"Jangan kurang ajar," desis Danisha, sekali lagi demit satu ini menyentuhnya dengan begitu mudah, kapan kiranya Danisha bisa mematahkan tangan lancangnya itu. Para bocah ini, tidakkah mereka tau sedang berlaku kurang ajar pada orang yang lebih tua?

peringatan Danisha diabaikan oleh Demantara, dia malah makin mencondongkan tubuh tegapnya ke arah Danisha, hampir bisa menyembunyikan tubuh mungil Danisha dibalik punggung tegap dan bahu lebarnya. Danisha memilih mempertahankan raut tenangnya seolah tak terprovokasi sedang dalam hati dia tengah menyiapkan tindakan apa yang harus dia lakukan untuk memberikan Demantara pelajaran, apakah dia harus menendangnya seperti dia menendang Takshaka dan dua pengikutnya? Ah, tapi posisi Danisha yang tersudutkan membuat dia kesulitan untuk mengambil ancang-ancang.

Lantas bagimana?

"Mau?" Demantara sudah menaruh kedua tangannya di samping kira-kanan Danisha, "Mengingat kita pernah gagal. Jadi, ayo kita coba..."

Demantara melihat Danisha menurunkan buku tebal yang tadi dipeluknya sebagai sebuah perlindungan, lantas menyeringai kecil berpikir jika Danisha menurunkan kewaspadaannya, sehingga Demantara kembali melanjutkan.

"Berciuman.."

Plakk! Buk, buk!

"Arrghh!" Sayang sekali, benda tebal yang tadi di turunkan Danisha sudah lebih dulu mencium pipinya.

Pipi putih Demantara yang sehalus pantat bayi berubah merah seperti kepiting baru diangkat dari panci, tangan kirinya memegang pipi, sedang tangan kanannya memegang dahi. Demantara merasa sekeliling seperti mengabur dan sakit nyut-nyutan di dua area itu, sakit di ubun-ubun dan pipi membuatnya tak fokus, dia merasa sangat pusing.
Jelas saja, coba lihat apa yang baru saja Danisha gunakan untuk menyerang Demantara.

Buku tebal yang belum selesai Danisha baca. Bayangkan bagaimana sakitnya saat Danisha mengumpulkan tenaga untuk mengayunkan buku yang sebelumnya dia dekap, melayang kearah pipi juga mendarat di dahi Demantara. Sepertinya Demantara salah mengira, Danisha bukannya menurunkan kewaspadaannya melainkan mengambil ancang-ancang untuk memukulnya.

Mengabaikan Demantara yang repot dengan rasa sakitnya, Danisha mendorong meja, membuat bangku yang ada di depan terdorong dan berantakan. Memiliki sedikit ruang, Danisha naik ke atas bangku, lalu melangkah sedikit menuju  meja, berjalan diatas meja lalu turun melompat ke lantai. Huh! Sekali lagi Danisha memulai atraksi memanjatnya, menyebalkan.

Demantara yang tadi kesakitan sedikit teralihkan dan terkesima dengan gerakan gesit Danisha. Tapi kemudian dia repleks melindungi kepalanya saat melihat Danisha mengambil ancang-ancang untuk melempar buku tebal itu.

Namun sampai beberapa detik Demantara tidak merasakan apa-apa, padahal dia sudah pasrah merasakan keganasan Danisha untuk kesekian kalinya, Demantara juga tak lupa bagaimana dipertemuan pertama mereka Danisha menghajarnya dengan membabi buta. Demantara membuka mata, melihat Danisha yang  berbalik tak jadi menimpuknya
dan malah mengembalikan buku kembali ke rak.

Danisha bukannya kasihan atau apalah itu terhadap Demanatara, hanya saja jangan lupakan bahwa Danisha sangat menghargai ilmu, jadi dia tidak akan melempar buku sembarang yang menjadi wadah dari ilmu itu sendiri. Andaikan disini ada batu Danisha tak akan segan melemparnya pada wajah mulus Demantara yang seperti porselen, setidaknya dengan begitu Demantara lebih terlihat seperti manusia karena memiliki cela.

Sebelum menghilang dari pandangan Demantara, Danisha sempat melempar tatapan tajamnya. Demantara yang melihat itu menarik sudut bibir sebelah kanannya membentuk smirk--sebab sebelah kiri masih sakit karena timpukan Danisha.

"Lain kali kita coba lagi." Ternyata belum kapok, Demantara malah berteriak di perpustakaan sunyi itu.

"Jangan ngadi-ngadi deh lo." Balas Danisha sebelum benar-benar menghilang dari rak besar.

The Plot TwistWhere stories live. Discover now