"Gladis..."
Danisha, Mas. Batin Danisha berseru. Danisha sedikit kebingungan melihat lelaki dihadapannya ini.
"Ada apa, pak?"
Ya. Guru bahasa inggris yang mengajar di jam pertama di kelas mereka barusan.
"Bapak boleh bicara sebentar?" Tanya sang guru.
Sedangkan Danisha tak kuasa menolak, sehingga ia mengangguk dan menerbitkan senyum di wajah sang guru yang juga menular ke Danisha, senyum tulus pertamanya. Bukan ada maksud lain, Danisha selalu menaruh penghormatan dan rasa sopan yang besar kepada guru mereka terlepas dari bagaimana karakternya, sehingga dengan begitu Danisha bisa merasakan keberkahan ilmu yang mereka ajarkan. Karenanya Danisha tak bisa bersikap apatis kepada lelaki yang notabenya adalah guru dari Gladis. Sebenarnya Danisha agak merasa aneh menganggap lelaki dihadapannya ini sebagai guru mengingat umur mereka tak jauh-jauh sekali.
Menurut Danisha pula umur guru Bahasa Inggris yang mencapai 32 tahun itu sudah mencapai kematangan yang pas untuk dijadikan sebagai rekan. Eh, rekan apa maksudnya? Astaga Danisha kian melantur.
"Bapak sangat menghargai dan menyukai perubahan yang Gladis perlihatkan sekarang ini. Gladis sudah mau mengikuti kegiatan belajar dengan baik bahkan ikut pula berpartisipasi. Itu menandakan Gladis sudah mulai menyadari bahwa mempehatikan pelajaran disekolah itu penting." Pak David memberikan ungkapan yang hangat pada Danisha. Mengingat tadi pagi Danisha mau maju kedepan untuk melakukan story telling.
"Bapak berharap Gladis bertahan dengan perubahan baik yang Gladis perlihatkan dan semakin memupuk diri untuk mengejar pendidikan sebagaimana mestinya seorang siswa. Gladis bisa?" Tanya pad David diakhir kalimatnya dengan lembut.
Danisha tak ayal mengangguk dengan senyum tipis. Berharap jiwa Gladis, entah dimanapun dia berada dapat mendengar apresiasi yang tulus dari guru Bahasa Inggris itu, pak David.
"Bapak boleh kasih Gladis nasihat?"
"Silahkan pak." Jawab Danisha dengan intonasi rendah, tanda bahwa dia berada pada kondisi emosi yang normal.
Pak David terlihat menghela nafas dan menatap murid nya itu dengan hangat dan senyum tipis sebelum memberikan nasihat ringan.
"Gladis, setiap orang memang membutuhkan cinta,"
Danisha tertegun saat pak David malah membahas perihal cinta, tapi tetap diam melihat sang guru kembali melanjutkan perkataan.
"Tapi besar kadar cinta itu harus di sesuaikan berdasarkan tempat dan masanya. Semisal, Gladis sekarang sudah SMA, tentu tidak ada yang melarang Gladis untuk merasakan cinta-cintaan atau menyukai lawan jenis, asal jangan berlebihan saja," pak David memberi tatapan jenaka diujung kalimatnya, "Bukan berarti pula cinta tersebut membuat Gladis menyingkirkan betapa pentingnya pendidikan itu dan lebih memilih larut pada cinta yang belum tentu pasti untuk masa depan Gladis nanti."
Pak David sedikit tak enak hati saat Danisha terlihat termenung, takut muridnya itu tersinggung, padahal Danisha sedang terkesima. Akhirnya ada juga seseorang di dunia ini yang pemikirannya hampir serupa dengan Danisha.
Apakah mereka...?
Danisha lekas menggeleng.
"Gladis, bapak nggak bermasuk ikut campur atau menghakimi perasaan Gladis sama, ehm...siapa itu namanya?" Pak David terlihat serius mencari-cari sedangkan Danisha kembali merasa gemas, jelas tau siapa nama dari orang yang di pertanyakan pak David.
"Nggak perlu disebut pak. Udah berlalu, seperti yang bapak bilang tadi saya sudah sadar, sudah waras, dan nggak akan gila-gila'an lagi karena cinta." Danisha menjawab dengan menempat diringa sebagai Gladis. Kalau Danisha, tentu dia tidak pernah mencintai bocah Takshaka itu.
YOU ARE READING
The Plot Twist
ChickLitPlot Twist ; an unexpected shit Danisha ; the plot twist itself _________________________________________________ Danisha Mahiswa, Bussines Woman yang memiliki zero experience dalam hal percintaan karena terhalang prinsip 'money comes first, men com...
Part 20
Start from the beginning
