Ch. 31: The things she keep inside

Zacznij od początku
                                    

"Kepalanya masih pusing nggak?" tanya Aksa cemas saat kami mengantre. Sebelum datang ke acara ini, aku memang sudah mengeluh tidak enak badan sejak pagi. Kepalaku terasa lebih berat dari biasanya. Mungkin karena efek kurang tidur mengingat beberapa hari terakhir aku terus terjaga sampai lewat tengah malam. "Kalau masih pusing mendingan abis ini kita mampir ke dokter dulu atau ke apotek buat beli obat."

"Udah minum obat sebelum ke sini."

"Terus udah mendingan?"

Hanifa dan Dewa yang sedari tadi menguping pembicaranku dan Aksa langsung saling melirik. Senyum menggoda terpampang di wajah mereka, membuat aliran darahku terasa berhenti di pipi sehingga pipiku memanas.

"Much better," tuturku pada Aksa. "Nanti pulang dari sini aku minum obatnya lagi."

Aksa melingkarkan lengannya di pinggangku dan menarikku mendekat ke arahnya. Kami terpaksa harus mengantre lebih lama karena ada beberapa undangan VIP yang diprioritaskan untuk memberikan ucapan kepada pengantin. Aku menumpukan sebagian berat tubuhku kepada Aksa begitu merasakan pegal pada betis. Tanpa merasa terganggu sama sekali, Aksa melemparkan senyum hangat sementara ibu jarinya mengelus pinggangku padahal dia masih mengobrol dengan Dewa. Obrolan itu benar-benar selesai ketika kami turun dari panggung usai memberikan selamat kepada Mas Jero dan berpamitan pulang.

"Aku mau ke toilet dulu sebentar," ujar Aksa begitu keluar dari ballroom.

"Mau aku tungguin atau kamu nyusul sendiri ke parkiran?"

"Bareng aja ke parkirannya." Aksa menundukkan kepalanya dengan senyum iseng terpatri di wajahnya. Aku sontak menahan napas ketika pipi kami nyaris bersentuhan. "Bahaya kalau kamu sendirian ke parkiran. Hari ini kamu cantik banget soalnya. Sebenernya aku nggak mau ninggalin kamu karena takut ada aja yang modus dan deketin, tapi nggak mungkin kan, aku nyeret kamu sampai ke toilet?"

Ketika Aksa menjauhkan wajahnya dari telingaku dan berdiri dengan tegap, aku langsung memukulnya dengan clutch yang kubawa. Laki-laki itu meninggalkanku dengan wajah yang memanas sementara langkahnya menuju toilet diiringi dengan tawa. Aku menggeleng pelan begitu teringat kembali godaannya dan menyadari aku tidak bisa menahan senyumku.

Aku memutuskan untuk menunggu Aksa tidak jauh dari ballroom. Melihat orang yang masih lalu-lalang memasuki tempat resepsi pernikahan Mas Jero dilaksanakan, aku bisa menebak mungkin tamunya berada di kisaran lima ratusan karena sudah satu jam berlalu, masih ada banyak tamu yang baru datang. Saat berada di dalam pun, rasanya ballroom itu selalu dipenuhi orang dan makanan terus di-refill beberapa kali.

"Luna." Aku menoleh ketika mendengar seseorang memanggil namaku. Tubuhku membeku di tempat ketika melihat Damar berjalan ke arahku dengan pakaian rapi, persis seperti baru menghadiri acara. "Aku kira tadi salah lihat."

Napasku yang entah sejak kapan tertahan kembali berembus begitu Damar berdiri di depanku. Aku berdeham pelan lalu melemparkan senyum tipis. "Hai, Mar," sapaku kaku. "Ada acara juga di sini?"

Damar mengangguk lalu menunjuk ballroom yang digunakan untuk resepsi pernikahan Mas Jero. "Mempelai wanitanya sahabatku sejak SMA," ujarnya diselingi senyuman lebar. "Kamu apa kabar? Aku sebenernya udah ada rencana mau ngajak ketemu. Eh, ternyata malah ketemu duluan di sini. Masih jodoh kali, ya?"

Aku hanya bisa tersenyum canggung untuk menanggapinya.

"Kamu udah mau pulang?" tanya Damar lagi. Sosoknya yang terlihat bebas tanpa beban kini mengingatkanku dengan sosoknya ketika masih berada di bangku kuliah. Saat dia menjadi faculty advisor selama aku bersiap untuk menghadiri MUN. Sosok yang dulu sempat membuatku jatuh hati. "Mau aku anterin pulang? Atau mungkin kita bisa ngopi sambil catching up sebentar. Aku penasaran banget sama kerjaanmu sekarang."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz