"Cuma teman, Pa," kilahku.

"Tetap harus kamu pikirkan baik-baik karena semuanya juga bermula di hubungan pertemanan. Dulu kamu dan Damar juga berawal seperti itu, kan?" sahut Papa, membuatku terdiam karena tidak mampu mengelak. "Papa cuma nggak mau kali ini kamu terjebak di hubungan yang sama kayak yang kemarin. Cukup sekali aja ya, Lun. Papa nggak mau kamu diperlakukan seperti itu lagi."

Aku menarik sudut bibirku ke atas, berusaha menenangkan Papa yang terlihat semakin cemas. "Iya, Papa. Aku tahu, tapi yang ini beneran cuma teman jadi Papa nggak perlu takut ini dan itu," tegasku. Untuk beberapa orang, mungkin membicarakan hal-hal seperti ini dengan sosok kepala rumah tangga dapat menjadi obrolan yang canggung, tetapi bagiku yang sejak kecil sudah dekat dengan Papa, perbincangan tentang kisah cintaku dapat dibicarakan dengan ringan seperti aku membicarakan pekerjaanku. "Lagi pula, orang ini teman dekatnya Lisa dan Adam juga. Dia nggak akan berani macem-macem."

Papa mengangkat alisnya. "Kenapa bisa yakin banget?"

"Soalnya Lisa dan Adam pasti marah kalau dia macem-macem."

"Oh, bukan itu." Papa tertawa singkat. "Gimana kamu bisa yakin kalau sama laki-laki ini beneran cuma teman? Justru karena dia temannya Lisa dan Adam, seharusnya kamu lebih waspada. Dia jelas tahu Lisa dan Adam nggak akan membuat semuanya mudah kalau dia beneran tertarik sama kamu, tapi di sini kamu malah mikir kalian cuma sebatas teman?"

Aku mengernyit. "Maksudnya gimana?"

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Papa justru tertawa semakin lebar. "Udah malam. Lebih baik kamu istirahat," timpal Papa, masih tersenyum geli. "Apapun yang terjadi ke depannya, Papa harap kamu bisa lebih selektif lagi memilih pacar, tapi bukan berarti kamu harus menutup diri."

Mulutku terbuka lebar, ingin bertanya ke Papa apa maksud dari perkataannya, tetapi niat itu kuurungkan karena Papa sudah berlalu keluar dari kamarku. Meninggalkanku sendirian di kamarku dengan berbagai pertanyaan yang mampir di benakku. Aku mengerang kesal. Kenapa hari ini semua orang selalu mengatakan hal yang ambigu? Sebelumnya Aksa. Sekarang Papa. Kini, deret pertanyaan yang hinggap di pikiranku semakin panjang karenanya.

Seolah hari ini tidak dapat berakhir lebih buruk lagi, aku mendecak kesal ketika kontak Lisa terpampang di layar ponselku seiring dengan dering yang terdengar nyaring. Aku tidak tahu apa yang ingin dia bicarakan semalam ini, tapi kuharap dia mengatakan hal yang penting karena aku tidak memiliki ruang lain untuk berpikir.

"Ya, sis?" tanyaku malas.

"Have something happened between you and Aksa?" tanya Lisa tanpa membalas sapaanku. Ya Tuhan. Apalagi ini? "You know, I got some information." Lisa terkikik di seberang sana. "Lo pulang ke Bintaro diantar Aksa hari ini?"

"Karena Kevin kayaknya bukan orang yang bocor atau suka bergosip dan Aksa bukan tipe orang yang suka cerita sana-sini, I assumed you got that information from Haris." Aku memutar bola mata seraya menyembur kesal. "Seriously, people! Kalian emangnya nggak punya hal lain yang lebih penting selain bergosip tentang gue dan Aksa?"

"Duh, Lun! Abisnya gue udah gemes banget sama kalian," ujar Lisa. "Spill the detail, please?" pintanya penuh harap. Aku berdecak kesal, hampir saja menyemburkan omelan yang sudah tertahan di ujung lidah jika aku tidak mendengar suara Adam yang menegur Lisa. "Aku kan, penasaran, Dam! Lagian mereka ini kelihatan cocok banget, tinggal butuh dorongan sedikit supaya sadar kalau sama-sama punya perasaan."

"Kesimpulan kayak gitu datangnya dari mana sih, Lis?" cercaku. "Gue sama Aksa nggak ada apa-apa. Case closed. Dia cuma bersikap baik sebagai teman. Persis kayak sikapnya ke lo atau ke teman-teman perempuannya yang lain."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now