37. Jealous

1.2K 133 9
                                    





"Permintaan maaf?" Namjoon menilik kearah kardus kardus berisi surat dan hadiah itu. Jackson tak kalah herannya, habis, semua perusahaan dan pejabat yang dulu banyak mempersulit mereka tiba-tiba mengirim hadiah, tentu saja ini bukan fenomena lazim.

Apalagi, sudah setahun Namjoon mencoba meyakinkan wakil presiden untuk mengizinkan perusahaanya membuka perpustakaan publik di taman kota, tapi tidak pernah diterima. Dibalas saja tidak.

Tapi sekarang anehnya dia mengirimkan kontrak hak pemakaiannya kepada Namjoon. Lengkap dengan kewenngan dan anggarannya.

"Sejujurnya, ini bagus, sih. Dia melihat rencana perpustakaan publik itu sebagai fasilitas umum dan mendanainya. Tapi... kenapa?" Gumam Namjoon.

"Aku juga tidak mengerti... padahal dulu kita ingin mengambil lahan kosong yang ditutup karena gagalnya pembuatan area skateboard. Tapi dia mati-matian menolak karena katanya proyeknya akan dilanjutkan saat dananya cukup, aku tidak mengerti kenapa dia melakukan ini sekarang."

Namjoon mengangguk, "Iya. Padahal aku bingung bagaimana cara mendanai perawatan perpustakaan publik karena kupikir akan mendanainya sendiri pembanngunannya. Ternyata pemerintah siap membantu sebanyak ini."

Jackson dan Namjoon hening lagi kemudian.

Mencoba menggali ingatan mereka untuk menemukan informasi mengenai sebab situasi aneh ini, tapi mereka tidak mengetahui satupun. Sungguh aneh.

***


"Halo, Namjoon-ssi."

Namjoon kaget lagi. Seperti biasa, dia seharusnya menghadiri rapat lagi dengan karyawan-karyawan dari Seo Group. Tapi anehnya, daripada mereka, yang muncul malah Johnny Seo. Berdiri didepan meja ruangan meeting dengan senyumannya yang biasa. Senyuman bisnis. Terlebih... dia memanggil Namjoon dengan formal.

Walaupun agak bingung, Namjoon tetap menarik kursi dua yang berjarak dua kursi dari tempatnya Johnny. Saat Johnny ingin bertanya mengapa Johnny mengambil tempat yang lumayan jauh, segera saja Jackson mengisi kursi kosong yang ditinggalkan Namjoon dan menatap Johnny dengan datar.

"Dimana staff anda, pak?" Tanya Jackson.

Johnny yang tadinya tersenyum ramah mengendurkan senyumannya. Rahanganya menajam, meski masih dengan senyuman kecil. "Aku merasa bersalah karena membiarkan mereka meeting sendiri. Jadi aku kemari untuk menebusnya."

"CEO. Menurutku..." Jackson memegang lengan Namjoon yang hanya diam sedari tadi, dan kemudian membisikkan sesuatu. Sementara mereka sibuk saling berbisik itu,

Johnny menatapnya dengan tatapan muak. Tangan pria itu mengepal dan wajahnya terlihat ingin seperti menghancurkan sesuatu saat itu juga.

Setelah Jackson menyelesaikan percakapan rahasianya dengan Namjoon, ia melihat kearah Johnny lagi, "Kami sudah selesai mendiskusikan seluruh proyeknya. Jadi anda tidak perlu tinggal lebih lama lagi. Kami mengirimkan dua jenis portfolio yang akan anda pilih nanti. Saya yakin karyawan anda akan mengantarnya."

Setelah berkata seperti itu, Jackson menarik tangan Namjoon yang duduk disampingnya. Dan Namjoon dengan bingung ikut berdiri, melirik Jackson yang terlihat jengah.

"Jack..."

"Lepaskan."

Mereka berdua terdiam begitu mendengar suara dingin dari belakang mereka. Johnny tersenyum sinis dengan tatapan tajam. Dia jelas melirik kearah tangan Jackson yang menggenggam tangan Namjoon,

Dan alisnya berkedut, Namjoon bisa merasakan Johnny yang menatap Jackson dengan senyuman sinis itu bisa jadi pertanda akhir sebelum Johnny meledak. Dia tahu itu.

Karena Namjoon selalu mengajarkan Johnny untuk menahan diri kalaupun dia sedang marah.

"Jack..." Namjoon berniat melepas pegangan itu,

Tapi Jackson malah mengetatkannya dan menyembunyikan Namjoon dibalik tubuhnya.

Apa ini?

Namjoon jadi merasa situasi ini sedikit... aneh?

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Johnny, kini senyuman tidak ada lagi. Hanya sorot mata geram yang tidak bisa ditampik.

"Berhenti main-main dengan CEO."

"Apa...?"

"Bukankah hubungan kalian sudah selesai? Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan secara pribadi, kan?"

"Kau serius akan membiarkan dia berbicara seperti itu padaku, Namjoon-ssi?" Johnny melirik Namjoon dengan senyuman psikopat. "Aku ingin merobek mulutnya itu."

"Jackson. Sudah."

"Tapi kau-" Jackson berhenti sesaat ketika ia melihat wajah Namjoon yang lelah. Dia muak dan marah. Sungguh.

Namjoon menderita selama seminggu, menangis dan hampir tidak makan karena khawatir dengan Johnny.

Melepas Johnny itu tidak mudah baginya. Tapi beraninya Johnny datang kepada Namjoon disaat Namjoon sudah mulai tenang?

Padahal dia tidak mengangkat satupun telpon darinya.

Sial.

"Apa?" Johnny berbicara dengan kesal. "Apa yang kalian bicarakan? Kenapa berhenti? Aku ingin mendengarnya."

"Sudahlah." Jackson kemudian membalikkan tubuh Namjoon yang sedikit melirik Johnny disana. Namun, ia segera saja merangkul bahu Namjoon dan kemudian berniat mengajaknya pergi dari sana secepat mungkin, tapi-

Semuanya terjadi dalam sekejap, disaat dimana dterdengar suara berisik dari belakang, dan disusul dengan pegangan kuat dileher Jackson.

Lalu-

BUAAGH!

Namjoon tersentak saat melihat Johnny meninju Jackson dengan suara yang terdengar amat keras. Dia melihat, dengan mata kepalanya sendiri, urat lehernya Johnny terlihat. Baik rahang dan keningnya mengeluarkan keringat dan mengeras,

Pertanda bahwa dia ternyata sudah sangat geram. Tidak berhenti sampai disitu, dia menggenggam pakaian Jackson sebelum pria itu sempat jatuh menyentuh lantai, dan-

Menghajarnya lagi.

Bibirnya mengatup, dan matanya fokus kepada Jackson yang terjatuh akibat tinjuan itu.

Saat Johnny berniat melayangkan pukulan lagi kepada Jackson yang berdarah-darah diatas lantai,

Namjoon bersuara. "Kau akan bunuh dia?"

Kepalan tangan itu berhenti di udara seketika.

"Namjoon."

Johnny bahkan tidak memanggilnya "hyung" lagi.

"Johnny, aku tidak mengerti alasan kau seperti ini tapi, aku tidak mengizinkan kekerasan disini-"

"Aku mencoba bersabar."

Namjoon berhenti bersuara, Johnny menunduk dengan wajah yang sangat terlihat sedih, "Aku mencoba bersabar, tapi dia memancingku. Dia memegang pinggangmu, lenganmu, tanganmu-"

"Itu punyaku. I won't let that going any further. Please forgive me..." Johnny berdiri. Dia tidak melanjutkan niatnya untuk menghajar Jackson sampai mati, jadi dia berjalan kearah Namjoon dan memegang bahunya.

Damn.

Namjoon melihat wajah yang tersenyum angkuh tadi itu menekuk dan terlihat siap untuk menangis kapan saja. Bibir dan alisnya bergetar, dan puncaknya adalah saat Johnny memejam dan meremas bahu Namjoon dengan frustasi. Tidak tahu apa yang harus dia katakan untuk menghilangkan tatapan dingin yang diberikan Namjoon kepadanya. "Aku mau menculikmu..."

"Apa?" Namjoon terbelalak saat kemudian pandangan disekitarnya menghitam, terasa sangat pusing hingga dia tidak mampu berdiri.

Johnny...?

"Hyung." Johnny menangkap tubuh Namjoon yang terjatuh dengan satu lengannya. Tatapannya menjadi lebih datar, tapi air mata masih mengalir dari sudut matanya. "Padahal kau sudah bilang padaku untuk bersikap professional saat bekerja."

"Maaf, ya. Aku cemburu."

Who's Dominant? - Namjoon x JohnnyWo Geschichten leben. Entdecke jetzt