Bukannya tidak ingin menunggu sampai terang, tapi Gardian meninggalkan beberapa urusan yang belum selesai. Dan harusnya dia pulang ke rumah malam ini, memeriksa keadaan selagi Papa belum pulang.

Gardian mencondongkan tubuh ke depan, memeriksa dari belakang apakah Winnie sudah sungguhan tidur karena cengkeraman cewek itu pada selimut sudah melemah. Dengan penuh kehati-hatian, Gardian menarik boneka Winnie yang berada di sisi lain ranjang untuk diletakkan di dekat Winnie.

Dan sebelum pergi, Gardian sempat diam-diam mengambil ikat rambut hitam di tangan Winnie, yang kemudian dia jadikan gelang di tangan kiri. Menggantikan gelang merah yang dia berikan pada Winnie, dan masih cewek itu kenakan sampai sekarang.

“Pergi dulu, ya, Owi,” Gardian berbisik. Mencium pelipis Winnie sekali lagi sebelum sungguhan meninggalkan kamar tanpa menimbulkan suara.

Namun, bahkan, dalam tidurnya pun Winnie masih khawatir, dan dia masih berada dalam kesadaran meski hanya beberapa persen. Sehingga ketika segala sentuhan Gardian hilang dari kulitnya, Winnie langsung terjaga dengan mata terbuka sempurna.

Winnie bangkit. Menyibak selimut dan berlari ke balkon karena Gardian sudah hampir melompat turun. “Gardian!” panggilnya, dan saat itu Winnie juga tersandung kaki sendiri.

Tapi Gardian berhasil menangkap Winnie, sehingga cewek itu tidak jatuh membentur lantai lagi. Gardian jadi seperti pengasuh karena dia punya anak besar yang tidak bisa ditinggal pergi.

Winnie berdiri di ujung ibu jari kaki, kedua tangannya mencengkeram jaket Gardian di bagian lengan. Mensejajarkan tinggi dengan Gardian itu seperti berusaha meraih buah di pucuk pohon yang tingginya dua meter. Tentu, Winnie berusaha keras sekali.

“Hati-hati, ya,” peringat Winnie serius, setelah dia berdiri dengan seluruh telapak kaki memijak lantai lagi.

Gardian terdiam menatap Winnie lurus di mata, hampir tidak berkedip gara-gara cewek itu baru saja mencium pipinya. Yah, Winnie lebih tepatnya mencium rahang Gardian, dan harusnya hal seperti itu bukan sesuatu yang bisa membuat Gardian terkejut. Tapi siapa sangka. Berhubung ini adalah Winnie, yang selalu Gardian junjung tinggi.

Gardian menelan ludah, kemudian mendengkus pelan. Dia mengangguk saja, lantas memeluk Winnie sekilas sebagai ucapan selamat tinggal sampai beberapa jam ke depan. “Masuk dulu, baru gue balik,” tutur Gardian sembari mengedik kepada pintu balkon.

Winnie menggeleng, dan Gardian tahu cewek itu sekeras kepala apa. Jadi daripada mereka berdebat dan memakan waktu istirahat Winnie, Gardian langsung bertindak saja menggendong cewek itu di depan. Menurunkan Winnie di dalam kamar, dan dia ke luar lagi untuk menutup pintu balkon.

Namun, ketika Gardian sudah di bawah dan sempat melihat ke atas sekali lagi. Winnie ada di balkon, dan sedang melambai padanya sambil melihat ke bawah sampai cewek itu tampak akan jatuh. Gardian menghela napas frustrasi.

“Masuk,” kata Gardian lagi, tapi hanya gerak mulut tanpa suara. Lalu dia baru sungguhan pergi setelah memberi hormat dengan dua jari. Karena kalau tidak Gardian yang pergi duluan, Winnie pasti tidak akan masuk kamar.

•ೋஜ•✧๑♡๑✧•ஜೋ•

Sepulang sekolah, Winnie ke luar rumah sendirian sore ini. Sekarang adalah jam-jam terakhir Winnie jadi anak di bawah umur, dan setelah pukul dua belas malam nanti Winnie bisa pergi ke manapun sesuka hati. Tanpa dituntut untuk pulang oleh Papa dan Mama, dengan berkedok penculikan lagi.

Winnie harap Gardian ada bersamanya, karena dia ingin menunjukkan sesuatu pada cowok itu. Namun, kembali lagi bahwa Gardian juga punya urusan selain Winnie.

HellowinnWhere stories live. Discover now