Akhirnya setelah melalui perjalanan sekitar satu jam mereka berdua pun sudah tiba di rumah sakit. Mereka pun berjalan ke arah pintu masuk rumah sakit. Saat Ara memilih untuk menggandeng tangan Ori tidak disangka ia mendapatkan tatapan iri oleh beberapa suster yang berada di depan sebuah meja.

"Kamu kenapa senyum begitu?". Tanya Ori tiba-tiba. Ara pun yang memiliki sifat jahil semakin ingin memanaskan para suster yang kini sudah bergerombol sambil membisikan tentang mereka. Dengan sedikit berjinjit Ara pun berbisik.

"Kakak liat deh, masa dari tadi susternya mupeng gitu.!

Cup!

Ara pun mengecup pipi kakaknya yang tiba tiba diteriaki dengan jeritan histeris para suster dan orang disekitar karena.

"Yaa.. dokter Ori udah ada yang punya."

"Ya ampun serasi banget".

"Bahagia banget keliatan ya".

Dan masih banyak ucapan yang Ara dengar dari para suster tersebut namun semakin menghilang karena mereka semakin menuju ke dalam rumah sakit. Hingga akhirnya Ara berhenti di depan sebuah pintu yang dengan nama "Dr. Giori Frauliterhin L,. Sp.B"

Seorang suster yang berada di depan meja yang terletak di depan ruangan Ori berdiri dan menyambut Arad an Ori.

"Selamat pagi Dok, dan.." Ucapnya.

"Ara". Potong Ara mendengar kebingungan sang suster itu. Susternya pun langsung kembali duduk setelah membukakan pintu untuk mereka. Lalu dengan santainya Ara duduk di sofa dengan kaki bersila sambil memainkan gadget miliknya.

"De! Kaki! Inget pakai rok!" Tegur Ori sambil matanya masih memperhatikan jadwal yang baru saja diberitahu oleh asistennya.

Ara yang mendapat teguran hanya tersenyum dan menurunkan kakinya.

"Kakak jadi dokter apa si?". Tanya Ara penasaran, karena yang ia tahu kakaknya hanya mengambil jurusan kedokteran tapi kenapa gelarnya Sp.B?

"Kakak dokter spesialis bedah parah nih kamu ga tau tentang kakaknya," Ujar Ori. Ara yang mendengar jawaban Ori hanya memanyunkan bibirnya dan menggerutu tidak jelas.

Ia memilih untuk memainkan handphone nya, dan memilih untuk me-spam­ chat dengan Renan. Dia piker Renan masih tidur. Mungkin semalam Renan sudah pulang ke rumah nya sendiri dengan keluarga nya.

Tidak di sangka sudah hampir 3 jam di antara Ori dan Ara tidak ada suara. Ara memerhatikan kakaknya yang masih sibuk dengan berkas-berkas dan sesekali memgetik sesuatu di komputernya. Meski ia tidak tahu itu apa. Dia kira kakanya akan berkeliling untuk memeriksa pasien. Namun sampai saat ini tidak ada.

Dan kebosanan pun mulai melanda Ara.

"Masih lama ga kak?" Tanya Ara dari sofa yang sedari tadi dia tempati.

"Ga, sebentar lagi. Kakak mau check keliling pasien dan nanti baru pergi makan siang." Jawab Ori.

Ia pun mengalihkan sedikit pandangannya dari berkas pasien yang sedari tadi ia pelajari. Ara yang tahu bahwa ia begitu diperhatikan oleh kakaknya sedikit risih.

"Kenapa kak? Lihat aku begitu." Tanya Ara dengan nadkka suara yang sedikit jutek. Karena tidak biasa Ori akan melihat dia seperti itu.

"Kamu ga mau ketemu Kay?" Tanya Ori yang langsung membuat tubuh Ara menegang walau detak itu tak terlalu ada.

"Ga."

Ori hanya tersenyum mendengar jawaban singkat dari Ara. Dia pun memilih bangkit dari kursinya dan berjalan menuju adik kecilnya. Mencoba untuk duduk di sebalah Ara, dan sekilas melihat adiknya saat ini sedang chatting dengan Renan.

"Kenapa ga?" Tanya Ori, dan merangkul adiknya. Ia tahu bahwa pertanyaannya berat. Tapi jika tidak maka Ara akan terus merasa terluka dengan semuanya. Dan di sisi lain, ia sangat mengerti bahwa Kay ingin sekali bertemu dengan adiknya ini. Kay menyayangi adiknya meski bukan dalam arti "laki=laki dan perempuan".

"Aku belum mau untuk saat ini kak. Itu aja. Ga ada alasan lain yang ahrus aku jelasin saat ini. Dan aku harap kakak mengerti." Jelas Ara.

Ori mengusap lembut pundak adiknya, ia tahu bahwa tubuh adiknya sedikit bergetar saat menjelaskan jawaban akan pertanyaannya. Ia tahu, bahwa ia membuka kembali luka yang masih adiknya rasakan saat ini.

"Tapi.. kamu kan juga sudah janji akan bertemu dengan Kay kembali saat tiba. Kay selalu menunggu kamu ra, dia mau kamu kembali lagi menjadi sahabtnya seperti yang lalu. Sebelum kamu pergi dan menyadari perasaan yang kamu punya." Ori menjelaskan segala gejolak yang ia rasakan.

Ara tidak menjawab dan memilih untuk menyandarkan kepalanya di pundak kakaknya. Dalam pikirannya berputar-putar mau sapai kapan ia akan menghindari Kay, sampai kapan ia harus bersembunyi untuk membuat lukanya tak terlihat. Tapi tidak ia pungkiri hal yang begitu buat ia takut adalah melihat Kay bisa bahagia tanpa dirinya. Padahal ia juga tidak akan bias bahagia tanpa Kay. Bahkan sampai saat ini.

Keheningan pun melanda mereka. Ori melihat sekilas jam tangannya. Dan sudah waktunya ia harus berkeliling memeriksa pasiennya.

"Ra, kakak tinggal dulu ya. Kamu di sini aja. Tunggu kakak, sebentar," ujar Ori dan melepaskan rangkulannya. Ara hanya mengangguk.

Tubuh Ori pun menghilang di balik pintu. Membuat Ara kembali terdiam, sampai kapan ia harus menerima semua ini? Sampai kapan ia akan menahan luka ini? Sampai kapan ia harus bahagia dengan kepalsuan? Banyak pertanyaan yang bertubi-tubi menghampiri di kepalanya.

Ceklek.

Suara pintu yang terbuka membuat Ara mengangkat kepalanya yang tertunduk. Hal pertama yang ia lihat adalah sesuatu yang membuat nya tidak mengerti bagaimana dan kenapa dia ada di sini..

Unless YouWhere stories live. Discover now