Ch. 29: Give us a try

Depuis le début
                                    

Oh, god! Here we go. Aku memilih untuk membungkam mulutku serapat mungkin sambil melahap makan siangku. Anye dan Jojo menahan tawa melihatku dicecar seperti ini sementara keinginanku untuk kembali ke kamar meningkat tajam.

"Udah lama banget sejak kamu bawa pacarmu ke rumah, Bang," celetuk Mama.

Aku mengernyit. "Kapan aku bawa pacarku ke rumah? Nggak pernah bukannya?"

"Justru itu! Kamu sadar kan, kalau kamu nggak pernah bawa pacarmu buat ke rumah dan dikenalin ke keluarga?" cerca Mama dan detik itu juga aku sadar bahwa aku salah berbicara. "Kamu udah punya pacar belum?"

"Belum," gumamku.

"Gebetan juga nggak punya?" tanya Mama lagi.

"Gebetannya Abang itu—"

"Soto betawinya enak banget, Ma," selaku sebelum Jojo berbicara yang aneh-aneh atau yang lebih parah lagi, membocorkan obrolan kami mengenai rasa tertarikku pada Luna. Tidak. Ini bukan saat yang tepat. Aku masih belum bisa memberikan kepastian apapun mengenai hubungan kami. "Mama nggak mau pensiun aja jadi dosen terus buka usaha katering? Lebih enak kerja di rumah kan daripada harus bolak-balik ke kampus."

"Kamu kira buka usaha katering itu gampang?" tanya Mama balik, sarat dengan sindiran. "Justru lebih capek buka usaha katering karena mesti masak banyak setiap hari. Lagi pula, Mama lebih suka mengajar di kampus karena bisa ketemu orang banyak daripada harus kerja di rumah."

Aku tersenyum tipis. "Kesepian ya, Ma?"

"Bukan kesepian. Mama suntuk kalau kelamaan di rumah. Otak juga nggak bisa berpikir. Kegiatan yang bisa dilakukan juga lebih terbatas. Kalau jadi dosen, apa yang Mama kerjakan lebih jelas. Persiapan buat mengajar, bikin soal kuis atau ujian, periksa hasil ujian, atau bahkan penelitian dengan dosen lain atau mahasiswa." Mama menjelaskan panjang lebar. "Beda urusannya kalau Mama udah punya cucu yang bisa dijagain dan diajak main di rumah kalau kalian dan pasangan kalian sibuk kerja."

Aku, Anye, dan Jojo kontan mengerang bersamaan begitu pembicaraan yang susah payah kualihkan ke topik yang lain, kembali lagi ke topik yang selalu kami hindari. Pernikahan.

"Lagian Mama tuh sebenernya agak heran sama kalian. Muka juga bisa dibilang nggak jelek-jelek banget." Kami serentak melotot saat Mama meneliti tampang anaknya satu per satu dengan pandangan menilai. "Karier juga bagus. Mapan dan mandiri. Kenapa kalian belum punya pacar? Iya. Jojo udah punya pacar, tapi pacaran lama-lama juga nggak baik. Keseriusan kamu pasti dipertanyakan sama orang tua pacarmu."

"Kerjaanku—"

"Punya ambisi dalam berkarier itu bagus, Bang. Mama mendukung dan setuju kalau kamu punya gambaran yang jelas mengenai karier kamu ke depannya," potong Mama karena tahu aku akan menjadikan pekerjaanku sebagai tameng. "Tapi, sesuatu yang berlebihan itu nggak baik. Mama ngomong begini bukan karena mau membebani kalian, tapi ada baiknya kalau kalian mulai memikirkan pernikahan walaupun belum tentu kalian menikah tahun depan. Mama nggak akan selamanya hidup dan tinggal sama kalian. Kalau Mama nggak ada dan kalian masih sibuk prioritasin pekerjaan di atas segalanya, di saat kalian susah, sakit, dan tua nanti, siapa yang mau menemani kalian? Coba dipikirkan baik-baik."

*

"Have you ever thought about settling down?" Aku bertanya kepada Haris yang sedang menunggu gilirannya untuk fitting baju. Sore ini, Kevin sudah mengatur jadwal untukku dan Haris agar bisa melakukan fitting baju groomsman untuk acara pernikahannya.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant