempat Namjoon berucap lagi, Johnny langsung mendorong Namjoon kekasur dan menciumi lehernya dengan liar. Namjoon yang kaget hanya bisa mendesis saat Johnny melakukannya dengan kuat. Tangannya ditahan oleh tangan milik Johnny, seolah tidak membiarkannya bergerak untuk sekadar bereaksi pada ciuman ciuman ganas Johnny.

Ah, sepertinya tadi Johnny sudah peringatkan Namjoon untuk berhenti, kan? Karena Johnny susah berhenti jika sudah memulai.

Who's Dominant? - Namjoon x JohnnyKde žijí příběhy. Začni objevovat