Part 12

17.7K 1.8K 62
                                        

Dramanya Dimulai
.
.
.
.
.

Action!

Saat seorang sutrada sudah mengatakan kalimat itu, maka para pemain mulai beradegan sesuai dengan isi naskah dan sesekali memberikan improvisasi.

Anggaplah kini Danisha sebagai seorang sutrada film, duduk santai dengan tatapan mengawas kepada para tokoh yang tengah memainkan peran. Sesekali menganalisis untuk tau dimana letak kekurangannya, baik itu dari segi pencahayaan, tata letak, juga posisi pemain. Kalaupun bisa, Danisha ingin merombak semua alur bahkan naskah yang ada dalam cerita ini, mengubah tiap element-nya supaya lebih menggambarkan kesan yang realistis agar sesuai dengan kehidupan nyata, bukan hanya bersifat fantasi yang memuat berbagai absurditas yang selalu dipertanyakan oleh nalar nya.

Tapi apalah daya, Danisha bukanlah penulisnya.

Apalagi saat kemunculan para pemeran utama dalam cerita ini yang berjalan begitu dramatis, membuat mimik wajah Danisha yang semula terkesan santai, berubah malas dan kian datar. Yah, apa yang kalian harapkan saat wanita dewasa seperti Danisha yang tak punya track record dalam percintaan dan cenderung apatis, menyaksikan adegan melodrama dihadapannya kini?

Perempuan itu menopang dagu, sangat ingin berlalu, tapi tak mampu.
Lautan manusia yang memenuhi kantin nampak bergerumul menutupi jalan keluar. Alhasil dia hanya bisa membatu, terjebak disana dan menjadi satu-satu penonton salah alamat karna tak sekalipun menunjukan keantusiasan akan drama di depan sana yang begitu menarik penonton lain.

Plak!

Tatapan Danisha yang semula malas memperlihatkan riaknya. Perempuan itu menegakkan badan saat mencium bau-bau konflik yang makin mengeruh.

"Luvena!"

"Apa yang lo lakuin?!"

Luvena Teodore. Si angkuh yang berhasil menjalankan perannya sebagai antogonis dengan memberi stampel tangan pada pipi sang tokoh utama wanita. Gadis dengan rambut coklat itu menampilkan wajah congkaknya. Ke angkuhannya ia bangun megah tampa peduli bahwa kini ia dipandang sebagai penjahat.

"Gue suruh lo minta maaf." Geraman seorang pemuda terdengar menguasai kantin. Dia menunjuk Luvena. "Bukan malah nampar Aisha." Nada tajam itu terurai di bagian akhir saat menyebut nama sang tokoh utama.

Aisha Rayne. Nama yang begitu di puja kaum adam, tapi menjadi cibiran kaum hawa. Sosoknya tergambar begitu murni tampa cela, seolah dia adalah bayi yang terlahir suci tampa dosa. Harumnya mengirim semerbak wangi yang menenangkan, menghanyutkan. Suaranya dibuat mendayu, bak suling yang ditiup merdu oleh si pengembala lembu. Gadis itu terlihat sangat jelas di antara lautan manusia yang hanya tergambar abu-abu. Danisha bahkan bisa melihat kilauan matanya yang sebening danau dari tempat duduknya yang lumayan jauh. Rambut hitam bergelombangnya lepas, nampak berkilau-kilau diterpa panas, begitu kontras dengan kulitnya yang seputih salju.

Itulah mengapa, dia dijuluki The Princess and Four Prince.

Deskripsi yang berlebihan? Ya!
Danisha mendengkus, begitu malas, tapi harus ia akui bahwa sosok itu tampak luarbiasa memukau. Tapi dibanding terlihat seperti manusia, sosok Aisha ini malah terlihat seperti boneka. Jangan salah paham dulu, itu bukanlah pujian, bukan juga sebuah keirian. Hanya saja, Danisha bertanya-tanya, bagaimana mungking penulis cerita ini mendeskripsikan kesempurnaan sang tokoh utama tampa adanya satupun cela. Sungguh tak masuk akal.

The Plot TwistWhere stories live. Discover now