| Chapter 33 | : Fearless

Start from the beginning
                                    

"Gadis bodoh, kau ingin tahu sesuatu? Sekarang saja aku tengah memantau kekasihmu itu. Tunggu saja, sebentar lagi dia juga akan tamat."

Belum aku meneriakinya dengan sejuta kalimat kotor, panggilan lebih dulu dimatikan. Aku sibuk memanggil nomor Euna meskipun pada akhirnya sambungan tidak masuk. Dia mematikan ponselnya.

Aku bangkit dengan gelisah, menekan nomor Galan di layar ponsel. Menunggu panggilan tersambung terasa menyiksa. Menit kedua baru layarku berubah. Galan menerima panggilanku.

"Halo? Aria?"

"Galan kau di mana sekarang?"

"Ada apa? Sepertinya kau cemas?"

"Katakan di mana kau sekarang?" Aku geram, seolah waktu menghitung baik-baik sisa hidup Galan di seberang sana. Dan aku harus menyelamatkannya sebelum Hadiswa lebih dulu.

"Di kafe milik cucu Paman Lu. Kau tahu?"

"Baiklah, aku akan segera ke sana dan jangan matikan sambungan teleponnya, mengerti!"

"Ya, tapi kenapa?"

"Nanti saja!"

Hampir saja aku menendang kursi karena beranjak dengan tergesa. Aku tidak peduli lagi. Menyambar jaket tebal karena udara di luar masih terasa dingin sehabis hujan mulai mereda.

Aku menuruni anak-anak tangga tanpa tahu Ibu memperhatikan tingkahku yang jelas ribut.

"Ada apa denganmu?"

Pertanyaan Ibu belum sempat kujawab dengan cepat karena aku sibuk memakaikan jaket ke tubuhku.

"Galan. Aku hendak menemuinya, secepatnya." Dengan hati-hati aku memegangi ponsel di tanganku dan bersyukur sambungan panggilanku belum diputus.

"Kenapa terburu-buru begitu? Di luar masih hujan gerimis kau akan sakit!" ucapnya sambil menahan lenganku.

"Ini darurat! Aku harus sampai sebelum ...." Sontak ucapanku terhenti karena aku hanya tidak ingin Ibu tahu jika sekarang Hadiswa tengah mengintai Galan. Tapi bukan itu saja, karena aku tidak ingin membuat Ibu marah perihal masalah yang belum tuntas ini.

"Jangan bilang kau masih ingin ikut campur dengan Hadiswa?" Bola mata Ibu begitu bulat ketika dia berkata barusan. Aku cukup ngeri melihatnya jika dia memiliki raut se-serius itu.

"Tidak, bukan itu. Ibu selalu saja menyangkut-pautkan masalah itu dengan apa pun yang kulakukan." Setidaknya perasaan bersalah itu kian bertambah ketika aku kembali membohonginya lagi. Maaf, aku harus melakukannya.

Perlahan Ibu melepaskan cekalannya di lenganku. Raut wajahnya berangsur-angsur tenang meskipun ada guratan kasar di bagian atas alisnya.

"Kau jangan berbohong pada Ibu," ucapnya kini jauh lebih mengerikan tertangkap oleh indera pendengarkau karena Ibu berkata dengan nada lebih dalam.

Ragu tapi aku secepatnya mengangguk padanya. "Ibu harus percaya padaku meskipun hanya sekali ini saja."

Kini giliran Ibu mengangguk kemudian berjalan pelan ke arah sudut rumah di mana keranjang tabung dari anyaman rotan kasar itu berada. Payung ungu gelap diambilnya penuh pertimbangan dan diberikannya padaku.

"Jangan sampai air hujan membasahi kepalamu," ucapnya sambil tersenyum tipis. Salah satu hal yang tidak ingin aku lihat adalah raut keterpaksaannya melepaskanku. Tapi mau bagaimana lagi, Galan adalah alasan utamaku membohonginya.

Aku segera menerimanya dan bergerak menuju pintu utama. Sebelum aku menutup pintu, sejenak aku berbalik menatap Ibu masih berdiri sendirian di tengah ruangan. Wajahnya masih sayu bersama senyum tipisnya yang perlahan menyadarkanku betapa senyumnya begitu rapuh. Tapi kepalaku lebih didominasi oleh pemikiran tentang perkataan Hadiswa di telepon. Untuk itu, aku menutup pintu tanpa berniat berbalik lagi lalu membuka payung saat aku melihat langit masih kelabu dan rintik hujan yang perlahan melebat. Entah kapan akan berakhir cuaca yang kubenci ini.

Langkahku terpacu keluar melewati halaman rumah, berlari di tengah ribuan rintik yang membasahi bumi. Meski dengan perasaan terombang-ambing oleh cemas serta rasa takut. Aku kembali mengecek ponsel, menempelkannya ke telinga sambil sibuk berlindung di bawah payung. Sambungan masih tersambung ketika tiba-tiba suara berisik yang nyaring di seberang membuat sambungan telepon terputus begitu saja.

"Galan? Halo, Galan!"

Degub jantungku hampir berhenti bersaman dengan langkah kakiku yang dipacu secepat mungkin. Tidak peduli letak payung yang tidak sepenuhnya melindungi tubuh bagian atasku karena yang terpenting sekarang adalah keselamatan Galan. Jangan sampai orang yang kusayangi di sekitarku kembali pergi dengan cara sama. Jangan lagi.

*****




Kang zeè 2022

THE SCREAM : Whos Next? ✔Where stories live. Discover now