Terlalu Sempit

4.9K 200 0
                                    

"Aku yakin dia tak akan melakukannya. Lagi pula duda tua itu pasti terkejut kalau tahu bagaimana aslinya Nara."

Alvin mengucap percaya diri. Dia yang sangat tahu siapa Nara. Jangankan begituan, ciuman saja tak pernah.

"Heh." Pria itu tersenyum sinis.

"Nara, Nara. Kenapa gadis polos sepertimu harus menikah karena uang? Ini menyedihkan. Andai aku punya uang banyak yang diperlukan Om Roy."

Alvin mendesah panjang.

Ingat hari di mana ia dan Nara sempat terbawa suasana.

"Ah, bukan Alvin dan Nara. Tapi Alvin seorang yang terbawa suasana, aku nyaris mengambil milik Nara yang berharga."

Namun, setidaknya, baginya ... tinggal selangkah lagi, ia akan berhasil menaklukkan  Nara setelah menunggu bertahun-tahun.

Hari itu ... Nara memintanya datang, karena teman-teman sekelompoknya sibuk sendiri-sendiri. Hingga Nara harus mencari bahan untuk makalahnya seorang sendiri. Mengingat dia dan Alvin satu jurusan, dan pria itu adalah seniornya, Nara pun berniat meminta bantuannya.

Waktu berlalu begitu saja, tugas itu sudah dikerjakan lebih dari dua jam, tapi tak juga selesai.

Mereka yang mengerjakan tugas di ruang tengah hanya berduaan saja. Membuat Alvin merasa hawa aneh menyergapnya.

Berkali melihat Nara yang mengenakan daster, meski sudah membiasakan pakai kerudung, tetap saja membuatnya gagal fokus.

'Mau dia memakai pakaian apa pun tetap saja, Nara adalah objek paling indah bagiku.'

"Al, lihat, deh!" Nara memanggil Alvin agar mendekat dan melihat sesuatu di laptop gadis itu.

"Paan, sih." Pria itu bangkit dengan malas. Meski enggan, ia bangkit juga untuk melihatnya.

"Awas ya. Aku mau mie-ku penuh dengan bakso di mangkuk," ucapnya yang dari tadi mengeluh atas tugas-tugas Nara.

Pasalnya, pria itu mau datang dan membantu hingga selesai, karena Nara janji mentraktirnya seminggu penuh.

Kini mereka pun duduk bersisian memandang laptop. Di saat asik menggulir artikel, tiba-tiba saja muncul iklan novel yang memperlihat adegan dua orang sedang berciuman.

Hati keduanya berontak. Terutama Nara. Ia sangat kesal mendapati sebuah platform yang menunjukan adegan vulgar yang seharusnya tak ditonton semua orang tanpa batas umur seperti ini.

Itu kenapa dia selama  ini dia berjuang keras mencari banyak follower untuk konten-kontennya. Melalui dunia sosialita, dengan pamer barang-barang branded miliknya, Nara bermaksud mengajak mereka bisa berpikir positif secara perlahan.

Bukankah mengajak pun perlu sebuah cara. Karena dia seorang selebgram, maka followernya adalah target yang pas dengan 'pendekatan' yang mereka sukai.

Pun Alvin yang melihat gambar seronok di layar laptopnya. Hanya saja, seharusnya nafsu itu tak dipancing dengan tontonan seperti itu.

"Ra." Alvin memanggil pelan Nara.

"Ahm, sorry!" Nara lekas menutup laptop tanpa mematikannya lebih dulu.

Wajah pria itu semakin dekat dan dekat, sampai Nara merinding dibuatnya.

"Oh ya, Al. Ada sesuatu yang harus kamu lihat!" Nara menjauhkan kepalanya, dengan dua mata melebar dan dua tangannya memegangi dada Alvin.

Pria itu jadi tak enak sendiri karenanya.

Alvin duduk di atas sofa memandangi ponsel, menyilang tangan di dada, menahan hawa dingin dari AC ruangan yang menerpa. Rasa malas memaksanya untuk tetap fokus ke benda pipih di atas meja.

Menunggu.

Barangkali, Nara akan kembali membalas pesannya. Lalu berkeluh kesah seperti biasa.

"Apa dia sudah melakukannya?" gumamnya dengan tatapan lekat. Melihat ponsel, rasanya seperti tengah melihat Nara.

"Argh! Aku bisa gila!" teriaknya sembari menjatuhkan tubuh ke sofa.

Memikirkan cara bagaimana mempengaruhi dan menggagalkan Nara bermalam dengan duda itu.

"Aku akan tf uang kaget. Dari nomor lain. Yah itu pasti akan kulakukan."

"Lalu hal yang paling penting adalah traumanya."

Alvin tersenyum. Sampai lesung di pipitnya terlihat menghiasi wajahnya yang tampan.

_____________

"Ya ampun, sakit Om. Kayaknya sempit banget, ya." Nara meringis menahan sakit karena perlakuan suaminya.

"Sabar, deh. Huft!" Saga membuang napas kasar, sambil mengelap peluh di pelipisnya.

"Auh! Sakiiiit! Om, ati-ati dong! Aku belum pernah loh kaya gini!"

"Hiss. Berisik!" Saga mulai kesal.

Beginilah kalau pernikahan dilakukan tanpa cinta. Kegiatan begini pun menguras emosi.

"Pakai sabun, atau minyak gitu Om, biar licin!" keluh Nara yang menggigit bibir bawahnya karena menahan sakit.

"Hah!" Saga meniup berat karena merasa lelah. Bangkit dari posisinya.

"Oke, kamu tunggu sebentar, jangan ke mana-mana dan melakukan sesuatu tanpa izin dariku." Saga memperingatkan sambil mengarahkan telunjuk ke arah gadis itu.

"Maapin, Om. Habis ini aku janji bakal diet!" ucap Nara dengan nada menyesal.

Saga yang sudah menjauh tetap gatal untuk menyahutnya. "Lakukan apa pun. Kalau tetap gagal, terpaksa aku menyakitimu!"

Nara mengangguk. Ia cemas pada dirinya sendiri. Apa yang akan terjadi nanti? Tampaknya pria itu sangat marah karena tak berhasil melakukannya.

Saga lalu berjalan meninggalkan Nara, menuju kamar mandi mengambil sabun. Lalu tissue. Karena belum menemukan minyak untuk pelicin.

Pria itu mendesah panjang. "Benar-benar gadis itu!"

Belum apa-apa Saga dibuat begitu kesal. Ia membayangkan bagaimana kejadian tadi bermula.

"Aku akan mandi dulu." Saga berpamitan, karena merasa tubuhnya lelah. Kebiasaannya memang membersihkan diri sepulang kerja.

Pria itu tersenyum melihat Nara yang tampak malu-malu duduk di tepian ranjang saat ia keluar dari kamar mandi.

Baru saja akan menyentuh bahunya, melakukan hal yang diketahui untuk mengetes apa istrinya masih suci atau tidak. Hal yang dulu pernah dilakukan pada Rania.

Baru saja ingin melihat bagaimana gadis itu tanpa kerudung. Tiba-tiba saja Nara meminta maaf sambil memekik menahan sakit.

Saga yang terkejut segera mencari tahu, sampai akhirnya ia melihat cincin yang selama ini disimpan rapi dalam lemari, melingkar di jari tengahnya.

"Maaf, Om. Nggak bisa dikeluarkan." Gadis itu menyodorkan tangannya sambil menunduk takut, karena mengambil barang berharga milik duda tampan itu.

"Hiss." Saga mendesis sebelum akhirnya berjalan keluar kamar mandi.

"Apa perlu kupotong saja jarinya!" dengkusnya di sela langkah.

Otewe Malam Pertama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang